Article Image

SAGA

Petani Kopi Perempuan Jombang Bertahan di Tengah Krisis Iklim

"Peran perempuan dalam keberlanjutan bisnis kopi di tengah ancaman perubahan iklim"

Sulasmi, petani kopi Wonosalam, Jombang, menunjukkan kopi luwak hasil produksinya. (Foto: KBR/Muji Lestari)

KBR, Jombang - Suara tonggeret bersahutan terdengar jelas dari Warung Pojok milik Sulasmi di lereng Gunung Anjasmoro, tepatnya di Desa Sumberejo, Kecamatan Wonosalam, Jombang, Jawa Timur.

Sore itu, ada tiga pelanggan tengah duduk santai sembari menikmati kopi luwak. Harga secangkirnya dibanderol Rp15 ribu.

Ini adalah menu yang paling dicari di kedai Sulasmi. Kopinya hasil produksi sendiri, memanfaatkan lahan kurang dari satu hektar di pekarangan rumah.

"Awalnya dulu coba-coba, lalu diteruskan sampai sekarang," kata Sulasmi.

Sulasmi memproduksi kopi luwak sejak lima tahun lalu atas dorongan anaknya yang bekerja di Jakarta.

Kala itu, perempuan 74 tahun ini berstatus ibu rumah tangga, tak berpenghasilan. Sulasmi memulai usaha kopi luwak dengan modal dari sang anak.

Awalnya, ia membeli sepasang luwak dengan harga Rp1 juta, dan dibuatkan penangkaran.

"Sekarang (luwak) ada 24 ekor," ungkap Sulasmi.

Luwak-luwak tersebut akan memakan biji-biji kopi, kemudian diproses dan dicerna, selanjutnya dikeluarkan bersama kotoran. 

Sebagian biji kopi untuk pakan luwak berasal dari kebun Sulasmi sendiri, sisanya dari kebun kopi warga sekitar.

Sulasmi juga membeli alat giling kopi sederhana. Ia kemudian membuka kedai, dengan kopi luwak sebagai sajian utama.

Usahanya kian berkembang. Sulasmi kini bisa mempekerjakan lima tetangganya, yang mayoritas ibu rumah tangga.

Baca juga: Pahitnya Hidup Petani Kopi Perempuan Dirundung Krisis Iklim

Penangkaran luwak milik Sulasmi. Dari sepasang ketika memulai bisnis, kini berkembang menjadi 24 ekor luwak. (Foto: KBR/Muji Lestari)

Sepanjang tahun, Sulasmi bisa menghasilkan 70 kg biji kopi luwak. Harga sekilonya mencapai Rp1,5 juta. Artinya, omset penjualannya bisa lebih dari Rp100 juta setahun.

Kopi luwak Sulasmi digemari wisatawan dari berbagai daerah yang mampir ke kedainya. Bahkan, ada pelanggannya yang berasal dari Korea Selatan.

"Ada (pesanan dari luar daerah) tapi enggak banyak, 1- 2 kg. Kalau datang di kedai, kadang ada yang beli 1 ons. Banyak yang minum kopi luwak karena pengin tahu rasanya. Kalau dari harga lebih menguntungkan kopi luwak,” jelas Sulasmi.

Di sisi lain, usahanya tak luput dari kendala, misalnya, pasokan biji kopi berkualitas yang minim. Faktor cuaca yang tak menentu akibat krisis iklim menjadi salah satu penyebabnya. Padahal, luwak hanya mau memakan biji kopi yang segar dan berwarna merah.

"Kendalanya kalau enggak ada kopi, ya beli pakan (untuk luwak). Kalau panennya (kopi) banyak ya bisa, tapi ya enggak bisa setiap hari soalnya luwak kan enggak biasa dipaksa (makan kopi terus). Dari 24 kg kopi, yang bisa diproduksi mungkin sekitar 20 kg. Satu minggu terus dikasih kopi, (luwak) enggak mau, kalau enggak segar, enggak mau," terangnya.

Kontribusi ke lingkungan

Dengan tetap bertanam kopi, Sulasmi ikut menjaga lingkungan. Di wilayah konservasi Wonosalam, tanaman kopi menjadi salah satu penyumbang penghijauan, karena mampu menyerap air dan mencegah banjir.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jombang, Miftahul Ulum, kebun kopi turut mendukung penyelamatan sumber mata air di Wonosalam.

Ia mencontohkan Dusun Mendiro, Wonosalam, yang sumber airnya kembali pulih, setelah ditanami kembali beberapa pohon, termasuk kopi.

