NASIONAL

Siswa Dilarang Bawa HP ke Sekolah, Bagaimana Kecakapan Digital?

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melarang siswa membawa handphone (HP) ke sekolah.

AUTHOR / Khalisha Putri

EDITOR / Wydia Angga

Google News
Siswa Dilarang Bawa HP ke Sekolah, Bagaimana Kecakapan Digital?
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi

KBR, Jakarta - Sudah selama dua pekan lebih, siswa jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jawa Barat dilarang membawa handphone (HP) ke sekolah. Larangan ini dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi pada peringaran Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 silam. 

Pelarangan ponsel di lingkungan sekolah ini pun menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Orang tua murid, Siti Zubaedah adalah salah satu yang menyambut baik kebijakan ini. Menurutnya, anak-anak SD dan SMP memang masih membutuhkan lingkungan belajar yang minim distraksi.

“Kebijakan larangan membawa hape ke sekolah itu, menurut saya perlu diterapkan di sekolah. Terutama, untuk anak-anak SD dan SMP karena murid-murid itu akan lebih fokus dalam kegiatan belajar, serta dikhawatirkan terjadinya potensi gangguan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Nanti malah murid-murid dia menggunakan hape malah untuk main game. Itu malah membuat tidak fokus dalam belajar,” ungkap Siti saat diwawancarai KBR Media, Selasa (20/5/2025).

Meski begitu, ia tak memungkiri adanya kekhawatiran bahwa anak-anak akan tertinggal dalam keterampilan digital. Namun, Siti menilai hal itu masih bisa diantisipasi.

Baca juga:

- Main Medsos Aman? Ini Peran Orang Tua dalam Keamanan Digital Bagi Remaja

Teknologi Kecerdasan Buatan AI Makin Marak, Muncul Tantangan dan Peluang Baru

“Kekhawatiran murid akan tertinggal dalam hal keterampilan teknologi atau literasi digital itu memang ada. Tapi kita bisa mengantisipasinya dengan memberikan buku-buku bacaan secara langsung kepada murid-murid. Dan memberikan waktu praktik dalam penggunaan PC di laboratorium komputer untuk meningkatkan literasi digitalnya. Jadi nggak usah khawatir,” tambahnya.

Menurut Siti, langkah sekolah untuk tetap melindungi anak dari dampak negatif dunia digital sekaligus menjaga keterampilan teknologi bisa dilakukan melalui pengawasan, aturan yang jelas, dan edukasi tentang penggunaan HP secara bertanggung jawab.

“Harapan kami terhadap peran guru dan sekolah adalah membimbing murid-murid menghadapi tantangan dunia digital dan teknologi dengan menyediakan literasi digital, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan teknologi yang relevan. Lalu berkolaborasi dan mengadakan pelatihan teknologi,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam membatasi penggunaan HP di luar sekolah.

“Peran orang tua adalah mencegah penggunaan hape atau gadget oleh anak-anak murid itu, kalau bisa memberikan batasan waktu dalam penggunaan hape, mendampingi anak-anak saat menggunakan hape, memilih konten yang aman dan sesuai dengan usianya, lalu menciptakan aktivitas alternatif di luar penggunaan hape atau gadget seperti berkumpul bersama, makan bersama, untuk ngobrol-ngobrol hal-hal yang lebih manfaat, atau bermain game yang real untuk lebih meningkatkan konektivitas antar keluarga,” tegas Siti.

red

Keterangan Foto: Ilustrasi Larangan Membawa HP ke Sekolah


Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan aturan melarang siswa membawa HP ke sekolah yang berlaku bagi berlaku bagi siswa dari jenjang SD hingga SMP di seluruh satuan pendidikan di provinsi tersebut.

"Anak SMP, per hari ini anak SD dan SMP tidak boleh bawa motor dan HP," ujar Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (2/5).

Dedi Mulyadi menegaskan kembali alasannya melarang siswa membawa HP demi melindungi remaja dari pengaruh buruk media digital. Hal ini diungkapkannya saat mengunjungi SMA Negeri 2 Purwakarta dalam rangka menyosialisasikan implementasi PP Tunas, 14 Mei 2025.

PP Tunas adalah singkatan dari Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak di ruang digital, khususnya dari ancaman yang mungkin muncul melalui internet dan platform digital.

