RAGAM

Mendidik Generasi Inklusif, Bagaimana Caranya?

Inklusi berkaitan erat dengan keragaman dan kemanusiaan yang mencakup empati, keadilan, kepedulian, serta rasa kepantasan

DIPERSEMBAHKAN OLEH KBR Media / Tim Ruang Publik

Sejumlah siswa mengikuti sosialisasi pencegahan perundungan atau bullying di SMA 70, Jakarta, Selasa
Sejumlah siswa mengikuti sosialisasi pencegahan perundungan atau bullying di SMA 70, Jakarta, Selasa (27/2/2024). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.

KBR, Jakarta - Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan masih terus terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada Januari-Desember 2023, ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang terekam di media massa. Total ada 134 pelaku, 339 korban, dan 19 orang meninggal dunia. Pelakunya tak hanya guru, tapi juga murid. 

Yang terbaru adalah kasus perundungan di Binus School Serpong. Pelaku dan korbannya sesama murid. Kasus ini makin mengkonfirmasi betapa besarnya tantangan untuk mendidik generasi inklusif.

Praktisi Pendidikan dan Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG), Henny Supolo mengatakan bahwa inklusi berkaitan erat dengan keragaman dan kemanusiaan yang mencakup empati, keadilan, kepedulian, serta rasa kepantasan yang berdasar dari cinta kasih.

red

“Empati itu sangat penting. Dan pada saat kita bicara empati, kita juga bicara mengenai kepantasan. Kepantasan itu perlu sekali untuk dibiasakan dalam berbagai bentuk sejak dini”, ujar Henny.

Untuk menciptakan generasi yang inklusif, tenaga didik dan keluarga memiliki peran penting. Contoh buah nilai inklusi yang dimulai dari rumah dan keluarga sangatlah sederhana. Caranya dengan memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapatnya. Sedangkan di lingkungan pendidikan, anak bisa dilatih untuk sabar mendengarkan temannya dan menghargai pendapat yang berbeda.

Lebih lanjut, Henny menyebut bahwa orang tua dan tenaga didik perlu mengajarkan anak untuk membiasakan diri mengucapkan tiga kata ajaib, yaitu tolong, terima kasih, dan maaf. Kebiasaan ini penting ditanamkan agar anak dapat lebih menghargai diri sendiri sekaligus menghormati sesama. 

Menurut Henny, anak perlu dipupuk sejak dini tentang etika atau kepantasan. Selama ini, kata dia, banyak pelanggaran yang hanya dilihat dari sisi hukum semata. 

Baca juga: KPAI: Belum Efektif, Langkah Preventif Tangani Kasus Perundungan

“Bukan cuma malu melainkan juga ada rasa berat ketika melakukan pelanggaran. Rasa berat yang ada di dalam diri itu sangat penting untuk ditumbuhkembangkan ketika kita melakukan sesuatu yang tidak pantas. Ketimbang mencari hukuman dan pujian,” jelas Henny.

Lalu bagaimana mendobrak prasangka dan diskriminasi untuk ciptakan nilai inklusi pada anak? Simak jawabannya dalam siaran Ruang Publik KBR episode Tantangan Mendidik Generasi Inklusif di Era Digital hanya di kbrprime.id.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!