Kaharingan dan suku Dayak di Kalimantan adalah satu kesatuan yang tak dipisahkan. Menurut orang Dayak, agama Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan. Sejak Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan alam semesta.
Penulis: Antonius Eko
Editor:

Kaharingan dan suku Dayak di Kalimantan adalah satu kesatuan yang tak dipisahkan. Menurut orang Dayak, agama Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan. Sejak Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan alam semesta.
Bagi mereka, Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun sebelum masuknya Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Margaretha Setting menuturkan Kaharingan diyakini oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur.
“Mereka menggambarkan keyakinan ini dalam upacara-upacara atau ritual penghormatan terhadap leluhur, alam maupun roh yang maha tinggi. Kalau menurut saya itu adalah Tuhan dalam bentuk dan pemahaman yang berbeda,” ungkap Margaretha.
Keselarasan Dengan Agama Baru
Datangnya agama-agama baru membuat Kaharingan dipandang sebagai agama lama, agama kuno atau agama nenek moyang. Meski demikian, penganut Kaharingan merasa tak disaingi oleh agama-agama baru tersebut.
Kata Margaretha, masyarakat Dayak punya pengalaman religius tersendiri pada Sang Pencipta. Semua orang, tambahnya, mendapat pengalaman yang berbeda dalam memahami Tuhannya. Itulah yang dialami orang Kaharingan. Jadi mereka memahami Tuhannya sebagai alam, lingkungan dan tindakan-tindakan baik terhadap sesamanya. Itulah sebabnya pada awalnya keyakinan Kaharingan bisa sejalan dengan agama-agama lain.
“Agama asli dimana pun, penghormatan terhadap Sang Khalik begitu tinggi. Masyarakat adat memahami Tuhan sangat dalam. Mereka menghormati seluruh ciptaannya, salah satunya alam dan lingkungan sekitar.”
Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Saat itu Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang tinggi. Bahkan untuk mencari dukungan, Jepang mengaitkan Kaharingan dengan Agama Shinto.
Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Dekat Dengan Alam
Kedekatan dengan alam menjadi ciri paling kuat di agama-agama adat. Penganut Kaharingan tak mau membuka hutan tanpa meminta izin kepada roh-roh yang ada hutan. Hal inilah yang membuat hutan tetap terjaga keasliannya, karena mereka tak berani sembarang membabat pohon.
“Salah satu contoh, ketika mereka membuka hutan, mereka membuat upacara permisi kepada seluruh jiwa yang ada di hutan. Jadi proses itu, mereka memberi kesempatan roh-roh pergi. Mereka juga memberi tempat baru untuk roh-roh itu sebelum hutannya dibuka. Mereka juga meminta izin pada Tuhan juga supaya ketika menggunakan tanah ada restu dari Sang Pencipta, sehingga tanahnya memberi hasil yang maksimal,” papar Margaretha.
Kepercayaan Kaharingan dimasukkan dalam kategori Hindu, karena ada persamaan dalam penggunaan sesaji dalam ritual keagamaan, yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Namun penggolongan inilah yang kelak memunculkan diskriminasi bagi penganut Kaharingan.
Baca selanjutnya: Penganut Kaharingan Jadi Korban Kejahatan Negara