indeks
Dolar Menguat Harga Kedelai Naik, Bagaimana Nasib Gocujang hingga Tempe

Ketergantungan Indonesia akan kedelai impor menghadapi tantangan ...

Penulis: Aura Antari, Sindu

Editor: Sindu

Google News
Dolar Menguat Harga Kedelai Naik, Bagaimana Nasib Gocujang hingga Tempe
Ilustrasi: Pekerja menata peralatan di sentra industri tahu dan tempe di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Gocujang atau pasta cabai kerap muncul dalam berbagai adegan di drama Korea (drakor) yang tayang di berbagai platform. Penggemar drakor tentu tidak asing dengan gocujang yang sering dipakai menambah cita rasa makanan asal Negeri Ginseng, semisal kimbap.

Gocujang memiliki rasa gurih, pedas, asin, dan manis. Bahan untuk membuatnya antara lain cabai merah bubuk dan kedelai yang difermentasi. Gocujang adalah salah satu olahan yang terbuat dari kedelai, yang kini juga populer di Indonesia beberapa waktu terakhir. Saus ini juga sudah diproduksi di Indonesia.

Selain gocujang banyak sekali olahan berbahan kedelai, sebut saja susu kedelai, tahu, tempe, kecap, tauco, miso, kembang tahu, hingga oncom. Tetapi, di Indonesia, kedelai populer sebagai bahan baku tempe dan tahu. Bahkan, tempe dan tahu jadi makanan utama sebagian masyarakat.

Impor

Meski tempe dan tahu bisa ditemui dengan mudah di pasar tradisional hingga pasar modern, namun bahan bakunya sebagian besar masih diimpor dari luar, seperti Amerika Serikat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Amerika Serikat (AS) jadi negara utama pengimpor kedelai ke Indonesia. Dari 2,47 juta ton kedelai yang diimpor pada 2020, sekitar 2.23 juta ton berasal dari Negeri Paman Sam.

Demikian juga pada 2021, total impor kedelai mencapai 2.48 juta ton, sekitar 2,15 juta ton dari AS. Pada 2022, Indonesia mengimpor 1,92 juta ton kedelai dari AS.

Lalu, 2023, total ada 2,27 juta ton kedelai yang diimpor, 1,94 juta ton-nya berasal dari Amerika Serikat. Pada 2023 nilai impor kedelai mencapai 1,47 miliar dolar AS atau sekitar 23 triliun rupiah.

Kondisi ini menunjukkan Indonesia memiliki ketergantungan dengan impor kedelai dari AS. Negara lain tempat Indonesia mengimpor kedelai adalah Kanada dan Argentina.

red
Ilustrasi: Panen kedelai di persawahan. Foto: ANTARA


Dolar Naik dan Tarif AS

Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor menghadapi tantangan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, dan pengenaaan tarif baru yang akan diterapkan Presiden AS Donald Trump.

Defisit nilai perdagangan yang terjadi antara Indonesia dan Amerika, membuat Trump menaikkan tarif Indonesia menjadi 32 persen. Negara lain juga dikenakan kenaikan dengan jumlah bervariasi.

Meski, pengenaan tarif itu kini ditunda hingga 90 hari, namun menguatnya dolar AS atas rupiah tetap memengaruhi harga kedelai global. Per Jumat, (11/4), nilai tukar rupiah Rp16.796 per dolar AS. Sebelumnya, dolar sempat menguat di atas Rp17.000.

Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, harga acuan penjualan (HAP) tingkat konsumen untuk kedelai biji kering impor per Minggu, 13 April 2025, pukul 07.19 WIB, Rp10.576 rupiah per kilogram.

Tetapi, harganya bervariasi di tiap provinsi. Tertinggi ada di Nusa Tenggara Barat, yakni Rp14.000 per kilogram, dan Papua Barat Daya Rp13.667 per kg. Lalu, termurah ada di DI Yogyakarta, yaitu Rp9.600 per kg, di hari yang sama.

Nol Persen Bea Impor

Harga yang terpampang di panelharga.badanpangan.go.id, berbeda dengan yang ada di lapangan. Menurut Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Sutaryo, harga kedelai naik Rp500 rupiah per kilogram.

