Article Image

SAGA

Ambisi Solo Kota Layak Anak Paripurna, Terganjal Rokok

"Kebijakan setengah hati pembatasan reklame rokok di Solo"

Beberapa anak tengah bermain di Taman Cerdas Soekarno-Hatta, Jebres, Solo. (Foto: KBR/Yudha)

KBR, Solo - Di kawasan Pedaringan, Jebres, Solo, Jawa Tengah, sejumlah baliho iklan rokok masih terpasang. Padahal, wilayah ini dipadati institusi pendidikan, seperti kampus Universitas Sebelas Maret (UNS), Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Akademi Komunitas Tekstil Solo, dan SMK Warga.

Dua baliho iklan rokok bahkan ditemukan hanya berjarak 20 meter dari SMK swasta tersebut.

Ini melanggar Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2023 tentang penyelenggaraan reklame. Tak boleh ada iklan rokok di radius 200 meter dari lingkungan pendidikan.

Aturan pembatasan reklame rokok sudah setahun berlaku di Solo. Namun, efektivitasnya belum signifikan. Padahal, Solo berambisi meraih predikat Kota Layak Anak Paripurna.

Riset Yayasan Kepedulian untuk Anak atau Yayasan Kakak pada 2022 menunjukkan ada 128 sekolah di Solo terpapar iklan rokok yang terpajang di radius 150 meter dari sekolah. Kondisi ini diyakini menjadi sebab meningkatnya jumlah perokok usia anak, kata Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati.

“Hampir 60 persen (iklan rokok) berada di dekat sekolah dan paling banyak itu di SD. Ada keterkaitan, karena ketika anak melihat iklan, dia akan belajar tentang produk itu. Yang kedua, ketika melihat promosi. Promosi itu tandanya di situ ada harganya, sehingga anak akan berpikir bahwa ‘oh saya mampu beli’,” kata Shoim.

“Ketika riset, salah satu hal yang mendasari kenapa kamu (anak) merokok, karena harganya terjangkau. Dan ketika harganya naik, dia akhirnya menurunkan konsumsinya. Makanya salah satu hal yang kita tekankan ke negara adalah rokok itu harus mahal,” imbuhnya.

Baca juga: Mending Belanja Bahan Pokok Ketimbang Buat Beli Rokok

Direktur Yayasan Kepedulian untuk Anak (Kakak), Shoim Sahriyati di acara di FGD Save Our Surrounding, di Solo, Rabu (24/7/2024).(Foto: KBR/Yudha).

Masifnya iklan rokok di lingkungan pendidikan juga menjadi temuan Pemuda Penggerak, sebuah komunitas anak muda di Solo.

Pada Maret 2023, mereka mendapati 605 iklan dan promosi rokok di radius kurang dari 200 meter dari sekolah.

Mirisnya, temuan terbanyak justru di sekitar SD sebanyak 192 titik dan pendidikan anak usia dini (PAUD) 56 titik.

Pemkot Solo mengeklaim terus menertibkan reklame rokok. Akhir Juni lalu, aparat mencabut 9 baliho iklan rokok di sekitar sekolah.

Sedangkan, pelarangan sepenuhnya iklan rokok di Solo, sulit dilakukan. Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Solo Tulus Widajat beralasan, rokok berkontribusi ke pendapatan daerah dan membuka lapangan kerja.

Tulus mengaku sempat diprotes pengusaha periklanan ketika perda pengaturan reklame disahkan.

“Pergerakan ini harus kita pikirkan, karena mereka juga mencari makan, teman-teman vendor itu kemarin begitu perdanya di-gedok, saya digeruduk, sama teman-teman pelaku reklame outdoor. Karena memang rokoklah yang memberikan keuntungan ekonomi yang paling tinggi, mereka yang mau membayar,” ujar Tulus.

Komitmen Solo untuk menjadi Kota Layak Anak Paripurna dipertanyakan Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra. Alasan bahwa rokok menyumbang ekonomi daerah dinilainya tidak berdasar. Ia membandingkan inovasi yang berhasil dilakukan Pemerintah Kota Bogor setelah melarang sepenuhnya iklan rokok di luar ruangan.

“Bagaimana Kota Bogor berhasil dengan menghapus larangan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya di tahun 2009 meningkat dari yang hanya Rp115 miliar, menjadi Rp600-an miliar di tahun 2016,” ucap Manik.

“Bukti nyata, best practice-nya sudah ada, tinggal political will, dari masing-masing kepala daerah, untuk kemudian mereka berani mengambil sikap. Hingga akhirnya, bukan hanya pendapatan ekonomi yang diukur secara sederhana, tapi juga dampak investasi pembangunan SDMnya, termasuk melindungi anak-anak dari bahaya merokok,” tutur Manik.

Baca juga: Cek Fakta: Rokok Herbal Dapat Menjaga Kesehatan hingga Menyembuhkan Penyakit?

Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) Manik Marganamahendra di sela acara FGD Save Our Surrounding, di Solo, Rabu (24/7/2024).(Foto: KBR/Yudha).

Meski begitu, Manik mendukung pembatasan iklan rokok di lingkungan pendidikan yang diterapkan di Solo. Perlu kolaborasi lintas sektor agar Solo bisa mencapai Kota Layak Anak Paripurna.

"Agar orang-orang muda ini terhindar dari bahaya merokok, pemerintah harus membuat bagaimana caranya sekolah jauh dari tempat-tempat menjual rokok, jauh dari tempat-tempat yang mengiklankan, mempromosikan, ataupun sponsorship rokok, sehingga dibatasi aksesnya. Akhirnya informasi mereka terkait rokok, semakin berkurang, dan mereka bisa memilih kegiatan-kegiatan yang jauh lebih produktif,” terang Manik.

Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati menuturkan, aturan reklame rokok di Solo yang berlaku saat ini bisa menjadi titik awal menuju larangan total.

"Kalau bicara tentang layak anak, indikator 17, harusnya memang larangan total. Solo memulai dari radius 200 meter dari sekolah dan sebenarnya ini menjadi salah satu pintu masuk, untuk kita harus tetap dorong, sampai pada 100 persen pelarangan. Karena perda reklame ini pun, juga harus ditekankan bagaimana implementasinya," kata Shoim.

Sementara itu, menurut Wakil Ketua DPRD Kota Solo, Sugeng Riyanto, penegakan aturan memang masih menjadi ganjalan dalam upaya melindungi anak dari paparan produk tembakau.

Politikus PKS ini menyayangkan pembatasan iklan rokok baru berlaku di kawasan pendidikan. Padahal ada enam kawasan lain yang juga ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok di Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Di antaranya, fasilitas layanan kesehatan, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya. Mestinya pembatasan serupa juga diterapkan di seluruh kawasan tersebut.

“Okelah 200 meter, tapi tidak hanya dari tempat pendidikan, tapi dari semua Kawasan Tanpa Rokok. Misalnya, 200 meter dari tempat penyelenggaraan olahraga, rumah sakit, dan sebagainya. Ada 7 kawasan tanpa rokok yang mestinya radius 200 meter darinya itu enggak boleh ada iklan. Tapi ternyata, yang dipakai hanya 200 meter dari tempat penyelenggaraan pendidikan saja,” kata Sugeng.

Penulis: Yudha Satriawan

Editor: Ninik Yuniati