RAGAM

Cukai MBDK dan Rokok untuk Indonesia Lebih Sehat

Konsumsi MBDK berlebihan berkaitan erat dengan peningkatan resiko obesitas dan penyakit tidak menular (PTM).

DIPERSEMBAHKAN OLEH Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) / Paul M Nuh

Cukai MBDK dan Rokok untuk Indonesia Lebih Sehat

KBR, Jakarat - Kebijakan pemerintah diyakini sangat berperan dalam pengendalian penyakit tidak menular. Dua program yang saat ini sedang dikerjakan oleh CISDI terkait kebijakan pengendalian penyakit tidak menular adalah advokasi penguatan kebijakan cukai tembakau dibawah naungan program Tobacco Control dan implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di bawah naungan Food Policy. Cukai MBDK diyakini menjadi instrumen yang tepat untuk mengendalikan penyakit tidak menular mengingat konsumsi MBDK terus meningkat dan konsumsi MBDK berlebihan berkaitan erat dengan peningkatan resiko obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung dan sindrom metabolik. Namun, penerapannya masih terus ditunda.

Dalam advokasi terkait cukai tembakau, CISDI telah menyusun beberapa riset dan analisa kebijakan sebagai baseline dalam melakukan mengadvokasi. Riset dan analisa kebijakan yang telah disusun berkaitan dengan dampak ekonomi dari konsumsi produk tembakau, kebijakan cukai tembakau, serta mikrosimulasi simplifikasi cukai untuk menekan angka perokok pemula. Advokasi dan studi ini dilakukan mengingat prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat. Tercatat terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8.8 juta orang, yang awalnya dari 60.3 juta pada tahun 2011 menjadi 69.1 juta orang pada 2021 (GATS, 2021). Peningkatan jumlah perokok juga terjadi pada populasi anak dan remaja, dimana menurut Riset Kesehatan Dasar Kementerian Republik Indonesia (Riskesdas) prevalensi perokok anak mencapai 7,20% (2013), lalu naik menjadi 8,80% (2016), lalu naik 9,10% (2018), dan meningkat menjadi 10,70% (2019). Apabila tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan diperkirakan meningkat hingga 16% pada tahun 2030.

red
Sesi Diskusi Publik bersama Olivia Herlinda, Chief Research & Policy CISDI, Iman Zein, Project of Lead for Tobacco Control CISDI dan DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum, Ahli Gizi Masyarakat.


Tahun 2024 akan menjadi periode baru bagi pemerintahan baru pilihan masyarakat dalam pemilu 2024. Melihat hal ini, CISDI mengkhawatirkan soal pergeseran prioritas mengingat wacana cukai MBDK merupakan usulan dari pemerintahan saat ini. Kekhawatiran ini muncul ketika dalam adu gagasan dan diskusi bakal calon presiden beberapa waktu lalu belum terlihat aspek kesehatan menjadi topik utama pembahasan dan adu gagasan. Oleh sebab itu dibutuhkan suara yang lebih banyak untuk mendorong para bakal calon presiden memasukkan isu kesehatan, terutama soal pengendalian penyakit menular, salah satunya lewat pemberlakuan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan.

Untuk memperbincangkan hal tersebut, CISDI, Bijak Memilih dan KBR berkolaborasi menggelar talkshow dan FGD bertajuk “Cukai MBDK dan Rokok untuk Indonesia Lebih Sehat”, dengan menghadirkan para narasumber:

  • DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum, Ahli Gizi Masyarakat
  • Olivia Herlinda, Chief Research & Policy CISDI
  • Iman Zein, Project of Lead for Tobacco Control CISDI
  • Zakiah, Perwakilan DPRemaja DAPIL DKI JAKARTA
  • loysius Efraim Leonard, Community Lead - Think Policy Indonesia & Bijak Memilih
  • Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI

dr. Olivia menyebut, bahwa penyakit tidak menular menjadi salah satu beban penyebab kematian terbesar di Indonesia. Stroke, jantung dan diabetes merupakan penyebab terbesar kematian. Dan ketiganya merupakan penyakit tidak menular. Namun perhatiannya tidak sebanyak kepada penyakit menular yang langsung terlihat dampaknya. Sementara penyakit tidak menular lebih banyak bersifat jangka panjang, kronik, sayang sekali faktor resikonya tidak dilihat dan dikendalikan dengan ketat.

Cukai MBDK penting dalam pengendalian penyakit tidak menular. dr. Olivia melihat di negara lain cukai menjadi kebijakan cost efective dan instrumen fiskal yang mengendalikan konsumsi masyarakat. Ini sudah diberlakukan di lebih dari 100 negara. dr. Olivia melihat ini menjadi satu kebijakan penting yang harus diterapkan di Indonesia untuk menekan konsumsi masyarakat.

DR. Tan tidak bisa menampik bahwa remaja dan dewasa muda adalah trendsetter. Kalau trendsetter ini tidak punya bekal, yaitu gizi keluarga. Di negara maju it doesn't better. Pemerintah menerapkan iklan layanan masyarakat, juga menerapkan tentang edukasi gizi keluarga sejak anak usia dini. dari kecil anak-anak sudah mengerti mana yang lampu ijo, lampu kuning lampu merah. Istilahnya traffic light of consumption. Lampu ijo itu apa yang biasa dimasak ibu di rumah setiap hari, ada sayur, buah dan sebagainya. Yang kuning yang sekali-sekali, seperti jajanan pasar, kue ulang tahun, perayaan natal, dll. Yang lampu merah adalah produk-produk yang ultra proses, yang sebetulnya gak dikonsumsi juga gak bikin mati.

Sedihnya menurur Dr. Tan, remaja sebagai trendsetter gak punya pegangan, sementara mereka ingin eksis. "Mereka bisanya cuma bisa ngeceng dengan bobba yang harganya sekian. Yang franchise dari luar negeri. Yang kesannya kalau dah masuk Indo keren gitu lho....".

Bincang seru dengan dr. Olivia, Dr. Tan dan narsum lainnya, selengkapnya bisa anda simak di Youtube KBR.

Baca juga: Cukai MBDK Bukan Musuh Industri - kbr.id

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!