"Jadi, sebelum Lebaran, kemarin sudah naik itu fluktuasinya, fluktuasi dolar. Jadi, dari sebelum Lebaran pada pulang kampung itu kedelai eceran Rp9.500 sekarang sudah Rp10.000. Tetapi, bukan karena pengaruh biaya masuk, tetapi pengaruh rupiah terhadap dolar," ujarnya kepada KBR, Jumat, (11/4/2025).

Sutaryo menilai, harga tersebut relatif masih normal, namun pemerintah tetap harus waspada akan kenaikan harga apabila kebijakan tarif 0% kedelai impor berubah.

Sebab, kedelai impor jadi bahan utama pembuatan tempe konsumsi di Indonesia. Itu sebab, pemerintah memberlakukan tarif nol persen untuk kedelai.

"Jadi, masih relatif aman. Enggak tahu nanti pergerakannya seperti apa. Tetapi, saya punya keyakinan pemerintah enggak berani nerapin biaya masuk impor," katanya.

Kendati demikian, Sutaryo mengatakan apabila rupiah terus melemah, maka para pedagang akan terpaksa mengurangi ukuran tempe di pasar.

"Tetapi, jatuh-jatuhnya ya, oh, harga tempe kok naik karena kok biasanya gede sekarang kok kecil gitu, loh. Harganya tetap, tetapi pada hakikatnya sebenarnya naik," ujarnya.

Harga akan dinaikkan jika kedelai impor nilainya melonjak. Saat ini tempe dijual Rp6 ribu per papan. Harganya juga berbeda-beda di tiap daerah.

"Cuma dia enggak mau mengubah harga, maka barangnya yang dikurangin. Nanti semakin dikurangin kalau sudah enggak tahan, baru barang digedein lagi lalu harga dinaikkan," kata Sutaryo.

red
Perajin sedang mengolah kedelai menjadi tempe. Foto: Aribowo


Mengandalkan Kedelai Impor

Hingga kini sebagian besar perajin tempe masih mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku utama. Semisal, perajin tempe asal Jakarta Timur, Japari.

Menurutnya, meski kedelai lokal lebih berkualitas dan tidak mengandung Genetically Modified Organism (GMO), ketersediaannya terbatas dan harganya cenderung lebih mahal.

"Saya sendiri dari tahun 1999 sampai sekarang belum pernah menemukan kedelai lokal. Jadi,selalu produksi dari kedelai impor. Bukan tidak ada peminat sebenarnya apalagi untuk tahu. Kedelai lokal itu paling disenangin orang pengusaha tahu karena aci-nya lebih banyak daripada kedelai impor. Cuma barangnya enggak ada," ujar Japari kepada KBR, Jumat, (11/4/2025).

"Yang diinginkan para perajin itu cuma stabilitas harga saja. Kalau sudah Rp10 ribu, ya, Rp10 ribu saja. Makanya sekarang sudah agak tenang perajin tempe karena harga sudah stabil. Kita tidak muluk-muluk minta harga yang murah. Kita sesuaikan saja harga. Cuma stabilitas harga itu. Artinya kalau memang harga standar Rp10 ribu, ya, Rp10 ribu terus," ujarnya.

Mengapa Impor Kedelai Tinggi?

Impor kedelai tinggi lantaran produksi nasional tak mencukupi. Tahun 2022 misalnya, produksi kedelai dalam negeri hanya 301 ribu ton.

Padahal, kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,8 juta ton per tahun. Artinya, Indonesia defisit kedelai 2,5 juta ton, dan harus ditutup dengan impor.

Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah jadi provinsi penyumbang kedelai terbanyak. Data 2023, produksi kedelai Jawa Timur mencapai 100 ribu ton biji kering, disusul Jawa Tengah 81 ribu ton, dan Jawa Barat 38 ribu ton.

Pemerintah berulang kali mewacanakan swasembada kedelai, namun realisasinya masih jauh. Belum lama ini Presiden Prabowo juga kembali menggaungkan swasembada sejumlah komoditas pangan. Salah satunya kedelai yang ditarget swasembada pada 2028. Tetapi, nyatanya tiga tahun menjelang 2028, Indonesia masih belum bisa lepas dari impor kedelai, terutama AS.

