SAGA
"Perajin tahu di Sidoarjo, Jawa Timur belum bisa meninggalkan bahan bakar dari sampah plastik. Harga bahan alternatif masih mahal"
Aktivitas perajin tengah mengolah kedelai menjadi tahu di pabrik milik Gufron di Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur. (KBR/Resky).
KBR, Sidoarjo - Asap hitam pekat menyembur dari puluhan cerobong asap setinggi belasan meter di sentra industri tahu Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Ini adalah pemandangan saban hari, mulai jam 8 pagi sampai 4 sore.
Di pabrik tahu milik Gufron, para pekerja bolak-balik memasukkan bahan bakar dari sampah plastik ke dalam tungku. Memastikan nyala api cukup untuk memasak kedelai jadi tahu.
Gufron sudah memanfaatkan sampah plastik impor sebagai bahan bakar sejak memulai bisnisnya 8 tahun lalu.
"Memang dari awal semua pakai plastik, karena kayu sulit. Terus ramai-ramai (setelah temuan), semua pakai kayu, ternyata kayu tutup pabriknya. Sekarang akhirnya pakai plastik lagi," kata Gufron.
Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber
Cerobong asap pembuangan di pabrik tahu di Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur. (KBR/Resky).
Pria paruh baya ini sempat beralih ke kayu bakar setelah heboh temuan telur dan ayam di Desa Tropodo tercemar plastik.
Namun, tak berapa lama, ia kembali menggunakan sampah plastik karena harganya lebih murah dan mudah didapat.
"Kalau hitungan per masak, kalau pakai kayu minimal Rp5 ribu. Nah, kalau plastik Rp3 ribu. Selisih Rp2 ribu, jauh sekali. Umpamanya 100 kali masak, berarti selisihnya Rp200 ribu satu hari," imbuhnya.
Apalagi bahan bakar alternatif yang ditawarkan pemerintah daerah, seperti biogas, pemanas listrik hingga ketel uap, terlampau mahal.
"Waktu ramai-ramai itu banyak yang nawari pemanas listrik, tapi ternyata ya tidak ada yang maju karena masih mahal. Dulu sudah dipertimbangkan sampai Rp75 juta, satu orang. Sebenarnya ga apa-apa yang penting lingkungan aman, tapi ternyata tidak bisa," tuturnya.
Satu mobil pikap berisi 300-400 kilogram sampah plastik, cukup untuk bahan bakar selama tiga hari. Harganya hanya Rp300 ribu.
Baca juga:
Tumpukan limbah plastik impor untuk bahan bakar pabrik tahu di Desa Tropodi, Sidoarjo, Jawa Timur. (KBR/Resky).
Suyono, karyawan Gufron, sudah 30 tahun-an bekerja di pabrik tahu. Warga asli Desa Tropodo ini mengaku tak pernah mengalami gangguan kesehatan, meski sering terpapar asap pembakaran plastik.
"Sudah biasa. Di sini industri tahu (sejak) zaman Belanda," ujar Suyono.
Hal sebaliknya dirasakan Nayah, warga Tropodo yang tinggal tak jauh dari sentra industri tahu. Rumahnya dikelilingi empat cerobong asap.
"Asapnya ke sini. Kayunya sampah karet. Kalau Cak Gufron bagus, kalau pabrik lainnya itu kotor-kotor," ujar Nayah.
Nayah dan keluarga kerap mengalami gangguan pernapasan.
"Yang dirasakan serak, batuk juga ga bisa, riaknya ga bisa keluar," kata warga Tropodo berusia 60 tahun ini.
Baca juga:
Nayah (kanan) dan ibunya setiap hari menghirup asap hasil pembakaran sampah plastik di Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur. (KBR/Resky).
Perempuan 60 tahun ini bersama warga lain sudah berulang kali memprotes penggunaan bahan bakar dari sampah plastik. Namun, hasilnya nihil.
"Diperingatkan sama ketua RT saja diabaikan, tidak digubris," katanya.
Selain asap, abu hasil pembakaran sampah plastik juga berbahaya, kata peneliti organisasi lingkungan ECOTON, Eka Chlara Budiarti.
Pada 2019 silam, International Pollutants Elimination Network (IPEN) menemukan telur ayam di Tropodo, tercemar racun dioksin, dari sisa limbah plastik.
ECOTON adalah salah satu anggota IPEN.
"Ada risiko atau high risk, karena abu ini kan turun di pekarangan si sentra tahu itu. Dan kemudian ketika ayam itu mencari makan, otomatis mereka juga akan ikut ke organ pencernaannya," kata Chlara.
Chlara membeberkan bahaya dioksin dalam telur ayam.
"Kita cek kandungannya cukup mencengangkan juga. Karena si telur ini mengandung dioksin. Ada sekitar 70 kali lipat, ini melebihi ambang batas keamanan pangan," imbuhnya.
Baca juga: Waste Solution Hub, Kelola Sampah Jadi Cuan
Limbah plastik masih jadi pilihan utama bahan bakar pabrik tahu karena murah. (KBR/Resky)
Empat tahun sejak temuan itu, belum ada perubahan signifikan di Tropodo.
Pabrik tahu tak bisa jadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Pemerintah pun mesti turun tangan.
"Pemerintah belum ada tindak lanjut lagi, padahal potensi-potensi di sana itu lebih banyak. Mungkin bisa memanfaatkan peternak-peternak, bikin biogas untuk bahan baku alternatif si plastik," jelasnya.
Pengrajin tahu seperti Gufron, siap meninggalkan sampah plastik jika ada alternatif energi lain. Syaratnya, ramah lingkungan dan ramah di kantong.
"Tapi ga ada, hanya tawaran-tawaran saja. Andaikata ada, siapa yang ga senang lingkungan bersih? Semua pasti senang," pungkasnya.
Penulis: Resky Novianto
Editor: Ninik Yuniati