Article Image

SAGA

Perjalanan Heni Tonengan, Perempuan Pemimpin dari Morotai

"Perjalanan penyintas konflik Maluku Utara 1999 menjadi perempuan pemimpin dari kampung pelosok di Pulau Morotai"

Heni Tonengan, fasilitator Sekolah Perempuan di Morotai, Maluku Utara saat ditemui di sela Peringatan HUT ke-25 KAPAL Perempuan, (7/03). (KBR/Ninik)

KBR, Jakarta - Untuk kedua kalinya, Heni Tonengan, datang ke Jakarta. Ia menempuh perjalanan panjang dari kampungnya di Desa Tiley Pantai, Pulau Morotai, Maluku Utara.

Satu jam naik mobil ke Morotai, dilanjut satu malam menumpang kapal ke Ternate, kemudian lepas landas ke Jakarta dengan pesawat selama 3 jam.

Di Jakarta, Heni menerima penghargaan sebagai perempuan pemimpin, kategori fasilitator dan pendamping komunitas Sekolah Perempuan.

“Dengan adanya Sekolah Perempuan dan difasilitasi KAPAL Perempuan, sehingga kami perempuan pemimpin pedesaan, bisa ke Jakarta, dan itu sangat luar biasa. Saya enggak nyangka,” kata Heni.

Acara ini bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional dan Ulang Tahun ke-25 LSM Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan atau KAPAL Perempuan, pada 7 Maret 2025.

Heni terlihat antusias dan semringah sepanjang acara, bercengkerama dengan puluhan perempuan pemimpin dari berbagai daerah.

Berbeda jauh dengan kondisinya saat pertama kali ke Jakarta, pada 2024 lalu.

“Persiapan berangkat, 2 hari saya sakit, sampai saya diinfus di rumah sakit, mungkin asam lambung naik karena pikiran. Jadi senang (ke Jakarta) tapi takut juga. Setelah itu berangkat ke Ternate, dan mau ke bandara, saya langsung lebih tambah sakit karena mau naik pesawat, belum pernah naik pesawat," cerita Heni sembari tertawa.

Heni aktif di Sekolah Perempuan sejak 2023. Berawal dari perjumpaannya dengan LBH Perempuan dan Anak Morotai - mitra KAPAL Perempuan- setahun sebelumnya. 

Kala itu, perempuan 36 tahun ini adalah ibu rumah tangga dan aktivis gereja, pendamping anak-anak.

Ia kemudian ikut pelatihan tentang pendampingan korban kekerasan. Empat hari, tiga malam Heni harus menginap di sebuah hotel di Morotai.

“Kami dari desa, kan, kami hanya di kampung, jadi untuk pergi ke hotel pun, pengalaman yang pertama yaitu di Hotel Molokai, pengalaman ada lucu, karena memang baru pertama kali," tutur dia.

Heni kembali ke kampung dengan membawa setumpuk buku tebal dan pengetahuan baru yang mengubah drastis cara pandangnya.

Torang (kita) ke hotel itu, sama dengan anak kuliah, torang belajar UU. Dulu enggak paham, karena, kan, kak Heni cuma lulusan SD. Jadi waktu dengar itu, ternyata di desa kami ini, banyak sudah melanggar UU," ujar Heni.

Ia terhenyak, menyadari banyak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap anak terjadi di kampungnya, dan dianggap biasa.

“KDRT di desa kami sangat tinggi. Karena banyak laki-laki yang minum-minuman keras. Jadi ketika mereka mabuk, berkelahi dengan istri, langsung dipukul. Termasuk di kak Heni orangtua pun pernah mengalami itu," ungkap Heni.

"Selain ibu kak Heni, kak Heni juga lihat ada ibu-ibu yang lain (dipukul). Perempuan tidak pernah berani melapor. Kalau picah (pecah), ya tunggu sembuh, sampai biru-biru ada yang dapat pukul. Diam saja," imbuhnya.

Pengetahuan barunya jadi bahan diskusi dengan suami dan edukasi untuk dua anaknya. Relasi di dalam keluarga kecilnya pun makin membaik.

