Pakar mengakui adanya pertimbangan prestasi pada sebagian penerima, namun sebagian lainnya dinilai bahwa faktor politik lebih dominan.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Penganugerahan tanda kehormatan diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada 141 tokoh di Istana Negara, Jakarta, 25 Agustus 2025.
Pemberian bintang jasa dan kehormatan ini didedikasikan untuk para tokoh yang dianggap berjasa kepada bangsa dan negara, dalam rangka HUT ke-80 RI.
Menurut Arif Nurul Imam, Direktur Eksekutif Skala Data Indonesia, mengakui adanya pertimbangan prestasi pada sebagian penerima, namun menilai faktor politik lebih dominan.
“Penghargaan Presiden Prabowo Subianto kemarin terhadap 141 tokoh tentu menuai polemik, karena penghargaan ini diasumsikan atau dipandang dari kacamata politik tidak murni pure karena prestasi atau dedikasinya, melainkan ada faktor-faktor lainnya yang bisa jadi menjadi pertimbangan kenapa seorang tokoh mendapat penghargaan tersebut,” kata Arif.
Ia mencontohkan, penghargaan kepada tokoh budaya seperti Titiek Puspa dan Waljinah bisa dipahami karena kontribusinya, namun banyak nama politikus yang justru menimbulkan tanda tanya.
“Dari sisi ini saya kira penghargaan yang diberikan Presiden Prabowo Subianto ke beberapa tokoh, ratusan tokoh tersebut, tentu selain karena ada yang berprestasi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor pertimbangan politik, entah karena akomodasi dalam rangka jargon persatuan atau konsolidasi atau faktor-faktor kedekatan lainnya,” jelas Arif.

Gejala Patronase Politik
Ketua Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina mengatakan praktik pemberian ini bukan hal baru. Itu sebab, kata dia, penghargaan ini sarat kepentingan politik dan minim transparansi.
“Kontras sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil melawan impunitas, tentu melihat adanya obral tanda kehormatan dari Prabowo Subianto ke 141 tokoh, itu tidaklah mengherankan atau mengejutkan bagi kami, karena fenomena ini tidak dapat berdiri sendiri, karena pemerintah sekarang itu memang cenderung tidak menerapkan sistem meritokrasi yang jelas, transparan, atau bahkan terukur,” tegas Jane dalam siaran Ruang Publik KBR. Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, sejak awal pemerintahan Prabowo sudah tampak gejala patronase politik dengan pengangkatan tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan personal maupun historis ke jabatan strategis.
“Artinya pengangkatan ataupun pemberian penganugerahan tanda kehormatan ini bukan semata-mata didasarkan atas kompetensi, rekam jejak, profesionalitas yang berdasarkan prinsip meritokrasi, tapi ini adalah bentuk bagaimana pemberian terhadap sejumlah tokoh-tokoh yang dirasa memiliki loyalitas politik, kedekatan pribadi, atau memiliki sejarah kedekatan politik ideologis dengan Prabowo Subianto,” jelas Jane.
“Ini tentu tidak sehat bagi ruang demokrasi, dan ini akan berpotensi menurunkan legitimasi institusi negara di mata publik,” lanjutnya.
Lebih jauh, Jane menyebut penganugerahan ini melukai keadilan korban pelanggaran HAM.
“Alih-alih untuk memberikan sejumlah penghargaan atas jasa yang benar-benar berkontribusi bagi rakyat, justru malah pemberian tanda kehormatan ini mengindaki harkat dan martabat korban, serta melukai rasa keadilan khususnya bagi korban pelanggaran berat HAM,” ujarnya.
Para Tokoh yang Diberi Tanda Kehormatan
Sederet tokoh mentereng tanah air mendapat tanda kehormatan dengan beberapa diantaranya merupakan pejabat di yang berada di kabinet. Seperti Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Zulkifli Hasan, Amran Sulaiman, Sugiono, hingga Bahlil Lahadalia.
Di luar itu ada pula Hashim Djojohadikusumo, Pimpinan DPR RI Puan Maharani serta Sufmi Dasco Ahmad, eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto hingga Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah.
Nama terakhir memperoleh penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana. Burhanuddin dinilai berjasa menjaga stabilitas moneter serta memperkuat sistem perbankan internasional.
Padahal, Burhanuddin, pernah tersandung kasus korupsi besar di masa lalu. Ia dijatuhi vonis lima tahun penjara terkait perkara aliran dana Rp 100 miliar Bank Indonesia kepada sejumlah mantan pejabat BI dan anggota DPR.

