
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) berencana mengajukan permohonan praperadilan terhadap penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen dan sejumlah aktivis. Upaya hukum yang dilakukan polisi dinilai cacat prosedur.
Delpedro dan beberapa aktivis seperti Syahdan Husein dari Gejayan Memanggil, Khariq Anhar, mahasiswa Universitas Riau, dua pegiat media sosial RAP, dan Figha Lesmana, saat ini berstatus sebagai tersangka. Mereka dituduh menghasut pelajar, termasuk anak-anak untuk melakukan tindakan yang dilabeli polisi sebagai "aksi anarkis", dalam gelombang unjuk rasa yang terjadi sejak 25 Agustus 2025 lalu.
Langkah polisi ini dikecam sebagai bentuk kriminalisasi aktivis dan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Polisi dinilai gagal membedakan antara ekspresi kebebasan berpendapat dan provokasi.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap warga. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sejak 2019 sampai dengan Mei 2025, ada 154 kasus kriminalisasi oleh polisi dengan total 1.097 orang korban. Sebagian besar kriminalisasi terjadi ketika masyarakat tengah melakukan demonstrasi dan saat mengkritisi kebijakan di media sosial.
Bagaimana perkembangan terbaru kasus kriminalisasi terhadap Delpedro dan kawan-kawan? Bagaimana dengan tuntutan masyarakat sipil agar kasus tersebut dihentikan? Mengapa kriminalisasi terhadap warga terus terjadi? Apakah Indonesia sudah darurat kebebasan berpendapat?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topik ini bersama Anggota Kompolnas Yusuf Warsyim, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya, dan Pakar Hukum Pidana Dr. Chairul Huda, SH, MH.
Komentar
Loading...

