NASIONAL

Rumoh Geudong Dirobohkan Menjelang Pengumuman Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM

Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Adhoc Komnas HAM sejak 2013 hingga 2018 ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menggolongkan peristiwa tersebut ke dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.

AUTHOR / Erwin Jalaludin

Rumoh Geudong Dirobohkan Menjelang Pengumuman Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM
Rumoh Geudong atau bekas Pos Sattis di Kabupaten Pidie, Aceh, dihancurkan. Foto: LSM PASKA

KBR, Aceh– Situs peninggalan bersejarah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Rumoh Geudong diratakan menjadi tanah.

Bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A, Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh itu dihancurkan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo, Selasa, 27 Juni 2023.

Eks bangunan pos keamanan yang diduga kuat dijadikan sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan warga itu sudah dirobohkan menggunakan alat berat jenis beko atau backhoe oleh Pemkab Pidie.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA) Aceh, Farida Haryani menjelaskan, pemda beralasan bangunan itu dirobohkan untuk dibangun masjid lantaran bagian dari persiapan permulaan atau kick-off pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).

"Itu sudah rata dengan tanah, tinggal tok, hanya tangga, tidak ada suatu apa pun. Itupun karena Kita (aktivis kemanusian-red) ramai-ramai kemarin bersorak dan berteriak supaya itu tidak dibuang, itulah sisanya," kata Farida Haryani menjawab KBR, Kamis Malam, (22/6).

Direktur LSM PASKA, Farida Haryani menambahkan, setelah dirobohkan, bangunan itu kini hanya menyisakan lima anak tangga dan bekas sumur serta WC yang tertutup puing-piung bebatuan.

Ia mengeklaim, sisa gedung tersebut tidak jadi dihancurkan setelah dirinya bersama beberapa pegiat aktivis kemanusiaan lain melakukan protes di lokasi.

Ia menyesalkan sikap Pemkab Pidie yang merobohkan bangunan pos keamanan tersebut. Padahal, Rumoh Geudong merupakan bukti sejarah pelanggaran HAM berat di tanah air.

Hasil Penyelidikan Komnas HAM

Pelanggaran HAM di Rumoh Geudong serta Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis) lain di Aceh, terjadi selama Operasi Jaring Merah di Pidie sepanjang 1989-1998.

Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Adhoc Komnas HAM sejak 2013 hingga 2018 ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menggolongkan peristiwa tersebut ke dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Komisioner Komnas HAM saat itu yang juga Ketua Tim Adhoc Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Aceh, Choirul Anam mengungkapkan, hasil pemeriksaan 65 saksi menunjukkan terjadi perkosaan, pelbagai bentuk kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan hingga penghilangan paksa.

"Bagaimana kami menemukan bukti dan lain sebagainya? Cara pikirnya harus pakai konteks hukum HAM berat. Yang perlu dibuktikan adalah soal yang menyangkut kebijakan," jelas Choirul Anam dalam konpers di Kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis, (6/9/2018).

"Yang kami lakukan, 65 orang diperiksa dan datangi tempat. Kami juga periksa bekas penyiksaan dan melihat langsung orang yg jadi korban. Itu lebih dari cukup," lanjut Anam.

Memenuhi Unsur Kejahatan Kemanusiaan

Pola kekerasan itu, kata Anam, telah memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan Pasal 7b dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tindak kekerasan yang menimpa warga sipil tersebut menurutnya, imbas dari kebijakan penguasa masa itu yang dilakukan sistematis dan meluas.

Karenanya, atas rentetan kejahatan tersebut, tim juga menyimpulkan tiga pihak yang diduga harus bertanggung jawab.

Antara lain, para komandan kesatuan militer selaku pengawas di lapangan, komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD selaku pembuat kebijakan.

Ketiga, warga sipil sebagai tenaga pembantu operasional di antaranya cuak, ketua regu Pos Kamling dan Keuchik Gampong Ulee Tutue pada masa itu.

"Soal nama kami tidak boleh menyebut, tidak hanya pelaku, tapi juga korban," kata Anam.

"Kebijakan darurat operasi militer. Di situ satuan gabungan intelijen yang kebanyakan Kopassus. Dari struktur hingga teritorial. DOM kami lihat ada operasi satuan gabungan intelijen yang merupakan anggota Kopassus. Dari level pembuat kebijakan hingga level komando lapangan," tambahnya lagi.

Pengakuan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pengakuan itu merupakan rekomendasi dari Tim PPHAM yang dibentuk pemerintah.

Di Aceh ada tiga kasus, yaitu pelanggaran HAM Simpang KKA pada 3 Mei 1999 di Kabupaten Aceh Utara, Tragedi Rumoh Geudong bertempat di Kabupaten Pidie, dan pembantaian Jambo Keupok pada 17 Mei 2003 di Kabupaten Aceh Selatan.

Sedangkan sisa sembilan kasus lain adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998.

Kemudian, peristiwa kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 pada 1998 dan 1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, dan Peristiwa Wamena pada 2003.

Akhir bulan ini, atau Selasa, 27 Juni 2023, Presiden Joko Widodo berencana mengumumkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara nonyudisial di Aceh. Tepatnya di Kabupaten Pidie, Aceh.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!