Article Image

SAGA

Dag-dig-dug Petani Sawit Swadaya Menanti Eksekusi EUDR

"Komoditas sawit bakal terdampak EUDR. Dampak sudah mulai terasa dengan berkurangnya permintaan kredit RSPO petani swadaya. "

Pekerja memuat tandan buah segar kelapa sawit ke truk di salah satu perkebunan di Bengkulu, Jumat (17/2/2023). (Foto:Antara/Izaldi)

KBR, Jakarta - Beberapa bulan terakhir, kalangan petani sawit swadaya gundah dengan aturan bebas deforestasi (EU Deforestation-Free Regulation/EUDR) yang diketok Uni Eropa.

Regulasi ini mewajibkan seluruh produk sawit yang masuk pasar Eropa tidak berasal dari lahan hasil deforestasi.

Meski baru berlaku sepenuhnya pada Januari 2025, dampaknya sudah kentara di tingkat petani. Hal itu dirasakan 118 petani yang tergabung dalam Koperasi Jasa Mandiri Mutiara Kongbeng, di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Koperasi ini diketuai Ade Surya.

”Jumlah insentif (kredit RSPO) yang kami terima mulai mengecil karena buyer-buyer-nya rata-rata dari Eropa. Bahkan yang saya dengar, ada buyer yang sudah tidak membeli lagi,” kata Ade saat diwawancarai melalui telepon.

Petani sawit swadaya seperti Ade butuh insentif untuk mempertahankan sertifikat budidaya sawit berkelanjutan, yakni ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Pasalnya, proses sertifikasi memerlukan dana sekitar Rp350 juta per tahun. Jumlah yang sangat besar bagi petani kecil yang mengandalkan penghidupan dari penjualan tandan buah segar (TBS).

“Karena TBS kan bukan hanya untuk membiayai sertifikasi, biaya produksi, beli pupuk, harga pupuk juga lagi tinggi. Gimana caranya kita mau potong lagi pendapatan. Karena bergantung dengan ekspor juga sebenarnya. Kalau nilai ekspor tinggi, harga TBS kita naik,” lanjut Ade.

Baca juga: Sawit Watch: UU Antideforestasi Uni Eropa Baik untuk Kedua Negara

Ade Surya (jaket cokelat) saat kegiatan sekolah lapang, bagian dari persiapan sertifikasi ISPO-RSPO. Lewat sekolah lapang, petani swadaya diedukasi kembali tentang praktik sawit berkelanjutan. (Foto: dok pribadi)

Selama ini, dana sertifikasi diambil dari insentif hasil penjualan kredit RSPO. Mayoritas pembeli (buyer) adalah perusahaan-perusahaan Eropa.

“Ada apresiasi dari buyer atau insentif, dana tersebut kami terima, untuk mempertahankan RSPO. Kedua, itu bisa meningkatkan SDM di lembaga (koperasi), melengkapi sarana prasarana, sehingga kelembagaan meningkat kapasitasnya,” ujar pria 34 tahun ini.

Pengesahan EUDR membuat para buyer urung membeli kredit RSPO petani.

Jika insentif terus berkurang, petani bakal enggan melakukan seritifikasi, sehingga kembali ke era budidaya sawit tidak berkelanjutan. Padahal, butuh hitungan tahun untuk meyakinkan mereka agar beralih ke praktik sawit baik.

“Memberikan pemahaman dari satu petani ke petani lainnya, itu susah banget. Mereka sudah punya karakter sendiri, apalagi yang sudah tua-tua. Ada yang keras, dia bilang sudah bercocok tanam sejak lama. Mengubah pola itu nggak mudah, karena sudah terbentuk tatanan, yang jelas butuh waktu, effort-nya luar biasa,” ucap petani muda yang mengarap sekitar 9 hektare lahan ini.

Sejak koperasi dibentuk pada 2018, petani disiplin menerapkan budidaya sawit berkelanjutan. Sertifikasi saban tahun bertujuan memastikan praktik ini terus dijalankan.

