Koalisi pemburu penjahat lingkungan hidup (Jikalahari, Walhi Riau, Riau Corruption Trial, WWF-Indonesia Program Riau), mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis untuk menghukum terdakwa PT. NSP seberat-beratnya. Ini dilakukan untuk dijadikan efek
Penulis: Nuraynun
Editor:

KBR, Riau - Koalisi pemburu penjahat lingkungan hidup (Jikalahari, Walhi Riau, Riau Corruption Trial, WWF-Indonesia Program Riau), mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis untuk menghukum terdakwa PT. NSP seberat-beratnya. Ini dilakukan untuk dijadikan efek jera.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Riau menuntut terdakwa PT. NSP dengan pidana denda 5 milyar. Pidana tambahan perbaikan lingkungan hidup akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) PT. NSP sebesar Rp1,4 triliun.
Hasil persidangan PT. NSP pada Selasa (13/1) lalu, Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa Erwin (General Manager PT. NSP) pidana penjara 6 tahun denda Rp1 miliar. Sementara untuk Nowo Dwi Priyono dituntut 18 bulan penjara, denda Rp 1 Milyar.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan mengatakan, kebakaran hutan dan lahan masih terjadi hingga kini karena hukuman pada pelaku masih ringan dan belum menjadi efek jera. Karenanya, Pemerintah harus berkomitmen memberikan hukuman yang maksimal.
“Sidang ini masih dipimpin oleh majelis hakim yang belum memiliki sertifikasi lingkungan, Sarah Louis contohnya. Harusnya kasus-kasus lingkungan harus dipimpin oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan. Sehingga dalam memutuskan keputusan dia bisa berspektif lingkungan. Sehingga bisa mengambil keputusan yang lebih bagus. Nah kita curiga dan khawatir majelis hakim yang memimpin PT. NSP adalah majelis hakim yang mempunyai kapasitas rendah terhadap persoalan lingkungan,” ujar Riko, Senin (19/1).
Ia mengaku meragukan komitmen majelis hakim Sarah Louis, Renny Hidayati dan Melki Salahuddin dalam memutus kasus ini sebab mereka tidak memiliki sertifikasi lingkungan hidup.
Editor: Anto Sidharta