Sepanjang Januari hingga September 2024, Indonesia sudah mengimpor 2,16 juta ton kedelai senilai 1,15 miliar dolar AS atau sekitar Rp18,14 triliun. Dari jumlah itu, Rp16,24 triliunnya dibayarkan ke AS.

red
Presiden Prabowo saat Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025. Foto: BPMI Setpres


Lobi AS

Ketergantung RI akan kedelai impor dari AS, bakal sangat berdampak jika kenaikan tarif resiprokal (imbal balik) 32 persen diberlakukan. Kenaikan tersebut memang masih ditunda 90 hari oleh Trump.

Karena itu, dalam waktu dekat pemerintah Indonesia akan negosiasi dengan Presiden AS Donald Trump soal tarif impor 32 persen. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan alasannya.

"Indonesia memilih jalur negosiasi, karena Amerika merupakan mitra strategis, kemudian juga revitalisasi perjanjian perdagangan dan investasi, di mana TIFA (Trade and Investment Framework Agreement) ini terakhir tahun 1996, jadi sudah menjadi tidak, sudah absolete perjanjian ini," kata Airlangga saat Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025.

"Presiden Prabowo juga telah menyetujui pembelian produk pertanian dari AS, seperti soybean (kacang kedelai) dan wheat (gandum), untuk menjaga keseimbangan neraca dagang," papar Airlangga.

Pemerintah menegaskan, tidak ada perang dagang atau tarif balasan untuk AS. Data terakhir menyebut surplus nilai dagang Indonesia dengan Amerika Rp17-an miliar.

red
Ilustrasi: Penjualan tempe di salah satu pasar tradisional. Foto: ANTARA


Hati-Hati

Pengamat pertanian meminta pemerintah Indonesia harus berhati-hati merespons kenaikan tarif Trump. Sebab, Indonesia masih bergantung pada sejumlah komoditas pertanian dari Amerika Serikat, yaitu jagung, daging, dan kedelai. Apalagi tempe, salah satu olahan dari kedelai tergolong makanan utama masyarakat kalangan bawah.

Menurut pengamat pertanian Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Eliza Mardian, pemerintah harus memastikan daya beli masyarakat tidak menurun.

"Jangan sampai kita ini malah jadi bunuh diri. Para petani kita malah semakin kalah saing sehingga lama-lama kita akan semakin bergantung pangannya terhadap pangan impor. Sementara rupiah kita terus melemah. Jadi, artinya nanti harga-harga jagung kedelai kalau misalkan rupiah kita semakin melemah, otomatis berarti nanti harga yang kita beli makin mahal," uja Eliza kepada KBR, Kamis, (10/4/2025).

Eliza menilai, konsumen lebih menyukai bentuk kedelai AS yang lebih besar. Selain itu, rasa juga jadi pertimbangan, sebab kedelai Genetically Modified Organisms (GMO) dari AS tidak sama dengan kedelai dalam negeri.

"Dari sisi kuantitas pun kedelai di Indonesia ini kan biasanya petani itu menanam kedelai itu di musim tanam ketiga, jadi memang bukan tanaman utama. Karena memang dari segi harganya pun itu tidak menarik bagi para petani untuk menanam," imbuhnya.

Investasi

Selain itu kata dia, petani juga mempertimbangkan pendapatan ketika menanam satu komoditas, termasuk kedelai.

"Bagaimanapun petani ini adalah homo economicus, sehingga dia akan menanam ketika keuntungannya lebih besar gitu. Sementara kan dari sisi harga kedelai dalam beda ini kan kurang menarik, lebih baik mereka menanam lagi padi dibandingkan dengan kedelai," kata Eliza.

Eliza menilai pemerintah perlu berinvestasi untuk menemukan varietas kedelai yang cocok ditanam di Indonesia.

"Ini kan butuh yang namanya dukungan penuh dari pemerintah, misalkan kampus-kampus didorong untuk menghasilkan varietas yang bisa menyesuaikan dengan selera masyarakat. Karena bagaimanapun pangan ini akan dipengaruhi oleh selera konsumen," ujarnya.

Eliza juga menyarankan pemerintah berhati-hati dalam pembatasan impor, agar tak terjadi lonjakan harga bahan pangan. Tetapi di satu sisi, pemerintah juga harus berperan menjaga pasokan agar tidak berlebih, yang menyebabkan petani terpaksa menjual dengan harga murah.

Baca juga:

Kedelai
Impor Kedelai
Dolar
Amerika Serikat
Gocujang

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...