NUSANTARA

Ketika Politik Upah Murah dan Percepatan Investasi Abaikan Buruh Perempuan di Jawa Tengah

Empat provinsi di Pulau Jawa memiliki kawasan industri besar. Upah Minimum Kabupaten Kota (UMK) terkecil ada di Jawa Tengah, dan diperkirakan bakal jadi sasaran ekspansi hingga relokasi industri.

AUTHOR / Anindya Putri

buruh perempuan
Buruh perempuan memeriksa papan kayu di kawasan industri Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/7/2023). (Foto: KBR/Anindya Putri)

KBR, Semarang - Empat provinsi di Pulau Jawa memiliki kawasan industri besar. Sejumlah provinsi tersebut ada di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dari empat provinsi itu, Upah Minimum Kabupaten Kota (UMK) terkecil ada di Jawa Tengah.

Pada 2023, UMK di Jawa Tengah tertinggi ada di Kota Semarang dengan Rp3 juta lebih, sementara UMK terendah di Banjarnegara sebesar Rp1,9 juta.

UMK tertinggi di Pulau Jawa ada di Provinsi Jawa Barat yang tembus Rp5,1 juta lebih di Bekasi. Sedangkan terendah di Kota Banjar Rp1,9 juta lebih.

Di Provinsi Banten, UMK tertinggi ada di Kota Cilegon dengan Rp4,7 juta dan terendah di Kabupaten Lebak Rp2,9 juta.

Di Jawa Timur, UMK tertinggi ada di Surabaya dengan Rp4,5 juta lebih dan terendah di Kabupaten Sampang Rp2,1 juta lebih.

Melihat angka tersebut, Jawa Tengah diperkirakan bakal jadi sasaran ekspansi hingga relokasi industri karena upah murah.

Wacana ekspansi dan relokasi industri juga didengungkan oleh pemerintah pusat.

Melalui Perpres RI Nomor 79 Tahun 2019, wilayah Jawa Tengah dijadikan satu di antara titik percepatan pembangunan ekonomi nasional.

Beberapa titik di Jawa Tengah bakal berdiri kawasan industri untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Pada pasal 1 Perpres Nomor 79 Tahun 2019 disebutkan, ada tiga kawasan yang jadi titik utama percepatan investasi dan perekonomian nasional di Jawa Tengah.

Pertama di Kawasan Kedungsepur atau Kendal, Semarang, Salatiga, Demak dan Gerobogan.

Lalu Kawasan Purwomanggung atau Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung.

Kemudian Kawasan Bergasmalang atau Brebes, Tegal dan Pemalang.

Baca juga:

red

Keterangan foto: Sejumlah buruh perempuan di luar pabrik kawasan industri Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/7/2023). (Foto: KBR/Anindya Putri)


Sejak Perpres tersebut dikeluarkan, Jawa Tengah menjadi magnet bagi investor.

Catatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada akhir 2022 lalu, terdapat 97 pabrik yang melakukan relokasi ke Jawa Tengah.

Puluhan pabrik tersebut hanya bagian kecil dari total perusahaan yang ada di Jawa Tengah.

Data Kementerian Perindustrian RI hingga semester II 2023 menyebutkan, jumlah perusahaan di Jawa Tengah mencapai 3.313.

Serbuan investor ke Jateng tersebut membuat realisasi investasi meroket.

Data Dinas Penanaman Modal Satu Pintu Terpadu (DPMSPT) Jawa Tengah mencatat realisasi investasi di Jateng pada akhir 2022 di angka Rp58,8 triliun.

Nilai tersebut mengalami kenaikan signifikan dibandingkan 2020 yang hanya Rp50 triliun dan 2021 dengan Rp52 triliun lebih.

Jumlah serapan tenaga kerja di Jateng juga tak main-main. Sepanjang 2022, ribuan perusahaan di Jateng telah menyerap 170 ribu tenaga kerja.

Baca juga:

Meski demikian potensi investasi dan serapan tenaga kerja tersebut, memunculkan pertanyaan akan dampaknya pada kesejahteraan buruh.

Khususnya bagi pekerja perempuan yang masih dianggap sebelah mata oleh para investor.

Pengamat buruh perempuan Dian Septi mengatakan politik upah murah menjadi senjata untuk mendatangkan investor ke Jawa Tengah.

Kondisi tersebut bakal menjadikan Jawa Tengah sebagai sasaran relokasi industri oleh investor.

Ia memberikan contoh pada industri garmen, di mana para investor fokus mencari lahan murah, ongkos produksi murah dari upah buruh minim.

“Hal tersebut bakal jadi daya jual perekonomian di Jateng. Namun prinsip pembangunan industri itu mengabaikan kesejahteraan buruh dan hak-haknya,” jelasnya.

Ditambah lagi fleksibilitas kerja seperti sistem kontrak yang bisa melakukan PHK sewaktu-waktu, bakal semakin menyengsarakan pekerja.

Menurutnya, politik upah murah dipakai agar perputaran modal lebih cepat serta keuntungan investor mudah diperoleh.

“Belum lagi adanya program padat karya yang mayoritas pekerjanya perempuan, karena industri tekanan tenaga manusia lebih banyak dengan harga tenaga yang lebih murah dan bersaing,” paparnya.

Dian Septi menuturkan, politik dan perhitungan tersebut bukan berdasarkan asas kemanusiaan tapi bisnis.

Seharunya bisnis perlu dikontrol dan yang wajib melakukan kontrol adalah pemerintah.

Upah murah dan program padat karya dikatakannya bakal menyengsarakan pekerja perempuan.

“Karena perempuan masih dianggap pencari nafkah kedua bukan utama. Sementara yang dianggap pencari nafkah utama itu suami dan perempuan dianggap hanya membantu suami, hal itu juga dilegalkan oleh UU Perkawinan,” jelas Dian.

Bisnis dikatakannya juga tidak melihat gender atau kebutuhan perempuan. Menurut Dian, banyak investor yang menganggap cuti haid, cuti melahirkan hingga cuti keguguran sebagai aturan yang tidak produktif.

Dian mengatakan banyak industri menganggap pekerja perempuan yang sedang haid lambat dalam mengerjakan produksi dan dianggap menganggu pekerjaan.

“Celakanya dalam hitungan bisnis perusahaan tidak mau membayar hak-hak tersebut. Bahkan ada yang diminta mengundurkan diri,” paparnya.

Dian mengatakan pemahaman itu membuat cara pandang bisnis menjadi bias gender dan mengabaikan hak-hak khusus perempuan.

Kondisi itu juga membuat upah pekerja perempuan lebih murah karena adanya landasan-landasan patriarki.

Selain dianggap bukan pencari nafkah utama, perempuan dianggap tidak memiliki keahlian sehingga ditempatkan di ranah domestik.

“Upah di Jateng memang paling murah dan jelas sekali mengabaikan kebutuhan pekerja perempuan. Upah selama ini tidak bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup dan jelas tidak adil,” imbuhnya.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!