NASIONAL

Ragam Faktor Kekerasan Seksual Kaum Terpelajar

Ada sejumlah faktor yang jadi latar belakang ...

AUTHOR / Aura Antari, Ken Fitriani, Hoirunnisa, Sindu, Shafira Aurelia

EDITOR / Sindu

Google News
Ragam Faktor Kekerasan Seksual Kaum Terpelajar
Ilustrasi kaum terpelajar. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta– Fenomena kekerasan seksual oleh kaum terpelajar marak terjadi di Indonesia belakangan ini. 

Seksolog sekaligus psikolog Baby Jim Aditya menyebut ada sejumlah faktor yang jadi latar belakang kekerasan seksual di kalangan terpelajar. Mulai dari sistem pengawasan hingga kegagalan negara melaksanakan pendidikan seks sejak dini.

"Ada relasi kuasa, ini kan relasi kuasa jatuhnya. Seperti tadi dokter spesialis kandungan kepada pasiennya lagi mau USG. Kayak yang RS Hasan Sadikin itu, kan, lebih ke abuse of power. Dia punya power, dia menyalahgunakan kekuasaannya sebagai orang yang agak punya otoritas sebagai dokter kepada pasien. Juga mungkin memanfaatkan celah-celah ketidakjelasan SOP," ujar Seksolog, Baby Jim Aditya kepada KBR, Rabu, (18/04/2025).

Dalam konteks pendidikan seks, kata Baby, hal itu juga masih dianggap tabu sebagian masyarakat di Indonesia. Padahal, sangat diperlukan untuk membekali anak-anak tentang tubuh mereka, batasan, dan rasa hormat terhadap orang lain.

"Dari dulu aku sudah bilang perlunya pendidikan seks. Tetapi, kan ide-ide semacam itu, untuk memperkenalkan konsep-konsep kesehatan reproduksi, seksualitas itu ditentang. Tetapi, apakah itu membawa anda ke stage yang lebih baik? Kan, berarti cuma asal ribut aja, asal lagi ada isu ini kita bahas ini. Tetapi, it didn't change anything," ujarnya.

Pendidikan Seksual

Baby menambahkan, pendidikan seksual yang ia maksud bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga laki-laki.

"Salahnya kan di situ juga. Semua beban-beban kesehatan reproduksi ini dibebankan hanya ke yang punya vagina dan rahim karena dia yang bunting. Enggak begitu, itu si laki-lakinya disuruh bertanggung jawab dalam hal apa?" katanya.

Tujuannya untuk memberikan pengetahuan tentang seksualitas, dan pendidikan akan hak-hak tubuh mereka.

"Kan, enggak ada tanggung jawabnya. Enggak usah menghormati tubuh perempuan, bahwa tubuh perempuan itu juga punya martabat. Bercandanya anak laki-laki kita juga sexist," imbuhnya.

Menurut Baby, anak-anak cenderung tidak siap saat bercerita pengalaman seksualnya kepada orang tua, sebab tidak diberikan ruang untuk berdiskusi.

"Kan justru anak-anak itu dan terutama orang tuanya diberdayakan untuk tahu bahwa penting untuk mengetahui segala sesuatu itu secara proporsional. Ngobrol tentang seksualitas itu kan bukan ngomong tentang cara-cara ngeseks. Banyak hal kalau masih umur 2 tahun 3 tahun, ya, tentang pengenalan anggota tubuhlah," tutur Baby.

red
Ilustrasi pendidikan seksual sejak dini. Foto: Freepix-wokandapix


Peran Orang Tua

Kata dia, orang tua harus berperan sebagai sumber informasi yang aman dan memberi rasa nyaman pada anak-anak, sehingga anak tidak mencari jawaban dan pengalaman pada tempat yang salah.

"Nanti kalau dia udah agak gedean, misalnya udah SMP, mungkin sudah mulai mesti ngerti tentang menstruasi, tentang mimpi basah. Anak laki sama anak perempuan itu hampir selalu enggak bisa ngomong ke tokoh bapak. Bapaknya malu. Enggak punya informasi dan enggak mau belajar," jelasnya.

Baby berharap pendidikan seksual tak lagi menjadi hal yang ditentang, melainkan dibicarakan dan dipraktikkan secara sehat.

