Article Image

SAGA

Pupuk Subsidi Langka, Petani Juwiring Tak Lagi Pusing

"Petani di Desa Juwiring, Klaten mempraktikkan pertanian sehat untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia. "

Sri Sugiyarti tengah mengurus palawija di lahannya di Desa Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. (Foto: KBR/Ninik).

KBR, Klaten - Tengah hari jelang waktu zuhur, Sri Sugiyarti sudah sampai rumah. Waktunya mengaso setelah bekerja di sawah sedari pagi.

Giyarti saban ke sawah selalu membawa keranjang, untuk mengangkut sisa-sisa daun yang ditemukan sepanjang jalan. Kebiasaan ini dilakoninya beberapa tahun terakhir, sejak ia mengenal pestisida nabati dan pupuk organik.

“Saya masukkan ke dalam bronjong, memungut sampah di jalan, kayak kulit bawang, pada waktu orang punya hajatan, itu kan dibuangi, saya kumpulkan, nanti saya bawa, kan bermanfaat tho, jadi enggak nyampah, bisa dimanfaatkan. Kulit bawang, kulit berambang, itu semuanya bermanfaat,” kata warga Desa Juwiring, Klaten ini.

Sampah-sampah organik diolah Giyarti sebagai pestisida maupun pupuk. Kebutuhan akan pestisida lumayan tinggi karena sebagian lahannya ditanami palawija. Sayur-sayuran memang rentan diserang hama, apalagi di musim hujan.

“Sekarang obat-obatan mahal, kimia itu. Segini aja, obat uler (ulat) ini, cuma 100 ml, ada yang harganya Rp150 (ribu). Itu memang one kick-lah, begitu uler disemprot, langsung rontok,” ujar Giyarti.

Dengan membuat pestisida nabati dan pupuk organik sendiri, Giyarti bisa menghemat banyak pengeluaran. Apalagi bahan-bahannya mudah didapat, seperti buah mojo, daun mindi, hingga kulit telur.

“Bisa menekan bahkan 50-60 persen. Berarti kita punya istilahnya kelebihan (dana), kan bisa di situ terus (dialihkan) ke tenaga (kerja), biar orang lain bisa bekerja” tutur dia.

Kini, pestisida kimia hanya ia gunakan saat kondisi darurat.

“Itu kepepet waktu tanaman palawija diserang uler dengan ganasnya. Kita tidak bisa mengandalkan pesnab (pestisida nabati). Soalnya kalau pesnab, organik, jalannya pelan-pelan. Kalau uler menyerang, semalam (tanaman) habis, kalau kita tidak atasi dengan kimia, tanaman seperti tanaman palawija, tidak bisa kita memetik hasilnya,” jelas Giyarti.

Baca juga: Pahitnya Hidup Petani Kopi Perempuan Dirundung Krisis Iklim

Sri Sugiyarti (64) di rumahnya di Desa Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Ia mengolah pestisida nabati dan pupuk organik sendiri, untuk mengurangi ketergantungan pada produk kimia. (Foto: KBR/Ninik)

Petani 64 tahun ini juga tak perlu pusing jika hanya kebagian sedikit pupuk bersubsidi.

“Ya kalau saya lebih tenang, kurang pupuk, enggak masalah. Malah tahun kemarin, (pupuknya) saya jual, wong kita enggak punya duit, padahal kita juga butuh,” ucapnya.

Giyarti tinggal mencampur pupuk subsidi jatahnya dengan pupuk organik buatan sendiri. Praktik ini disebutnya sebagai budidaya pertanian sehat, dan pastinya lebih hemat.

“Pupuk selain subsidi mahal, misalnya subsidi kan cuma Rp150 (ribu), kalau bukan subsidi bisa Rp200-300 (ribu). Apa enggak terlalu mahal itu? Kalau biaya produksi saja sebesar itu, nanti kita lebihnya apa, hasilnya apa? Tidak dapat banyak, 100kg, per patoknya, paling beberapa kg. Kalau yang mau mupuk banyak yo belilah di luar dengan harga yang mahal,” tutur Giyarti.

Giyarti adalah salah satu petani champion dari Juwiring, Klaten, Jawa Tengah, hasil binaan Gita Pertiwi.

LSM yang bergerak di isu lingkungan ini membuka sekolah lapang untuk belasan petani perempuan, yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani, Juwiring.

