NUSANTARA

Khawatir Sawahnya Tercemar, Warga Tolak Pembangunan TPSS Srimulyo

Tapi, praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi.

AUTHOR / Ken Fitriani

EDITOR / R. Fadli

TPSS Srimulyo
Aksi warga menolak rencana pembangunan TPSS Srimulyo, Piyungan, Yogyakarta pada 2 Juli 2024. (Foto: Walhi Yogyakarta)

KBR, Yogyakarta - Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi WALHI Yogyakarta, Elki Setiyo mengatakan, warga menolak pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di Kelurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Yogyakarta.

Warga yang menolak itu terutama berasal dari Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergunung I dan Pagergunung II. Keempat padukuhan tersebut merupakan wilayah yang lokasinya berada di perbatasan antara Sitimulyo dan Srimulyo. Lokasi yang berdekatan ini dengan TPSS ini dikhawatirkan mengalami pencemaran lingkungan termasuk area persawahan.

"Warga menyatakan siap melakukan demonstrasi yang lebih besar, apabila pemerintah tetap melakukan pembangunan TPSS di wilayah tersebut," katanya dalam rilis yang dikirimkan KBR, Jumat (5/7/2024).

TPSS Srimulyo rencananya akan dibangun di tanah seluas 3.000 meter persegi dengan status tanah 'Sultan Ground'.

"Terdapat tiga titik loksi yang akan dijadikan opsi yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang. Pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak enam bulan atau berakhir pada Desember 2024," ungkapnya.

Dalam pembangunan TPSS itu, menurut Elki, tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan dilakukan.

Selain itu, tidak dijelaskan pula bahwa TPSS tersebut digunakan hanya untuk pembuangan residu saja.

"Kemungkinan sampah yang dibuang disitu merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang tidak diolah," ujarnya.

Disebut-sebut, TPSS Srimulyo rencananya akan menggunakan geomembran dan tembok talud untuk menahan limpahan air lindi.

Tapi, praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi. Hal itu telah dibuktikan warga dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran.

"Geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air (bersih) milik warga," tegas Elki.

Pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan adanya desentralisasi.

Hal ini menunjukkan bahwa justru Pemerintah Provinsi DIY melepaskan tanggungjawabnya dari kegagalan pengelolaan sampah.

Sesuai Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008, TPA merupakan tanggungjawab dari pemerintah provinsi.

Pasca-munculnya kebijakan terkait desentralisasi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota masih sangat tergantung dengan TPA Piyungan.

TPA Piyungan yang secara resmi telah ditutup pada praktiknya masih menjadi pilihan tempat untuk melakukan pembuangan sampah. Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA eksisting yang ada di Yogyakarta, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA.

"Dari berbagai serangkaian peristiwa yang menunjukkan adanya darurat sampah di Yogyakarta. WALHI Yogyakarta mendorong adanya solusi yang diselesaikan secara holistik," jelas Elki.

Untuk itu, kata Elki, diperlukan tiga poin penting, pertama, perancangan, pengembangan dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Kedua, sistem pengelolaan sampah harus dikuatkan dan diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar, salah satunya adalah memastikan adanya layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semua.

Ketiga, kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik dan ketahanan pangan.

"Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran," pungkasnya.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta bersama perangkat kelurahan mengadakan sosialisasi pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di Kelurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Selasa (2/7/2024).

Acara sosialisasi sempat diwarnai aksi penolakan dari warga Kelurahan Sitimulyo karena letak TPSS tersebut berada di wilayah perbatasan antara Kelurahan Srimulyo dengan Sitimulyo, sehingga terdapat potensi ancaman pencemaran terhadap lingkungan warga Sitimulyo.

Baca juga:

Pemda DIY Tutup Permanen TPA Piyungan Akhir April 2024

Blokade TPST Piyungan Dibuka Hari Ini

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!