“Tentang kesetaraan gender, kakak pulang kakak sampaikan ke suami, bahwa torang (kita) sebagai suami istri, kalau kerja, mesti berbagi. Kerja rumah bukan cuma tugas torang sebagai perempuan, laki-laki juga bisa. Suami mendukung. Jadi kalau kak Heni bekerja, suami bisa kasih bersih ikan, kak Heni cuci, suami angkat air, bantu-bantu. Mau kegiatan keluar tidak dilarang suami," terang ibu dua anak ini.

Baca juga: Daya Hidup Septia Berjuang Lepas dari Jerat UU ITE

Heni saat menjadi fasilitator di Sekolah Perempuan, Desa Tiley Pantai, Morotai, Maluku Utara. Ia menyampaikan materi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. (Foto: dok pribadi)

Heni menjadi penggerak di Sekolah Perempuan, komunitas yang diinisiasi KAPAL Perempuan. Selain mengedukasi, ia juga menangani berbagai aduan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kini, makin banyak perempuan berani melapor.

“Ketika ada masalah di keluarga, kami langsung datang dan sampaikan, bahwa sekarang, mau pukuli perempuan, itu tidak bisa sembarang, karena jika perempuan keluar darah, akan dituntut, bahaya. Mereka mendengar. Jadi ketika (mereka) mabuk, mungkin lihat, oh ada anggota Sekolah Perempuan, mereka tidak berbuat lagi untuk kekerasan," ucap Heni.

Di Desa Tiley Pantai, banyak pasangan yang sudah lama berumah tangga tetapi belum punya buku nikah, karena tiada biaya. Ini juga berdampak ke anak-anak mereka yang tak punya akta kelahiran. Heni membantu pengurusannya.

“Ada yang sudah berumah tangga 20 tahun, belum memiliki kartu nikah. Kami menjangkau dari rumah ke rumah, membantu masyarakat yang tidak bisa mengurus sendiri, karena mungkin keterbatasan ekonomi atau pendidikan, sehingga mereka tidak berani datang ke kantor desa. Kami mendampingi, kami membawa ke dukcapil, sehingga mereka bisa memiliki kartu nikah. Dan anak-anak mereka ada yang sudah menikah, belum punya akte, sehingga keluarga-keluarga tersebut, dapat memiliki adminduk," jelas Heni.

Sejak keberadaan Sekolah Perempuan, kekerasan fisik terhadap anak juga disebutnya makin turun.

"Kami sampaikan ke masyarakat, anak-anak kalau salah jangan langsung dipukul, karena bisa mengganggu perkembangan (anak). Pernah juga, ada orangtua pukul anak, sampai anak picah-picah (luka) dia punya betis," kata dia.

Sepanjang 2024, ada 4 kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang ia tangani. Tiga di antaranya mengalami kehamilan tidak diinginkan, hingga terpaksa putus sekolah. Mereka kini aktif di Sekolah Perempuan dan difasilitasi agar bisa melanjutkan pendidikan.

"Mungkin dengan pengalaman yang pernah terjadi, mereka bisa bangkit kembali. Kami dari Sekolah Perempuan dan LBH sudah berusaha supaya mereka bisa ikut paket. Ada yang (umurnya) 17 dan 19 (tahun), yang satu sudah pergi ke Manado untuk bekerja,” lanjut Heni.

Baca juga: Ainun Murwani dan Cerita Perjuangan dari Bantaran Kalijawi

Heni Tonengan (paling kanan) bersama sejumlah kader Sekolah Perempuan memperingati Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan 2024. (Foto: dok pribadi)

Penyintas

Heni sepenuh hati menangani kasus kekerasan terhadap anak. Pasalnya, ia pernah menjadi korban konflik agama di Maluku Utara pada 1999.

Heni yang masih bocah, harus mengerjakan ujian sekolah dikawal tentara. Selepas itu, mereka sekeluarga langsung mengungsi ke Sangir Talaud, kampung halaman kedua orang tuanya.

“Kak Heni pergi ujian pun didampingi tentara, karena mau menyeberang, jangan sampai ada massa di laut. Jadi kami mengungsi dulu ke pulau sebelah, setelah itu baru kami pergi ke Sulawesi, di Sangir," kisah Heni. 

