NASIONAL

Dipertanyakan, Dasar Hukum Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM

"Jika ingin menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu dengan jalur non-yudisial, maka harus ada prinsip dan mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi."

Dwi Reinjani, Astri Yuanasari

pelanggaran ham
Aksi Kamisan menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di seberang Istana Merdeka, Kamis (7/11/2019). (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

KBR, Jakarta - LSM hak asasi manusia Kontras mempertanyakan dasar hukum Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Ahmad Sajali menyebut pembentukan tim itu banyak kejanggalan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

"Memang bentuk Keputusan Presiden ini cukup singkat karena ada untuk membentuk satu tim atau memberikan wewenang kepada sejumlah orang untuk melaksanakan tugas atau program yang disusun oleh pemerintah dalam hal ini Presiden. Sehingga dalam batang tubuhnya juga tidak bisa melihat pertimbangan atau konsideran perundang undangan yang dipakai. Kalau kita merujuk Undang undang HAM, UU 39 tahun 1999 ataupun Undang-undang Pengadilan HAM UU 26 tahun 2000. kita tidak akan pernah melihat terminologi nonyudisial," ujar Ahmad Sajali saat dihubungi KBR, Selasa (16/8/2022).

Ahmad Sajali menilai pemerintahan Jokowi-Maruf Amin tidak memiliki itikad baik untuk memenuhi rasa keadilan, sosial, ekonomi dan budaya pada korban.

Jika mengarah pada pemenuhan empat aspek tersebut, kata Sajali, seharusnya pemerintah bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengubah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban agar bisa mengakomodasi hak korban kasus HAM berat, dibanding membentuk tim.

Apalagi ia mendapat kabar ada beberapa nama kontroversial dari aparat penegak hukum yang akan masuk menjadi anggota tim tersebut.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengklaim telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim ini nantinya akan diisi dari beberapa elemen masyarakat dan pemerintah untuk mengusut kasus HAM masa lalu yang tak kunjung selesai.

"Penyelesaian pelanggaran Ham berat masa lalu juga terus menjadi perhatian serius pemerintah. RUU komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan, dan tindak lanjut atas temuan Komnas Ham masih terus berjalan, Keppres pembentukan Tim penyelesaian non Yudisial pelanggaran Ham berat masa lalu juga telah saya tandatangani," ujar Jokowi dalam pidato Sidang MPR RI, Selasa (16/08/2022)

Baca juga:


Pengungkapan kebenaran

Kritik serupa juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Anggota Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, belum ada dasar hukum yang lain untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.

"Berdasarkan undang-undang tentang pengadilan HAM belum ada dasar hukum yang lain di luar pengadilan. Nah kalau hari ini bapak presiden membentuk tim menyelesaikannya di luar pengadilan, maka yang perlu kita tahu dan harus dibuka dulu adalah metode yang seperti apa itu. Nah bahwa apakah selama ini tidak bisa melalui pengadilan ya buktinya sampai hari ini jaksa agung belum menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Amiruddin kepada KBR, Selasa (16/8/2022).

Namun, jika ingin menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu dengan jalur non-yudisial, maka harus ada prinsip dan mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Menurut Amiruddin, prinsip tersebut adalah mengungkapkan kebenaran, memberikan pengakuan bahwa peristiwa itu pernah terjadi, memberikan reparasi kepada semua korban dan mencegah terjadinya keberulangan.

"Nah apakah prinsip ini ada di dalam tim yang dibikin itu saya tidak tahu, kita belum baca dokumennya. Tapi juga saya ingin sampaikan Undang-undang kita tentang pengadilan HAM juga membuka ruang menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu melalui mekanisme pengungkapan kebenaran. Jadi pintu itu terbuka menurut undang-undang. Tinggal pengaturannya seperti apa, itu yang penting kedepan, yang mesti kita lihat dari tim itu," imbuhnya.

Saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum tuntas penanganannya. Yaitu peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Wasior 2001-2002, Wamena 2003. Kemudian peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Jambo Keupok 2003, peristiwa simpang KKA Aceh 1999, peristiwa Rumoh Geudong, dan pos Sattis Aceh 1989, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999 dan peristiwa Paniai 2014.

Satu-satunya kasus yang sudah masuk ke peradilan adalah kasus Paniai yang terjadi pada 2014. Secara resmi pada 25 Juli 2022, Mahkamah Agung telah memilih 8 Hakim ad hoc Pengadilan HAM yang akan bertugas mengadili Peristiwa Paniai ini.

Pada 15 Juni 2022, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah melimpahkan berkas perkara atas nama terdakwa IS dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 2014 ini ke Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus, Makassar.

Baca juga:


Editor: Agus Luqman

  • pelanggaran ham berat
  • jokowi
  • pengadilan HAM
  • nonyudisial

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!