"Nah, saya waktu itu kan berpikir, kalau hanya pendekatannya dengan pola pendidikan, kemudian pola pelatihan, menghentikan remaja dari kegiatan menggunakan dan kecanduan game online, itu kan tidak akan selesai. Saya berpikir harus ada hulunya yang segera dibenahi. Maka PP ini sebenarnya hulu dari seluruh pembenahan, penggunaan media sosial dan platform media sosial itu yang memiliki dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. serta melahirkan kejahatan dan berbagai tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja," ujar Dedi (14/5).

red

Keterangan Foto: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi saat bersama Menkomdigi Mutya Hafid mengunjungi SMA Negeri 2 Purwakarta dalam rangka sosialisasi PP Tunas, Rabu (14/5/2025). Sumber Foto: Instagram resmi @Meutya_Hafid

Baca Juga:

- Ruang Digital Aman dan Sehat bagi Anak, Menakar Efektivitas PP Tunas

KPAI: Gawai Bikin Anak Kecanduan dan Mudah Mengamuk


Bagaimana pandangan pengamat pendidikan?

Sementara itu, pengamat pendidikan Ina Liem menilai larangan ponsel di sekolah efektif untuk jenjang dasar, tetapi membutuhkan pendekatan lebih fleksibel untuk tingkat menengah atas.

“Bagi saya, melihat kondisi literasi bangsa yang masih cenderung rendah, kebijakan larangan membawa HP ke sekolah bisa menjadi langkah efektif, terutama untuk jenjang SD dan SMP. Di usia tersebut, anak-anak masih sangat rentan terhadap distraksi dan belum cukup matang untuk mengelola penggunaan gawai secara bijak. Mereka butuh pembiasaan untuk fokus, berinteraksi langsung, dan membangun kebiasaan belajar tanpa ketergantungan pada layar,” ujar Ina kepada KBR, Selasa (20/05/2025).

Akan tetapi, Ina menyebut larangan total tak mesti diterapkan untuk jenjang SMA.

red

Keterangan Foto: Pengamat Pendidikan, Ina Liem. 


“Namun untuk jenjang SMA, pendekatannya bisa lebih fleksibel. Misalnya, bukan larangan total, tapi pembatasan, dengan aturan yang jelas kapan dan untuk apa HP boleh digunakan. Karena di usia ini, literasi digital dan pemahaman moral mulai terbentuk. Mereka mulai bisa diajak berdiskusi soal alasan mengapa kita harus membatasi diri dalam menggunakan gadget, khususnya media sosial,” tambahnya.

“Idealnya, seiring dengan meningkatnya literasi dan nilai-nilai moral, bentuk pengaturannya bisa perlahan berubah dari larangan menjadi kesadaran. Artinya, siswa bukan hanya patuh karena takut dilarang, tapi karena paham alasan di balik pembatasan itu,” kata Ina Liem.

Menurut Ina, dorongan untuk belajar AI memang penting, tapi tidak bisa langsung diterapkan secara nasional dengan pendekatan seragam.

red

Keterangan Foto: Ilustrasi Kecakapan Digital


“Kita harus realistis, kesenjangan pendidikan dan geografis di Indonesia masih sangat lebar. Karena itu, kebijakan pembelajaran AI harus berbasis data dan mempertimbangkan urgensi serta kesiapan tiap daerah,” ujar Ina.

Di sisi lain, Ina menekankan pentingnya kebijakan sekolah yang edukatif, bukan hanya represif.

“Sebelum bicara AI, fondasi seperti literasi, numerasi, dan logika berpikir harus diperkuat dulu. Kalau dasar ini belum kuat, pembelajaran AI hanya akan menjadi kosmetik kurikulum saja, terlihat canggih, tapi tidak menyentuh esensi pembelajaran,” tegasnya.

Ina menambahkan, sekolah menurutnya harus bisa memberikan literasi digital yang memadai dan mengajarkan anak tentang risiko dunia maya, terutama media sosial.

“Literasi digital itu bukan hanya soal bisa pakai teknologi, tapi juga soal tahu mana informasi yang valid, bisa berpikir kritis, dan sadar etika digital,” pungkasnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!