Di Sangir, Heni memilih bekerja di kebun dan rumah makan, ketimbang sekolah. Pengalaman menyaksikan konflik masih lekat di benak.

“Kak Heni trauma, takut, enggak mau jalan dan keluar, (Heni) jaga kebun, kerja kelapa, kerja pala. Setelah kakak berumur 13 tahun, adik-adik, kan, banyak, jadi kak Heni mau bantu orangtua, (dengan) kerja di rumah makan," tutur anak kedua dari enam bersaudara ini. 

Pada 2003, Heni dan keluarga balik ke Tiley Pantai. Suasana masih mencekam.

“Tapi kami balik ke Morotai, itu kami pun masih takut sekali. Dulu, kan, mereka masih bom ikan, jadi ketika dengar barang berbunyi sedikit kami sudah lari di hutan-hutan. Tahun 2005 sudah aman," imbuhnya.

Ia tak ingin lagi melihat ada perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Itulah yang menyulut semangatnya tiap kali mengedukasi maupun menangani pengaduan. Meski, sesekali Heni tertegun dan berhenti ketika mendapati hambatan di perjalanan.

Misalnya, ketika korban yang didampingi menarik laporan ke polisi, karena tak punya ongkos untuk bolak-balik ke kota.

“Sampai kak Heni bilang, kalian enggak usah terlalu pikir untuk kak Heni biaya makan, nanti kak Heni bisa pakai kak Heni punya uang. Yang penting kalian semangat untuk pengurusan itu. Tapi setelah sudah berapa kali bolak-balik, mereka langsung sampaikan, mau cabut (laporan), karena baru tahap penyelidikan saja, mereka sudah meminjam uang," Heni bercerita.

Pernah juga, Heni diprotes karena menangani kasus yang melibatkan pejabat desa.

“Kecewa, mereka bilang, Suara Perempuan terlalu campuri orang punya urusan. Sampai ketika itu, disampaikan di khotbah. Sampai kak Heni pun, belum bisa masuk ibadah, kak Heni diam dulu, kasih tenang," ungkapnya. 

Heni menemukan kembali semangatnya begitu mendengar cerita sesama kader Sekolah Perempuan dari berbagai daerah. Ternyata di mana-mana, prosesnya tak mudah.

“Kak Heni langsung menangis, apa yang dorang (kita) hadapi, walaupun tara (tidak) seberat yang mereka rasa. Kak Heni sampai air mata, setelah disampaikan, kak Heni punya semangat lebih," ucap Heni mengenang.

Baca juga: Dedikasi "Suster Kargo" Bantu Korban TPPO

Direktur KAPAL Perempuan Budhis Utami. (Foto: dok KAPAL Perempuan)

Perempuan pemimpin

Komitmen dan konsistensi Heni diapresiasi Direktur KAPAL Perempuan, Budhis Utami. Heni bahkan dilibatkan dalam musyawarah desa untuk menentukan kebijakan.

“Karena dia punya komitmen kuat. Misal, dia melakukan aksi-aksi, mengorganisir ibu-ibu, menuntut supaya Sekolah Perempuan, ikut dalam Musrenbang. Dia gigih mendampingi korban-korban kekerasan. Bahkan sampai melayani di luar desanya,” kata Budhis.

Budhis juga terkesan dengan Heni yang rajin meredam potensi konflik agama. Potensi ini kerap dimanfaatkan tiap kali momen kontestasi politik.

“Kak Heni langsung di gereja mendiskusikan, enggak perlu kita konflik, kita ini tidak dapat apa-apa, yang dapat itu yang menang pemilu. Kita cuma dapat berantemnya," ujarnya. 

Bagi Budhis, apa yang dilakukan Heni sangat bermakna bagi kerja panjang memperjuangkan kesetaraan gender.

“Ibu-ibu ini adalah relawan-relawan, ujung tombak pendampingan korban, sebagai implementasi dari UU TPKS yang belum dilakukan negara,” pungkas Budhis.

Penulis: Ninik Yuniati