“Kami itu ramah dan peduli lingkungan. Misalnya kami tidak melakukan kegiatan yang menggunakan bahan kimia di dekat sungai. Penggunaan pestisida sesuai dengan anjuran, tidak melakukan semprot total. Kita menginventaris, misalnya ada hewan yang dilindungi, ada tanah-tanah adat, kan masuk kategori nilai konservasi tinggi, kami menjaga itu juga,” tutur dia.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Dilibatkan dalam Gugus Tugas Gabungan EUDR

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri tengah memaparkan tentang jumlah pemegang sertifikat ISPO pada diskusi

Kapasitas anggota dan kelembagaan pun meningkat. Perempuan juga aktif dilibatkan, termasuk mengepalai Internal Control System (ICS) koperasi.

“Sebelumnya orang banyak menganggap perempuan tidak mampu mengurusi. Tapi dengan sertifikasi, kita sadar banyak hal yang bisa perempuan lakukan, bukan berarti pekerjaan kasar, tapi misalnya (jadi) manajer, bisa mengontrol, audit internal, menyuluh, melatih praktik budidaya sawit yang benar,” ungkap Ade.

Ade berharap sertifikat ISPO dan RSPO diakui ketika EUDR diterapkan. Hal ini bisa mendorong kembali permintaan kredit petani, sehingga praktik sawit baik tetap berlanjut. Selain itu, petani kecil tak bakal terlempar dari rantai pasok global. Asa untuk sejahtera pun bisa tergapai.

“Jadi EUDR harapan saya bisa diintegrasikan, bisa mempertimbangkan skema sertifikasi ISPO-RSPO. Karena bicara sawit bukan hanya deforestasi,” jelas Ade.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Prayudi Syamsuri juga berharap sertifikat ISPO dan RSPO tak hanya dianggap sebagai data pendukung EUDR. Pemegang dua sertifikat itu berarti telah memenuhi puluhan hingga ratusan indikator praktik sawit berkelanjutan.

“Harapan menjadi data utamalah, sehingga langsung oke dengan RSPO-ISPO, maka geolocation-nya sudah, persyaratan deforestasi sudah dipenuhi, one sheet, oke, masuk EU,” kata Prayudi pada acara diskusi “Implementasi EUDR dan Permasalahan Terkait” di Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Opsi mengalihkan ekspor ke pasar di luar Uni Eropa juga berisiko. Sebab, kawasan ini punya pengaruh besar, meski pasar sawit Indonesia di sana hanya 8 persen.

“EU ini salah satu kelompok yang dalam hal perdagangan dunia adalah trendsetter. Negara-negara lain akan mengikuti, bagaimana kebijakan-kebijakan yang dianggap positif dari EU akan diterapkan. Artinya apa? bahwa sebenarnya memang inilah tren dunia, bagaimana kita menyiapkan komoditas yang memiliki prinsip sustainability,” tutur Prayudi.

Prayudi berharap, terbentuknya Gugus Tugas Gabungan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa bakal menghasilkan formula terbaik penerapan EUDR.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Presiden Kaoem Telapak Mardi Minangsari menyebut EUDR bisa menjadi kesempatan Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam produksi komoditas berkelanjutan. (Foto: dok Kaoem Telapak)

Sementara itu, Koalisi masyarakat sipil meminta dilibatkan dalam Gugus Tugas agar bisa menyuarakan aspirasi berbagai kelompok terdampak EUDR. Koalisi meliputi 44 LSM, di antaranya Kaum Telapak, Ecosoc Institute, Walhi, hingga Pantau Gambut.

Presiden Kaum Telapak, Mardi Minang Sari mengatakan, EUDR bisa mendorong tata kelola produksi komoditas berkelanjutan di Indonesia.

“Peraturan sejenis EUDR ini bukan hanya dikeluarkan oleh EU. Ada sejumlah negara lain yang mengarah kepada persyaratan yang mirip-mirip, untuk menuju produk-produk yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan,” ujar Mardi.

Kerja sama antar-pemangku kepentingan menjadi kunci agar tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

“Kita ingin ada aksi kolaboratif, alih-alih saling punya pandangan yang bertentangan, kita ingin memulai dialog. Dan juga untuk ke depannya nanti, kita semua bisa berkontribusi untuk perbaikan tata kelola. Sektor-sektor yang akan menciptakan produksi yang berkelanjutan dapat bersaing di pasar global. Tidak merusak hutan dan menyejahterakan masyarakat,” pungkasnya.

Penulis: Ninik Yuniati