Golkar Apresiasi Tanda Kehormatan
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar menilai penghargaan Tanda Kehormatan dari Presiden Prabowo Subianto kepada Bahlil Lahadalia merupakan bentuk pengakuan Negara atas karya dan kontribusi nyata yang ditorehkan Bahlil selama menjalankan amanah sebagai menteri sekaligus pemimpin partai berlambang pohon beringin.
Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik DPP Partai Golkar Idrus Marham menyebutkan penghargaan itu bukan sekadar simbol, melainkan validasi terhadap kerja keras dan integritas yang ditunjukkan Bahlil sebagai Menteri ESDM maupun Ketua Umum Partai Golkar di tengah dinamika politik dan pemerintahan.
"Penghargaan hakikinya adalah pertemuan antara ekspresi keyakinan dan sikap kritis, lahir dari pengakuan objektif atas kuatnya kesamaan motivasi, ide, gagasan, pikiran dan pemikiran antara yang memberi penghargaan, yang menerimanya, dan yang merasakan manfaatnya," tutur Idrus dikutip dari ANTARA.
Selain itu, ia menambahkan, penghargaan merupakan bukti atas seseorang, yang dengan segala bentuk kesadarannya, lebih memberi perhatian pada prestasi publik, bangsa, dan negara, jauh melampaui prestasi diri sendiri.
“Ini menjadi tonggak penting bagi publik untuk semakin percaya bahwa Bung Bahlil mampu memimpin dan terus memberi kontribusi positif. Gelar ini sejatinya bisa menghilangkan segala keraguan terhadap sosok ketum kami,” ucap dia.
Sebelumnya, Bahlil mendapat tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipurna. Bahlil dianggap berjasa pada bidang energi dan investasi melalui kebijakan hilirisasi mineral.

Makna dari Tanda Kehormatan
Mengutip dari ANTARA, deretan penghargaan yang diberikan meliputi Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Kemanusiaan, Bintang Budaya Parama Dharma, hingga Bintang Sakti, yang ditujukan kepada para tokoh nasional.
Lalu, apa sebenarnya makna dari tanda kehormatan yang diberikan Presiden tersebut? Berikut penjelasannya sesuai dengan jenis penghargaan yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Arti dan jenis tanda kehormatan presiden
Menurut laman Hukumonline, Tanda Kehormatan merupakan penghargaan resmi negara yang diberikan Presiden kepada individu, kesatuan, institusi, atau organisasi yang menunjukkan pengabdian dan kesetiaan luar biasa kepada bangsa dan negara.
Pemberiannya diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Berikut penjelasan beberapa jenis tanda kehormatan yang dianugerahkan:
> Bintang Republik Indonesia Utama
• Merupakan salah satu kelas dalam Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia.
• Menjadi penghargaan tertinggi negara dalam bentuk bintang.
• Diberikan Presiden kepada individu yang memiliki jasa sangat luar biasa di berbagai bidang yang berkontribusi pada keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan bangsa.
> Bintang Mahaputra Adipurna
• Kategori tertinggi dari Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera.
• Ditujukan bagi individu yang memiliki jasa besar di berbagai bidang yang mendukung kemajuan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa.
• Penerimanya harus memenuhi syarat khusus, yakni terbukti memberikan pengabdian luar biasa demi keutuhan dan kejayaan negara.
• Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU 20/2009, Bintang Mahaputera digolongkan sebagai tanda kehormatan sipil untuk perseorangan atas jasa besar di berbagai bidang.
> Bintang Jasa
• Diberikan kepada individu yang berjasa dalam suatu bidang atau peristiwa tertentu.
• Penghargaan ini menekankan pada kontribusi besar yang bermanfaat bagi keselamatan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa.
> Bintang Kemanusiaan
• Diperuntukkan bagi tokoh yang berjasa dalam menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan.
• Umumnya terkait dengan bidang hak asasi manusia, hukum, pelayanan publik, maupun kegiatan kemanusiaan.
• Syarat penerimanya meliputi pengabdian nyata di bidang tersebut, pengorbanan bagi bangsa, serta pengakuan luas atas jasa-jasanya di tingkat nasional.
> Bintang Budaya Parama Dharma
• Khusus diberikan kepada individu yang berkontribusi besar dalam pelestarian, pengembangan, dan pembinaan kebudayaan nasional.
• Cakupan-nya meliputi kesenian, nilai tradisional, hingga kearifan lokal.
• Penerima penghargaan ini adalah mereka yang jasanya diakui luas di tingkat nasional dalam bidang kebudayaan.
