NASIONAL
Stop Blow Up Identitas Korban Kekerasan Seksual Demi Konten!
Hentikan penyebaran identitas korban kekerasan seksual, mulai dari kamu!
AUTHOR / Lea Citra
KBR, Jakarta- Organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital, SAFEnet menyerukan gerakan 'STOP DI KAMU'. STOP DI KAMU adalah gerakan yang mengajak pengguna internet atau media sosial untuk tidak menyebarkan atau menghentikan penyebaran konten yang memuat identitas korban, khususnya di kasus kekerasan seksual.
Pernah lihat konten yang mencantumkan data pribadi atau wajah korban dengan jelas? Yup itulah yang digaungkan untuk dihentikan penyebarannya. Di media sosial Twitter, SAFEnet mengungkapkan penyebaran identitas korban hanya akan menyebarkan ketakutan dan menghancurkan kehidupan korban demi kepuasan sesaat. Ingat ya, konten yang kamu sebarkan di media digital itu abadi!
Berdasarkan laman Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), saat ini masyarakat bisa membuat majalah warga dalam bentuk online, blog, atau video. Penyebaran konten ini juga sangat mudah. Hal ini membuat situasi rentan dan tidak terkontrolnya penyebaran informasi di sosial media. Sementara itu, untuk menaikkan jumlah pembaca, media juga dinilai kerap mengekspos korban-korban kasus kekerasan seksual.
Baca juga:
Mengenali Tanda Kekerasan Seksual pada Anak
Please, Ikutin Pedoman Media dan Medsos terkait Berita Bunuh Diri!
Gimana sih cara meliput kekerasan seksual yang berprespektif korban?
Mengutip Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis edisi pertama dari Project Multatuli, Kekerasan seksual tidak terjadi di ruang hampa. Ketika melakukan reportase kekerasan seksual, penting untuk tidak hanya melaporkan tentang “di mana, kapan, dan bagaimana” peristiwa terjadi, tetapi juga memberikan konteks tentang peristiwa itu yang dapat menggambarkan akar permasalahan kekerasan terjadi.
Sejumlah konteks yang relevan dan dapat menjadi benang merah:
1. Patriarki
Sistem sosial yang bertumpu pada dominasi laki-laki terhadap gender lain, umumnya terhadap perempuan. Patriarki berperan besar memungkinkan kekerasan berbasis gender terjadi, bahkan membuat perempuan ikut menormalisasi kekerasan yang terjadi kepada diri mereka atau gender lainnya.
2. Budaya Perkosaan (Rape Culture)
Normalisasi terhadap perilaku-perilaku seksis, diskriminatif, serta bentukbentuk kekerasan lainnya yang berakhir membuat kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dianggap remeh dan biasa. Budaya perkosaan (rape culture) umumnya diasosiasikan dengan perilaku-perilaku seperti victim blaming (menyalahkan korban), slut-shaming (merendahkan orang lain lewat stigma atau label), objektifikasi seksual, meremehkan perkosaan atau bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya, menolak mengakui persoalan struktural kekerasan berbasis gender dan dampak-dampaknya, atau kombinasi dari seluruhnya.
3. Intersectionality atau Sesilangan
Individu atau kelompok identitas tertentu menjadi lebih rentan terhadap kekerasan dan kerap memiliki akses yang lebih terbatas terhadap layanan bantuan. Kelompok-kelompok minoritas dan dipinggirkan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan ras, kelas, etnisitas, seksualitas, identitas gender, status kewarganegaraan, pekerjaan, disabilitas, kepercayaan/agama, dan klasifikasi-klasifikasi lainnya. Kombinasi dua atau lebih identitas-identitas ini dapat menentukan posisi seseorang di masyarakat, baik itu menjadi memiliki posisi tawar yang lebih tinggi atau menjadi lebih rentan.
3. Relasi Kuasa
Relasi kuasa yang tidak setara adalah salah satu faktor utama penyebab kekerasan berbasis gender terjadi. Anggapan bahwa laki-laki memegang kuasa dan kontrol terhadap perempuan dan gender minoritas lainnya membuat laki-laki merasa dapat bertindak sewenang-wenang ke mereka. Perlu dipahami bahwa kekerasan seksual bukanlah sebuah aktivitas seks, tetapi adalah bentuk dominasi.
Kenapa kita mesti meliput kekerasan seksual yang berperspektif koban?
Melakukan liputan kekerasan seksual dengan berperspektif korban berarti berupaya untuk melakukan liputan yang berfokus memprioritaskan hak, kebutuhan, keinginan, dan keamanan penyintas kekerasan seksual. Dengan melakukan pendekatan ini, tim redaksi telah berupaya memastikan bahwa hak-hak penyintas dihormati dan mereka diperlakukan secara bermartabat dan dengan hormat. Pendekatan yang berperspektif penyintas atau korban juga akan membantu mendukung pemulihan korban dan penyintas-penyintas lain yang membaca hasil liputan.
Untuk mengetahui persoalan ini lebih lanjut. Yuk kita dengarkan podcast What's Trending bersama Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan editor panduan meliput
kekerasan seksual bagi persma dan jurnalis dari Project Multatuli, Aulia Adam di link berikut ini:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!