Tujuannya agar para petani bisa beralih ke budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kata staf Gita Pertiwi, Khoirunnisa (32).

“Bagaimana dia (petani) punya posisi tawar, juga bisa memberdayakan dirinya sendiri, bisa bikin benih, pupuk, pestisida sendiri. Jadi tidak semuanya tergantung dari orang lain. Misalkan ada kelangkaan pupuk, dia enggak soal, aku udah bisa bikin ini, jadi aku tetap tandur. Dari situ secara tidak langsung juga meningkatkan pendapatan petani, dengan biaya produksi yang menurun,” kata Khoirunnisa.

Baca juga: Dag-dig-dug Petani Sawit Swadaya Menanti Eksekusi EUDR

Staf LSM Gita Pertiwi, Khoirunnisa. (Foto: dok pribadi)

Di sekolah lapang, Giyarti dan kawan-kawan, dilatih selama 3 bulan, mulai dari masa tanam hingga panen, oleh petani yang sudah sukses mempraktikkan pertanian sehat.

“Saya orangnya enggak begitu percaya dan ngeyel, kalau saya gagal, pasti saya mengulangi lagi. Saya enggak langsung percaya. Ya saya sekali begini, terus saya konsultasi, kok begini-begini, ya nanti akhirnya begini, sabar saja. Terus saya ikut lagi, terus saya ikuti, ikuti, ikuti dan alhamdulilah akhirnya begitu,” Giyarti menekankan.

Proses peralihannya tak mudah. Giyarti harus mengubah kebiasaan lama menggunakan bahan kimia.

“ Kalau (dulu) saya pakai kimia, saya top, enggak mau kalah dengan teman. Orang makai 1 kuintal, saya pakai 1,5 kuintal, bahkan lebih. Padi saya enggak pernah jelek daripada temannya. Paling tidak ya sama, kalau tidak mengungguli,” ungkapnya.

Giyarti juga sering diejek petani lain karena tanamannya berubah warna, setelah menggunakan pestisida dan pupuk organik. Panen pertama pun hasilnya mengecewakan.

“Waktu satu kali tanam ya diece orang, tanamannya kuning,” ujar Giyarti.

Namun, di panen ketiga, hasilnya mencengangkan. Giyarti mampu panen padi hampir 1,5 ton.

“Tapi alhamdulillah sampai sekarang hasilnya tidak kalah (dengan) yang memakai kimia, kimia, dan kimia. Bahkan kemarin saya panen bisa melebihi daripada yang pakai kimia,” imbuh dia.

Baca juga: Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan

Drone dioperasikan untuk menyemprotkan pestisida di sawah Desa Tegalurung, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/4/2024). Petani membayar Rp5 juta per hektare untuk delapan kali penyemprotan selama satu musim tanam yang dibayar saat panen. (Ant/Dedhez)

Giyarti juga semakin tenang, karena beras maupun palawija yang dihasilkannya lebih sehat.

“Nasinya lebih tahan lama dan lebih enak rasanya, yang organik tetap pulen. Walaupun adem sampai besok, tetap pulen, tetap enak. Yang bukan organik, mungkin bisa basi atau. Yang organik sampai 3 hari enggak basi, asal tanak masaknya,” terang Giyarti.

Di sekitar Klaten, ada 6 petani champion selain Giyarti. Meski, staf Gita Pertiwi, Khoirunnisa mengakui, mereka baru di tahap pertanian sehat, belum ke pertanian organik.

“Kalau organik kan banyak faktornya. Bisa dari air, air itu harus difilter, harus ada treatment tertentu, kiri kanan, lahannya ini juga enggak boleh, misalkan di sini nyemprot, ya ini tetap bukan organik, walaupun dia 100 persen pakai pupuk yang organik,” tutur Khoirunnisa.

Selain itu, banyak petani yang statusnya sebagai penggarap, bukan pemilik lahan. Alhasil, upaya memperluas praktik baik pertanian sehat, juga berjalan lambat.

“Jadi mereka enggak punya kuasa untuk menentukan sistem budidayanya, dia tergantung dengan pemilik. Kalau pemiliknya penginnya cepat, yo wes gek ndang (ya sudah, cepat!), penyewa juga seperti itu. Juga ternyata mengubah perilaku, enggak segampang (itu), butuh prosesnya yang lama, walaupun udah dikasih secara nyata, melalui sekolah lapang, misalkan,” ujar Khoirunnisa.

Penulis: Ninik Yuniati