"Minimal enggak usah dimasifkanlah. Dibicarakan, didiskusikan dengan sehat saja gitu. Perkembangan tubuh kita, kebutuhan kita akan informasi-informasi terkait tubuh, tentang hak-hak kita. Menghargai tubuh sendiri dan menghargai tubuh orang lain," tuturnya.

PPDS

Sebelumnya, sejumlah orang terpelajar terlibat kekerasan seksual di berbagai daerah. Semisal, peserta Program Pendididikan Dokter Spesialis (PPDS) Priguna Anugerah Pratama atau PIP (31) yang diduga memerkosa keluarga pasien.

Modusnya adalah tranfusi darah, karena saat itu korban (FH) tengah menunggu ayahnya yang kritis dan dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. Korban lantas diarahkan ke ruang terpisah tanpa penjaga, dan dibius hingga tak sadarkan diri sebelum diperkosa.

Usai kejadian itu, Direktur Utama RSUP Hasan Sadikin, Rachim Dinata Marsidi, telah mengeluarkan Priguna Anugerah Pratama dari posisinya sebagai peserta PPDS. Lalu, pada 25 Maret 2025, Priguna ditangkap Polda Jawa Barat, dan ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan.

Kekerasan seksual tersebut direspons Kementerian Kesehatan dengan sejumlah keputusan, antaran lain akan memeriksa secara massal kesehatan semua peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di seluruh Indonesia. 

Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono menyebut tes dilakukan untuk memastikan para calon dokter dalam kondisi baik guna mencegah berulangnya kekerasan seksual.

"Ini akan dilakukan program penilaian MMPI khusus, nanti kita akan bekerja sama dengan kolegium pendidikan anestesi. Tadi, pencegahannya adalah melakukan tes MPPI, tes mental. Jadi, tidak hanya pintar, tetapi mereka juga sehat secara jasmani dan rohani supaya bisa melaksanakan tugas dokter yang mulia," ujar Dante kepada wartawan, Kamis, (10/4/2025).

red
Ilustrasi: Kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan. Foto: Freepik


Dosen

Lalu, dari kalangan akademisi, ada dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Edy Meiyanto yang dipecat lantaran terbukti melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswa Fakultas Farmasi.

Sekretaris UGM, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu mengatakan, kekerasan seksual diketahui setelah ada laporan ke Fakultas Farmasi, Juli 2024.

"Komite Pemeriksa melakukan pemeriksaan mulai dari meminta keterangan lebih lanjut dari para korban secara terpisah, melakukan pemeriksaan pada terlapor, para saksi, memeriksa bukti-bukti pendukung yang ada hingga tahap pemberian rekomendasi," ujar Andi, Senin, 7 April 2025.

Berdasarkan temuan, catatan, dan bukti-bukti pemeriksaan, Terlapor terbukti melakukan Tindakan Kekerasan Seksual yang melanggar Pasal 3 ayat (2) Huruf l Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023, dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023.

Terlapor juga terbukti telah melanggar kode etik dosen. Hasil putusan penjatuhan sanksi berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tentang Sanksi terhadap Dosen Fakultas Farmasi tertanggal 20 Januari 2025.

"Pimpinan Universitas Gadjah Mada juga sudah menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku," tegas Andi.

Usai kejadian itu, Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada Korban sesuai kebutuhan para korban.

Aparat

Kekerasan seksual juga dilakukan aparat dan penegak hukum. Antara lain bekas Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang belum lama ini dipecat atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Juru bicara Mabes Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, Fajar terbukti melanggar etik dalam kasus pencabulan anak di bawah umur dan mengonsumsi narkotika. Ia ditangkap 20 Februari 2025. Diduga Fajar merekamnya dan video itu dikirim ke situs porno luar negeri.

“Diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. Dengan putusan tersebut, kami perlu sampaikan informasi bahwasannya atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding, yang menjadi bagian daripada hak milik pelanggar,” katanya, Senin, (17/3/2025).

