NASIONAL

Tolak Uji Materi KUHP Baru, Kontras: MK Tak Pro-Demokrasi

""Artinya Mahkamah Konstitusi telah memberikan suatu legitimasi bagi pasal-pasal yang antidemokrasi ini,” "

Ardhi Ridwansyah

KUHP
Ilustrasi: Spanduk tolak pengesahan RKUHP di Jakarta, Senin (5/12/2022). (Foto: Aliansi Nasional Reformasi KUHP)

KBR, Jakarta- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyoroti putusan MK yang menolak permohonan uji materi sejumlah Pasal dalam KUHP baru, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Peneliti KontraS, Rozy Brilian mengatakan kecewa terhadap putusan MK tersebut. Padahal, sejumlah pasal di KUHP baru dinilai berpotensi memberangus demokrasi terutama dalam aspek kebebasan berekspresi.

“Ketika misalnya Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang diujikan ini, artinya Mahkamah Konstitusi telah memberikan suatu legitimasi bagi pasal-pasal yang antidemokrasi ini,” kata Rozy Brilian saat dihubungi KBR, Rabu (1/3/2023).

Rozy menambahkan semestinya MK mempertimbangkan substansi dari sejumlah pasal KUHP baru yang berpotensi mengancam demokrasi tersebut. Meski memang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 baru berlaku pada 2026, namun jangan sampai ketika ada korban kriminalisasi akibat mengkritik presiden saat unjuk rasa baru MK bertindak lakukan uji materi.

“Sebenarnya masyarakat juga berhak untuk menguji, sudah diumumkan juga di lembaran negara artinya sudah legal walaupun memang ada klausul bahwa berlaku tiga tahun lagi, tapi apakah kemudian harus menunggu orang dikriminalisasi karena mengkritik lembaga negara dulu baru MK punya kewenangan untuk mengadili? Kan enggak juga. Berarti saya lihat MK tidak memiliki suatu pemikiran prodemokrasi,” ucap Rozy.

Baca juga:

Mahkamah Konstitusi pada Selasa (28/2/23) tidak dapat menerima permohonan pengujian  tentang penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap pemerintah yang termuat dalam ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan diajukan oleh Fernando Manullang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Pemohon I), Dina Listiorini (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta/Pemohon II), Eriko Fahri Ginting (Content Creator/Pemohon III), dan Sultan Fadillah Effendi (Mahasiswa/Pemohon IV). 

Selain itu pada hari yang sama MK   memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian ketentuan terkait pencemaran nama baik pada  Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Permohonan diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang berprofesi sebagai advokat.

Selain itu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (28/2/23) menyatakan gugatan perkara Nomor 10/PUU-XXI/2023, yang memohon hakim menguji Pasal 603 dan 604 KUHP tentang ancaman hukuman minimal dua tahun penjara bagi koruptor, tidak diterima. Perkara tersebut diajukan oleh Andi Redani Suryanata, Abdullah Ariansyah, Muhammad Ridwan, Muhammad Nurfaldi Hanafi, M. Rony Syamsuri, dkk. Mereka menggugat tiga pasal pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.

Dua pasal UU KUHP yang digugat itu yakni Pasal 603 dan 604 KUHP yang mengatur ancaman hukuman minimal hanya dua tahun penjara bagi koruptor. Satu pasal lainnya yang juga digugat ialah Pasal 256 tentang pemidanaan atas aksi unjuk rasa menyebabkan terganggunya kepentingan umum.

Editor: Rony Sitanggang

  • RKUHP
  • Jokowi
  • kuhp
  • Mahkamah Konstitusi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!