NASIONAL

YLBHI Sebut Polri Bukan Melindungi tetapi Menyakiti Masyarakat

Pendekatan militeristik dan kekerasan telah menjadi kultur dan pendekatan yang diutamakan polisi saat menangani aksi demo.

AUTHOR / Heru Haetami, Hoirunnisa, Shafira Aurel

EDITOR / Sindu

YLBHI Sebut Polri Bukan Melindungi tetapi Menyakiti Masyarakat
Ilustrasi: YLBHI Sebut Polri Bukan Melindungi tetapi Menyakiti Masyarakat. Foto: Creative Commons.

KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai polisi memiliki kultur jauh dari yang dicita-citakan pascareformasi. Wakil Ketua bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana mengatakan, pendekatan militeristik dan kekerasan telah menjadi kultur dan pendekatan yang diutamakan polisi saat menangani aksi demo.

"Padahal pascareformasi kita berharap punya kepolisian yang dipisahkan dari ABRI saat itu yang profesional, yang independen, dan juga humanis gitu. Menjadi alat negara untuk kemudian melindungi, mengayomi masyarakat, dan juga menegakkan hukum, ya. Untuk menciptakan ketentraman di masyarakat," kata Arif dalam Ruang Publik KBR, Selasa, (3/9/2024).

Arif Maulana menambahkan, dalam pengamanan aksi, polisi seringkali bukan mengamankan atau memastikan penghormatan, dan juga melindungi masyarakat yang menyampaikan pendapat.

"Tetapi, hari ini yang terjadi kita justru melihat polisi yang brutal, polisi yang justru bukan melindungi masyarakat, tetapi sebaliknya menyakiti masyarakat," ujar Arif.

Kata dia, polisi cenderung menjadi alat kekuasaan untuk merepresi suara-suara masyarakat, membungkam publik yang melakukan demonstrasi agar berhenti melakukan aksi.

"Pendekatan yang dilakukan sangat represif, agresif bahkan kemudian dia bisa kita bilang sangat brutal," katanya.

Kekerasan Terus Berulang, Pembiaran?

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, terus berulangnya tindak kekerasan aparat kepolisian dalam aksi demonstrasi lantaran tidak adanya evaluasi.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah telah meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo, mengevaluasi jajaran kepolisian hingga tingkat daerah.

"Komnas HAM sebetulnya menyerukan adanya evaluasi dari kapolri melibatkan seluruh kapolda karena aksi itu dilakukan di banyak wilayah di Indonesia, dan kekerasan itu terjadi hampir di semua wilayah di mana aksi itu terjadi," kata Anis dalam Ruang Publik KBR, Selasa, (3/9/2024).

Tetapi kata Anis, evaluasi tak pernah dilakukan, termasuk menjatuhkan sanksi kepada personel yang melanggar.

"Baik eksternal maupun juga kita selalu mendorong adanya proses peradilan. Karena ini adalah kekerasan yang itu tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar rangkaian hukum yang ada di Indonesia," imbuhnya.

Anis Hidayah menduga terjadi pembiaran sehingga tindak kekerasan oleh polisi telah dinormalisasikan. Padahal kata dia, tindakan itu bertentangan dengan prinsip HAM.

"Jadi, pertama soal perspektif dan soal budaya kerja di dalam institusi aparat penegak hukum termasuk dan terutama adalah kepolisian. Ini masih lebih dekat dengan bagaimana penggunaan kekuatan berlebih, penggunaan kekerasan, dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan asasi manusia." katanya.

Penggunaan Gas Air Mata

Sebelumnya, Kepolisian menggunakan gas air mata saat mengawal aksi demo Kawal Putusan MK atau tolak revisi UU Pilkada di sejumlah daerah. Misalnya saat aksi demo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Di sana, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat hingga Kamis malam, (22/08), ada 11 orang ditangkap polisi. Tim advokasi juga menyebut ada tiga orang mengalami luka serius akibat kekerasan aparat.

Tak hanya pedemo, aparat juga melakukan dugaan tindak kekerasan ke para jurnalis. Dewan Pers mengecam tindakan polisi terhadap para jurnalis yang tengah meliput unjuk rasa tolak revisi UU Pilkada di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan tindakan kekerasan polisi tidak dapat dibenarkan. Sebab, kegiatan jurnalis dilindungi undang-undang saat menjalankan tugasnya. Ninik menyebut, kekerasan berulang aparat kepada jurnalis bukti sangat lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan pers.

"Mengecam keras tindakan aparat terhadap para jurnalis yang melakukan profesinya pada saat kegiatan unjuk rasa penolakan RUU Pilkada. Tidak hanya itu selain teman-teman jurnalis, pers kampus, pers mahasiswa juga menjadi korban kekerasan yang diindikasikan kuat dilakukan oleh aparat, yang seharusnya melakukan perlindungan, melakukan penertiban. Bukan dengan cara kekerasan apa pun alasannya," ujar Ninik dalam konferensi pers secara daring, dikutip Minggu, (25/8).

Klaim Polisi

Padahal sebelumnya, dalam konteks pengamanan di Jakarta, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo Purnomo Condro mengeklaim tetap menghargai massa aksi yang menyampaikan pendapat. Kata dia, personel yang terlibat pengamanan juga tak ada yang membawa senjata api. Namun, di lapangan, polisi menggunakan gas air mata untuk bubarkan pedemo.

"Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di bundaran Patung Kuda Monas dan sekitarnya, kami melibatkan sejumlah 1.273 personel gabungan. Personel gabungan tersebut dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait personel ditempatkan di sejumlah titik di sekitar Patung Arjuna Wijaya, depan Gedung MK, hingga depan Istana Merdeka," ujar Susatyo kepada wartawan, Kamis, (22/8/2024).

Susatyo mengatakan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi, dengan menyiapkan sejumlah personel untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke kawasan. Ia mengingatkan seluruh personel selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi.

"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di Bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," imbau Susatyo.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!