> Bintang Sakti
• Salah satu tanda kehormatan di bidang militer.
• Diberikan Presiden kepada prajurit TNI yang dinilai memiliki jasa luar biasa di dunia kemiliteran.

Mekanisme Seleksi Ketat dan Transparan
Arif Nurul Imam menegaskan pentingnya mekanisme seleksi yang ketat dan transparan.
“Kriteria untuk memilih tempat yang mendapat penghargaan itu harus legit, ketat, dan teruji secara hebat. Bahkan kalau bisa dibuat semacam agak uji publik sejauh mana tokoh tersebut misalnya layak untuk mendapat penghargaan,” tuturnya.
Jane menambahkan, seharusnya pemberian tanda kehormatan melibatkan partisipasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2009.
“Kita melihat usulan ini dan kemudian pemberian tanda kehormatan ini terkesan eksklusif dan elitis dan tidak membuka ruang partisipasi keterlibatan masyarakat secara bermakna,” ujarnya.
Arif pun mengatakan bahwa secara formal penghargaan itu sah, namun belum tentu mendapat legitimasi di mata masyarakat.
“Dari banyak pertanyaan tentu ini menegaskan bahwa gelar ini legal tetapi tidak legitimate karena dipertanyakan oleh publik,” jelasnya.
Setara Institute: Tanda Kehormatan Perlu Ditolak
Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute berpendapat penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Prabowo Subianto kepada 122 orang penerima menunjukkan subjektivitas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sangat nyata.
Menurutnya, penganugerahan Bintang Mahaputera bertentangan dengan UU Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Pasal 2 UU tersebut menegaskan sejumlah asas yang melimitasi secara ketat pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, antara lain asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas keobjektifan, dan keterbukaan,” tegas Hendardi dalam keterangan tertulis yang diterima KBR, Kamis (28/8/2025).
Penganugerahan Bintang Mahaputera pada tahun 2025 harus ditolak karena beberapa alasan yang secara substantif bertentangan dengan asas-asas dalam UU tersebut.
Pertama, Hendardi mengatakan beberapa figur secara objektif terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, utamanya Tragedi HAM 1998 dan Pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, seperti Wiranto.
“Kedua, Presiden juga memberikan Bintang Mahaputera kepada eks narapidana korupsi, utamanya Burhanuddin Abdullah. Publik mencatat dengan baik bahwa Burhanuddin merupakan salah satu ‘arsitek’ ekonomi Pemerintahan Prabowo, namun statusnya sebagai eks koruptor harusnya menjadikan yang bersangkutan tidak layak menyandang Tanda Kehormatan sangat tinggi sekelas Bintang Mahaputera,” katanya.
Pemberian Tanda Kehormatan Dipertanyakan
Ketiga, lanjut Hendardi, Kepala Negara secara subjektif memberikan Bintang Kehormatan kepada para pembantunya di Kabinet Merah putih, dari Teddy Indra Wijaya hingga Bahlil Lahadalia.
Itu sebab, publik secara masif mempertanyakan melalui media sosial dan media alternatif lainnya.
“Apa jasa para Menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik (political appointment) Presiden itu? Integritas para menteri yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera tersebut juga tidak terbukti teruji, bahkan beberapa nama Menteri penerima Bintang Mahaputera itu disebut-sebut dalam kasus korupsi,” lanjut Hendardi.
Keempat, Hendardi menambahkan, penolakan publik yang luas mulai dari akademisi, intelektual, hingga para aktivis masyarakat sipil perlu menjadi perhatian.
“Pertanyaan-pertanyaan mereka atas integritas dan jasa besar para penerima Bintang Mahaputera itu menunjukkan proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak terbuka dan tidak melibatkan publik,” tutur Hendardi.
Selain itu, proses penganugerahan Bintang Mahaputera yang serampangan tersebut, dinilai Hendardi, selain menurunkan kredibilitas dan nilai dari Penghargaan negara itu, juga akan menjadi preseden bagi Presiden dan Pemerintahan dalam jangka panjang.
“Presiden sudah pasti tidak akan menganulir pemberian Bintang Mahaputera tersebut, tapi publik mesti mengingatkan Presiden bahwa tindakan negara, termasuk dalam bentuk pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus tunduk pada hukum negara,” tegas Hendardi.
“Mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran serius atas Sumpah Presiden sendiri yang diucapkan dalam Pelantikan,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini juga bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media berikut:
Baca juga:
- Ebenezer Terjerat Korupsi, Kabinet Dievaluasi?
- Sinyal Iuran BPJS Kesehatan Naik, Masyarakat Terdampak?