NASIONAL

Tudingan Dinasti Politik, Jokowi: Penilaian Masyarakat

"yang mencoblos itu juga rakyat, bukan kita, bukan elite"

AUTHOR / Heru Haetami

politik dinasti
BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) membawa poster tolak politik dinasti dalam unjuk rasa di Jakarta, Jumat (20/10/2023). (FOTO: Antara/Asprilla Dwi Adha/foc)

KBR, Jakarta- Presiden Joko Widodo menanggapi tudingan membangun dinasti politik yang disematkan sejumlah pihak kepada keluarganya. Menurut Jokowi, tudingan itu merupakan bentuk penilaian masyarakat. Ia menekankan, pada pelaksanaan pemilu, kedaulatan berada di tangan rakyat.

"Ya itu kan masyarakat yang menilai, masyarakat yang menilai dan dalam pemilihan pun baik itu di pilkada, pemilihan walikota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan presiden. Itu semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu juga rakyat, bukan kita, bukan elite, bukan partai. Ya itulah demokrasi," kata Jokowi di Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Tudingan keluarga Jokowi membangun dinasti politik menguat seusai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah syarat batas minimal usia capres cawapres. Peraturan itu diubah dari semula berusia minimal 40 tahun, menjadi dikecualikan bagi seseorang yang pernah maupun sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura menilai putusan tersebut membuka peluang putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju dalam pemilihan presiden. Sebelum diubah MK, Wali kota Solo, Jawa Tengah itu terhalang syarat batas usia minimum capres cawapres karena masih berusia 36 tahun.

“Saya pikir ini kelihatan bahwa MK kemudian terjebak pada apa yang kita khawatirkan sebelumnya, mereka melanggengkan peluang untuk adanya politik dinasti kalau memang nanti ini digunakan oleh anaknya presiden sebagai calon wakil presiden,” kata Charles kepada KBR, Senin (16/10/2023).

Charles mengungkap temuan kejanggalan dalam putusan MK tersebut. Menurutnya, MK telah inkonsisten dalam memutuskan perkara batas usia capres dan cawapres lantaran hasil putusan tersebut berubah secara mendadak.

“Saya pikir ini, kita itu kena prank dan ini jarang terjadi, artinya memang kemudian posisi yang mau dicari itu adalah posisi yang sebenarnya yang kita kalau lihat menerima yang mayoritas. Akhirnya memang, yang penting itu dilihat di akhir,” ujar Charles.

Baca juga:

Di lain pihak, Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas mengatakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk menghukum calon pemimpin yang berpihak kepada oligarki.

Menurut dia, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada sekelompok orang berupaya melanggengkan kekuasaan Jokowi dengan beragam cara. Mulai dari pengguliran isu presiden tiga periode, penundaan pelaksanaan pemilu hingga terkini Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian gugatan terkait syarat batas usia minimum capres dan cawapres.

“Ini menjadi tugas kita bersama untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat, dengan cara apa? Ya kita sadarkan masyarakat untuk memberikan hak suaranya kepada orang yang tidak berpihak kepada oligarki dan politik dinasti. Ya seharusnya penyadaran-penyadaran seperti itu yang harus dilakukan. Ada ruang-ruang diskusi yang dilakukan untuk penyadaran-penyadaran ini,” kata Fernando kepada KBR, Selasa (17/10/2023).

Editor: Muthia Kusuma

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!