Aktivis perempuan dan anak asal NTT, Sarah Lery Mboeik mengatakan, ada tiga anak jadi korban kekerasan seksual Fajar Widyadharma. Sarah mendesak kapolri memecat dan memidanakan Fajar Widyadharma Lukman dan bersih-bersih di tubuh Polri.

red
AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (baju oranye) tersangka kekerasan seksual dan penggunaan narkoba. ANTARA FOTO: Fath Patra Mulya


Tak Ada Penjelasan Tunggal

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mencoba menganalisis fenomena kekerasan seksual oleh akademisi, tenaga medis, hingga aparat. Kata dia, ketimpangan relasi kuasa dan industri seks yang merajalela menjadi sejumlah alasan kekerasan ini terus berulang.

"Sayangnya tidak ada penjelasan tunggal dan sederhana terkait kenapa terjadi kekerasan seksual. Misalnya, kalau ditanya ke kalangan feminis, mereka pasti selalu saja mengatakan adanya pelaku, adanya korban, termasuk dalam konteks kekerasan seksual. Itu karena power asimetri, adanya relasi kuasa yang timpang," ujar Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel kepada KBR, Senin, (14/4/2025).

Tetapi menurut dia, penjelasan soal sudut pandang ketimpangan relasi kuasa bukanlah penjelasan tunggal dan faktor utama. Faktor lain yang juga memengaruhi adalah perspektif teori belajar sosial.

Teori belajar sosial adalah proses pembelajaran mulai dari pengamatan, proses kognitif, hingga imitasi atau peniruan. Teori ini dikembangkan psikolog asal Kanada, Albert Bandura. Metode ini memberikan pemahaman mendalam soal bagaimana seseorang memperoleh keterampilan, perilaku, dan pengetahuan melalui interaksi sosial.

"Barangkali misalnya karena industri seks sudah ada di mana-mana, tayangan seks sudah merajalela, maka orang-orang mengalami desensitisasi, penurunan kepekaan sekaligus penurunan rasa penghormatan terhadap nilai-nilai sakral seks. Itu teori belajar sosial. Ada lagi yang memakai sudut pandang evolusi," ujarnya.

Kesamaan Pola

Reza mengatakan terjadi kesamaan pola dalam serangkaian kasus kekerasan seksual yang dilakukan tokoh-tokoh yang memiliki kode etik profesi.

"Ada pelaku, ada korban, berlangsung di zona pemangsaan si pelaku, kemudian relatif butuh waktu yang cukup panjang bagi publik, bagi otoritas penegakan hukum, untuk tahu ternyata ada peristiwa semacam ini,"

Reza mengatakan relasi kuasa tersebut membuat anggapan yang kuat dapat melakukan segala upaya menekan pihak yang lemah. Sehingga, korban kekerasan seksual seringkali sulit untuk melapor.

Padahal kata dia, kekerasan seksual tergolong salah satu kasus atau tindak kejahatan yang paling sulit diungkap.

"Apa pun yang sudah coba dibenahi, apapun yang sudah coba diadakan guna memperkuat perempuan, tetapi lagi-lagi, imajinasi tentang relasi kuasa yang timpang itu menempatkan perempuan lagi-lagi sebagai pihak yang lemah, lagi-lagi sebagai pihak yang paling potensial menjadi korban, lagi-lagi, dan seterusnya," ujarnya.

Ada sejumlah alasan mengapa kekerasan seksual sulit diungkap, yakni otoritas penegakan hukum relatif lambat sehingga para saksi menghilang, barang bukti raib, dan korban mulai lupa karena pada dasarnya mereka tidak siap mengingat-ingat peristiwa traumatis yang mereka alami.

Reza mengatakan teori relasi kuasa terkadang membuat anggapan bahwa perempuan adalah korban dari laki-laki. Sehingga, secara tidak sadar menempatkan perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya.

"Itu yang saya agak kurang srek dengan penerapan teori atau cara pandang relasi kuasa yang timpang atau power asymmetry," kata Reza.

Empat Area

Reza mengatakan, ada empat area yang perlu dikelola secara simultan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Serta perlunya keterlibatan otoritas penegakan hukum.

"Kalau kita bicara preemtif, pihak-pihak selain otoritas penegakan hukum sesungguhnya punya porsi peran lebih besar. Kalau kita masuk ke preventif, kita mulai lihat bahwa boleh jadi peran antara otoritas penegakan hukum dengan pihak-pihak selain itu, termasuk masyarakat, jadi 50-50," imbuhnya.

