RAGAM

Jaringan Transformasi Indonesia dan Koalisi Kami Berani Sambangi Kantor KBR Media

Pemberitaan yang penuh stigma ini tidak hanya memperburuk pandangan publik terhadap kelompok rentan, tetapi juga meningkatkan risiko diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka.

DIPERSEMBAHKAN OLEH KBR Media / Auzan Farhansyah

EDITOR / Paul M Nuh

Jaringan Transformasi Indonesia dan Koalisi Kami Berani Sambangi Kantor KBR Media

KBR, Jakarta - Senin siang, 19 Agustus 2024 lalu KBR Media kedatangan tamu spesial. Mereka adalah teman-teman dari Jaringan Transformasi Indonesia dan Koalisi Kami Berani. Mereka adalah orang-orang dari kelompok rentan, yang di setiap aktivitasnya dianggap meresahkan bahkan menyimpang. Mereka berasal dari berbagai lembaga, seperti Pusaka, CRM, AP, TI, YIFOS, JTID, F2BM, GWL-INA, juga Remotivi. Latar belakang mereka ada yang berasal dari masyarakat adat, kelompok keberagaman gender dan seksual, agama, budaya, dan lain-lain.

Mereka bercerita bagaimana susahnya jadi kelompok rentan dan minoritas. Bagaimana sulitnya mendapatkan pelayanan yang memadai dan beraktivitas secara normal. Bahkan bagi sekelompok masyarakat adat di Papua, Pusaka misalnya, hak mereka sebagai masyarakat adat semakin terabaikan. Pembangunan dan investasi yang sangat masif di Papua tidak menyentuh kesejahteraan mereka. Proyek food estate yang diandalkan pemerintah Jokowi juga tidak pernah mereka rasakan.

Cerita lain datang dari Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang ajarannya dianggap sesat dan menyimpang. Misalnya penutupan Masjid Ahmadiyah di Garut. Pemerintah beralasan bangunan itu tidak berizin dan digunakan Jemaat Ahmadiyah untuk beribadah. Padahal sudah jelas itu adalah masjid. Ahmadiyah sering dianggap bukan salah satu aliran Agama Islam, karena ajarannya dianggap sesat dan menyimpang, tidak sesuai syariat Islam.

Peraturan diskriminatif lainnya adalah bagi mereka kelompok keberagaman gender dan seksualitas. Pemberitaan yang sering kali bersifat negatif mengenai kelompok LGBTIQ+ di Indonesia memiliki dampak serius terhadap kehidupan dan hak-hak dasar mereka. Terlebih lagi menjelang pemilu dan pilkada, isu LGBTIQ+ sering digunakan sebagai bahan spekulasi untuk menarik perhatian dan dukungan pemilih. Pemberitaan yang penuh stigma ini tidak hanya memperburuk pandangan publik terhadap LGBTIQ+, tetapi juga meningkatkan risiko diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka.

"bahkan kepala daerah di wilayah-wilayah seperti Aceh cukup tegas terhadap isu LGBTIQ+ untuk ditolak dan menjadi dampak dari spanduk-spanduk ini muncul di wilayahnya." Ujar perwakilan dari Arus Pelangi.

di tahun 2024 ini ada 136 pemberitaan diskriminatif yang spesifik membahas LGBTIQ+, bahkan menjadi dampak tersebarnya spanduk-spanduk di wilayah RT dan RW yang tegas mengusir LGBT dari wilayah mereka. Tapi menurut Arus Pelangi, KBR berbeda. KBR bukan media yang menakutkan untuk kelompok LBGTIQ. Pemberitaan KBR progresif di tengah permintaan pasar.

Kondisi serupa juga terjadi pada teman-teman yang sedang menjalani pengobatan reguler. Mereka sering kali dihadapkan pada penanganan berupa ceramah berbasis agama daripada perawatan medis yang sesuai. Hal ini berpotensi menyebabkan "loss to follow up," di mana pasien kehilangan minat untuk melanjutkan pengobatan medis mereka, dan akhirnya mengabaikan terapi yang penting untuk kesehatan mereka.

Meskipun tindakan tersebut mungkin tidak menimbulkan bahaya fisik langsung, dampak psikologisnya bisa sangat merusak. Perlakuan yang tidak sensitif dan berbasis agama ini dapat mengganggu kesehatan mental pasien, memperburuk kondisi mereka, dan menghambat proses penyembuhan.

Menanggapi permasalahan ini, Koalisi KAMI BERANI mendukung pengesahan RUU Penghapusan Diskriminasi komprehensif sebagai langkah strategis untuk melindungi kaum muda dan komunitas lainnya. RUU ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua individu, terutama mereka yang sedang berjuang dengan penyakit, mendapatkan hak atas perawatan medis yang adil dan sesuai tanpa campur tangan berbasis agama yang tidak relevan. Dengan pengesahan RUU ini, diharapkan akan ada perubahan positif dalam sistem kesehatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua pasien.

Baca juga: Pesan Wapres Ma’ruf Amin: Jaga Keberagaman, Hindari Letupan | Berita Terkini, Independen, Terpercaya | KBR ID

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!