“Dulu di sana (Mendiro) ada 9 mata air. Ada penggundulan hutan sekitar tahun 1990 mengakibatkan sumber mata air berkurang. Kami melakukan penanaman di area sumber mata air, alhamdulilah muncul lagi 7 mata air," tutur Ulum

Sementara itu, Direktur Ecoton, Daru Setyarini mewanti-wanti agar budidaya kopi luwak seperti yang dilakukan Sulasmi, tetap memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan hewan.

“Kalau organik ya tentunya positif. Kalau dia pakai kimia atau pestisida bisa berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Proses fermentasi pada tubuh luwak itu seperti apa? Apakah ada kegiatan yang menyakiti hewan? Mungkin dia diberi makan terlalu banyak sehingga obesitas atau dipaksa pemanenannya?," kata Daru.

Baca juga: Pupuk Subsidi Langka, Petani Juwiring Tak Lagi Pusing

Deretan toples berisi kopi luwak yang dijual di Warung Pojok milik Sulasmi. (Foto: KBR/Muji Lestari)

Pemberdayaan perempuan

Kopi luwak Sulasmi diapresiasi karena inovatif dan memberi nilai tambah, termasuk menciptakan lapangan kerja baru.

Menurut Direktur Women's Crisis Center Jombang, Ana Abdillah, Sulasmi mampu memanfaatkan potensi di sekitarnya untuk mencapai kemandirian finansial.

"Dia paham bagaimana manajerialnya, paham bagaimana mengajak sesama perempuan untuk terlibat dalam meng-upgrade kapasitas berwirausaha. Mungkin dia punya spirit untuk menularkan energinya ke perempuan lain, kalau kamu bisa berdaya, bisa enggak ketergantungan finansial dengan pasangan, enggak punya ketergantungan emosi dengan pasangan," terangnya.

Ana bilang, mestinya sosok seperti Sulasmi mendapat dukungan dari pemerintah, sejak dari level desa.

"Dengan menyediakan pembiayaan dari keuangan desa dan pendayagunaan aset untuk mewujudkan keberdayaan perempuan dan perlindungan anak di desa. Bu Lasmi itu embrio, tinggal bagaimana ada banyak copying Bu Lasmi di tempat lain yang dia bisa menangkap potensi sumber daya alam di desanya untuk bisa dikembangkan," pungkas Anna.

Usaha kopi luwak Sulasmi juga sejalan dengan program Pemerintah Kabupaten Jombang yang ingin mempromosikan kopi khas Wonosalam.

Kepala Dinas Pertanian Jombang M Rony mengeklaim sudah mengimbau kafe-kafe di Jombang untuk menyajikan kopi Wonosalam sebagai menu utama.

Demikian juga dengan organisasi perangkat daerah (OPD) yang diwajibkan menyediakan kopi Wonosalam sebagai suguhan.

Hal ini akan meningkatkan permintaan, mendorong produktivitas petani, dan juga membuka peluang kerja bagi perempuan Wonosalam, yang rata-rata berstatus ibu rumah tangga.

"Di kelompok tani, peran perempuan di Wonosalam sangat dibutuhkan, karena peran perempuan itu lebih terampil, terutama di sortirnya, lalu dijemur, ibu-ibu yang memilih, grade A, B, C. Tapi bukan tidak mungkin dari sisi budidaya juga, misalnya pupuk atau bersih-bersih lahan, saya melihat peran perempuan juga ada," tandasnya.

Di hulu, Rony juga memastikan dukungan bagi petani kopi Wonosalam dalam bentuk pendampingan agar budidaya kopi berjalan optimal.

"Dinas secara fungsional mengawal proses budidaya, terkait pupuknya, perawatannya, bagaimana selalu kita menekankan biji kopi yang kita petik betul-betul merah, bubuk kopi yang berkualitas ini dipastikan harus benar-benar dari biji kopi merah," terang Rony.

Secara umum, ada sejumlah masalah yang membelit petani kopi perempuan. Mereka harus bertanggungjawab penuh pada pekerjaan ini, tetapi di sisi lain, tetap melakukan kerja-kerja rumah tangga (domestik). Petani perempuan memegang peran penting dalam penanaman, perawatan, panen, pengolahan hingga pemasaran kopi. Keberlangsungan kopi tak bisa berjalan tanpa perempuan. Melihat realita ini, hendaknya semua pihak bekerja untuk membantu mengatasi problem-problem petani kopi perempuan.

Penulis: Muji Lestari

Editor: Ninik Yuniati