NASIONAL
Tanggapi Rencana 20 Juta Hektare Lahan Baru untuk Pangan dan Energi, Walhi: Sesat!
"Sesat karena menjadi program Kementerian Kehutanan. Harusnya dia yang memastikan hutan-hutan kita itu selamat dan tidak terlalu fungsikan. Justru kemudian hal yang berbeda yang dilakukan gitu ya,"
AUTHOR / Heru Haetami
-
EDITOR / Resky Novianto

KBR, Jakarta- LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pembangunan pangan dalam konteks lumbung pangan (food estate), energi, dan air, merupakan program yang sesat.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkapkan rencana besar pemerintah dalam memanfaatkan hutan untuk jadi lahan untuk pangan, energi, dan air.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Uli Arta Siagian menilai Kementerian Kehutanan keluar dari koridor. Sebab, seharusnya Kementerian Kehutanan menjadi entitas negara yang paling terdepan untuk menjaga hutan dari ancaman konversi hutan atau deforestasi.
"Sesat karena menjadi program Kementerian Kehutanan. Harusnya dia yang memastikan hutan-hutan kita itu selamat dan tidak teralihfungsikan. Justru kemudian hal yang berbeda yang dilakukan gitu ya. Lalu pertanyaannya adalah apa bedanya Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM? Kalau kemudian standing point-nya justru merusak dan membongkar hutan," ujar Uli kepada KBR, Kamis (2/1/2025).
Uli Arta menambahkan, rencana program yang bertujuan membabat hutan itu bisa mengancam kerusakan lingkungan. Sebab kata dia, di hutan-hutan yang dibongkar itu ada jutaan masyarakat hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Bahkan, di 20 juta hektar itu adalah wilayah adat atau hutan adat milik masyarakat adat.
"Sehingga selain akan berdampak pada kerusakan lingkungan, kerusakan hutan, hilangnya fungsi hidrologis hutan sebagai penata air gitu ya. Dan penyerapan karbon, perampasan atau pembongkaran hutan ini gitu ya. Kalau dia juga merupakan hutan milik masyarakat adat dan kawasan lokal, maka itu akan memperpanjang mata rantai konflik gitu," ujar Uli.
Uli menilai, program tersebut juga berpotensi memicu konflik yang akan semakin meruncing. Sehingga, kata dia, dampak ikutannya adalah akan semakin masif terjadi intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan kepada masyarakat yang berjuang mempertahankan wilayahnya.
Selain itu, dalam skala yang lebih besar lagi, perubahan hutan 20 juta hektare itu akan berdampak sangat besar pada krisis iklim.
"Dan ini sangat berkontradiktif dengan komitmen pemerintah kita di dunia internasional yang selalu bilang bahwa Indonesia itu berkomitmen untuk melakukan aksi adaptasi mitigasi perubahan iklim," ucapnya.
Alih alih melakukan pembabatan hutan, Uli Arta mendesak Kemenhut fokus pada penyelamatan hutan tersisa dan memastikan masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan bisa mendapatkan haknya untuk mengakses dan kemudian memiliki wilayah adatnya.
Dia juga mendorong Kemenhut melakukan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang selama ini merusak kawasan hutan, bukan justru kemudian menjadi pelaku pengrusakan hutan.
"20 juta hektare hutan ini yang akan dibuka sudah pasti di kawasan hutan-hutan tersisa kita. Di mana kawasan itu punya fungsi yang sangat penting sekali bagi kehidupan masyarakat di Indonesia bahkan global," pungkasnya.
Baca juga:
- Anggota DPR Minta Prabowo Kaji Ulang Rencana Perluasan Sawit
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!