Selain itu, Reza mengatakan aparat perlu secara serius dalam penegakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kata dia, sejak adanya UU tersebut, kekerasan seksual telah dikategorikan pidana berat sebagaimana dengan kasus-kasus yang menimpa anak dan terorisme.

"Kalau kita sudah bicara tentang represif, bisa dikatakan 100% ada di otoritas penegakan hukum. Kita pindah ke rehabilitatif, kembali lagi, peran dari pihak-pihak non-otoritas penegakan hukum jadi lebih dominan lagi," pungkasnya.

red
Ilustrasi: Aksi tolak kekerasan terhadap anak dan perempuan. Foto: ANTARA


Analisis Kementerian PPPA

Lain halnya analisis dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) soal tindakan akademisi, tenaga medis hingga aparat yang melakukan kekerasan seksual.

Deputi bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Amurwani Dwi Lestariningsih menduga, salah satu faktornya adalah kesehatan mental. 

"Seringkali mental health, ya. Mental health itu seringkali terjadi pada orang yang dengan pressure yang tinggi, itu pasti dia punya tekanan-tekanan. Sehingga kadangkala tekanan-tekanan itu juga menyebabkan perilaku-perilaku menyimpang. Itu yang kita belum tahu, ya, apakah mereka itu punya tekanan dan sebagainya," ujarnya kepada KBR, Senin, (21/4/2025).

Menurut Amur, bimbingan keluarga penting guna mengantisipasi kekerasan seksual. Anak-anak perlu diajarkan oleh orang tua tentang tubuh mereka, apalagi mengenai mana yang tidak boleh disentuh. Orang tua juga perlu waktu dan ilmu yang cukup sehingga dapat memberikan pemahaman yang benar pada anak.

"Pemberian knowledge ya, delivery knowledge kepada anak-anak usia muda itu menjadi penting. Seperti misalkan mana sih yang boleh, mana yang tidak. Dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itu sudah harus diajari. Mana yang boleh disentuh, mana yang tidak boleh disentuh," imbuhnya.

Internet

Amur juga mengatakan derasnya informasi di internet dapat jadi salah satu faktor pendukungnya.

"Oleh karena itu KPPPA juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi), untuk bagaimana membatasi konten-konten yang sekiranya kurang bermanfaat dan konten-konten yang bisa menimbulkan hal-hal yang negatif. Itu ditangani oleh Komdigi," ujarnya.

Amur mengatakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mendorong perguruan tinggi cepat menangani kasus kekerasan. Kendati demikian, penerapannya masih belum sesuai. Karena itu perlu advokasi lebih dalam ke masyakarat terkait keberadaan UU ini.

"Tetapi sekarang lebih bagus lagi karena di perguruan tinggi pun (kekerasan seksual) sudah cepat tertangani, kalau dulu kan tidak bisa, ya. Dengan adanya undang-undang (TPKS) ini, perguruan tinggi semakin bisa cepat bertindak meskipun masih perlu waktu. Tetapi setidaknya sudah ada kemajuan," ungkapnya.

Pendampingan

Sementara itu, dalam konteks penanganan para korban kekerasan seksual, Kementerian PPPA menyatakan bakal mendampingi mereka.

Langkah ini disampaikan Menteri PPPA, Arifah Choiri Fauzi menanggapi kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan di berbagai daerah belakangan ini. Semisal di Bandung, Garut, Malang, dan Jakarta.

"Kalau proses penanganan hukumnya itu bukan wilayah kami. Tetapi untuk korban, kami akan melakukan pendampingan kemudian penguatan secara psikologis agar si korban ini terlepas dari trauma dan lain sebagainya," katanya di Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Sabtu, (19/4/2025).

Menurut Menteri Arifah, butuh kolaborasi semua pihak untuk mencegah kekerasan seksual. Salah satunya adalah perguruan tinggi. Sebab, kasus pelecehan seksual ini juga tak menutup kemungkinan terjadi di lembaga pendidikan.

"Kami sudah coba inisiasi dengan Kemendikti, di mana kami ingin ketika ospek, mahasiswa itu harus mendapat materi tentang bahayanya kekerasan terhadap perempuan. Dan mahasiswa yang baru masuk harus punya komitmen. Jadi, semacam pakta integritas gitu, ya. Bila mereka melakukan tindakan itu, maka akan ada konsekuensinya," tegasnya.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!