NASIONAL

Amnesty Berharap Paus Fransiskus Jadi Juru Damai di Papua

Ia berharap kehadiran pimpinan Katolik dunia, Paus Fransiskus dapat mendorong pemerintah untuk meredam konflik di sana.

AUTHOR / Heru Haetami, Astri Yuana Sari, Sindu

EDITOR / Sindu

Amnesty Berharap Paus Fransiskus Jadi Juru Damai di Papua
Ilustrasi: Kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia diharapkan bisa jadi juru damai di Papua. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Amnesty International Indonesia (AII) berharap Paus Fransiskus jadi juru damai di Papua. Menurut Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, pendekatan keagamaan bisa menjadi salah satu upaya meredam konflik di Papua.

Itu sebab, ia berharap kehadiran pimpinan Katolik dunia, Paus Fransiskus dapat mendorong pemerintah untuk meredam konflik di sana. Saat ini, Paus tengah melakukan rangkaian perjalanan apostolik di Indonesia, 3-6 September 2024.

"Mudah-mudahan ini tepat waktunya ketika pembawa perdamaian dunia Paus Fransiskus datang ke Indonesia dan bisa menyerukan perdamaian untuk Papua. Karena itu dalam kesempatan ini juga saya ingin mengimbau kepada Paus Fransiskus untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan atau mencari penyelesaian damai dalam konflik bersenjata di Papua," kata Usman saat peluncuran Hasil Riset Pengungsian Internal di Tanah Papua, Selasa, 3 September 2024.

Usman menambahkan, pendekatan militer yang digunakan pemerintah di Papua, hanya menimbulkan masalah, salah satu bentuknya adalah keberadaan puluhan ribu pengungsi di Bumi Cenderawasih. Usman mendorong pemerintah mengevaluasi pendekatan yang selama ini dilakukan.

Kata Usman, para pengungsi di tanah Papua tidak mendapat perhatian selama bertahun-tahun. Kondisi itu tergambarkan pada hasil riset pengungsian internal di Bumi Cenderawasih.

"Betapa bertahun-tahun, 5 tahun paling tidak para pengungsi itu tidak mendapatkan perhatian dari negara. Itu sama sekali tidak masuk akal. Kehilangan akses pada makanan, kehilangan akses pada kesehatan, dan pada rumah tempat tinggal mereka. 5 tahun itu bukan waktu yang singkat," imbuh Usman.

Operasi Militer?

Sementara itu di acara yang sama, Moderator Dewan Gereja Papua (DGP), Pdt Benny Giay mengatakan, pengungsi di Papua berkaitan dengan sejarah dan sudah terjadi sejak tahun 60-an. Benny mengatakan, pengungsian di Papua masih terjadi hingga kini karena ada operasi militer.

"Ada satu orang pengamat Australia yang datang ke Papua, ke Irian Barat waktu itu, dia cerita dalam 3 tahun dari 63 sampai 67 itu ada sekitar 3.000 orang mengungsi. Jadi, dia pilih wawancara mereka di perbatasan, dan mereka lari karena operasi militer, yang waktu itu Ali Moertopo pimpin. Jadi, itu soal besar, tapi yang penting bagi saya apa itu yang bikin operasi militer jalan terus?" kata Benny di acara peluncuran Hasil Riset Pengungsian Internal di Tanah Papua, Selasa, (4/9/2024).

Benny mengatakan, Papua juga penuh stigma, yang membuat Tanah Papua diperlakukan berbeda oleh pemerintah. Ia lantas mempertanyakan arti sesungguhnya Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan nasional Indonesia.

"Bagaimana tadi saya lihat Paus, Bapa Suci turun, Selamat datang di negara Bhinneka Tunggal Ika itu betulkah atau hanya hanya apa itu? Jadi bagi saya itu soal-soal besar ada di situ dan mungkin ini bagaimana kita bangun keberagaman ini," kata dia.

Pengungsi Dalam Negeri

Sebelumnya, sekumpulan peneliti dari berbagai bidang, seperti sosio-politik, hukum dan keadilan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, meneliti pengungsi dalam negeri di Papua.

Penelitian dilakukan Juli-Agustus 2024 dan diperoleh secara langsung dari 70 pengungsi, ditambah wawancara dengan kelompok. Daerah yang dikunjungi peneliti adalah Nabire, Maybrat, Wamena, dan Sorong. Namun, di daerah-daerah itu masih belum jelas berapa total jumlah pengungsi dalam negeri.

Dalam lima tahun ke belakang, dilaporkan ada 45 ribu-100 ribu pengungsi di Bumi Cenderawasih. Para pengungsi rata-rata mengungsi selama tiga tahun. Dua tahun di antaranya dilakukan dengan berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain. Para pengungsi 99 persen adalah penduduk asli Papua.

Faktor utama penyebab pengungsian (100%) adalah konflik bersenjata. Dari responden yang diwawancarai, 97 persen merasa takut. Lalu, 41 persen keluarga pengungsi diintimidasi pihak-pihak yang berkonflik, dan 39 persen mengungkapkan keluargannya diancam langsung.

Saat ini, ada empat hal yang dibutuhkan para pengungsi, karena sangat kekurangan. Yakni, makanan (97%), pelayanan kesehatan (87%), ekonomi/mata pencaharian (81%), dan 90 persen tidak dapat sekolah atau pendidikan. Hasil penelitian itu dirilis Selasa, 2 September 2024.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!