NASIONAL
QRIS dan Kekhawatiran Amerika Serikat Kehilangan Dominasi Global
“Apabila negara-negara berkembang menggunakan transaksi QR code mata uang lokal, bakal menyebabkan AS kehilangan sebagian leverage-nya terhadap geopolitik dan perekonomian global,”

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyebut sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan dagang dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025.
- Pengguna QRIS pada triwulan pertama 2025 sudah mencapai 56,3 juta orang.
- Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Nauli Desdiani memandang pengembangan QRIS dan GPN bukanlah bentuk proteksionisme, melainkan upaya memperkuat kedaulatan keuangan digital.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
KBR, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyebut sistem pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai hambatan dagang dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025.
Menurut AS, Bank Indonesia (BI) tidak melibatkan perusahaan-perusahaan penyedia layanan pembayaran AS seperti Visa dan Mastercard ketika merumuskan kebijakan GPN yang efektif berlaku sejak 2018 itu.
"Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut (GPN) akan membatasi akses terhadap penggunaan layanan pembayaran elektronik asal AS,” kritik AS lewat laporan yang dirilis oleh United States Trade Representative (USTR) pada halaman 222.
Hidup Bersama QRIS
Sejak pemerintah Indonesia meluncurkan QRIS pada 2019, cara pembayaran ini relatif mendapat respon positif dari masyarakat. Kode digital ini menawarkan kemudahan transaksi antara pembeli dan penjual. Sehingga, pembeli tak perlu repot membawa banyak uang di dompet atau mencari anjungan tunai mandiri (ATM) hanya untuk tarik tunai.
Lima tahun QRIS berjalan, Bank Indonesia mencatat pengguna QRIS pada triwulan pertama 2025 sudah mencapai 56,3 juta orang.
Salah satunya adalah Nanda (25), laki-laki asal Bekasi ini setiap hari bertransaksi menggunakan QRIS, mulai dari berbelanja kebutuhan sehari-hari hingga membeli jajanan.
“Ibaratnya kalau ada 30 kali transaksi sebulan, setenganya itu pakai QRIS lah,” kata Nanda dihubungi KBR, Sabtu (26/4/2025).
Menurutnya, QRIS sangat memudahkan pembeli saat transaksi, ia tak perlu membawa uang tunai setiap kali mau jajan, bermodalkan aplikasi mobile banking, sudah bisa mendapatkan barang yang diinginkan.
“Gak perlu bawa uang ya, karena kan kadang uang itu kotor kalau pakai QRIS ya gampang. Kalau tarik uang di ATM bank sebelah kan kena biaya administrasi,” tuturnya.
Tak hanya dari sisi konsumen, manfaat kemudahan juga dirasakan oleh penjual.
“Dulu ada warung pecel lele di deket rumah, sempet sepi karena cuma bisa cash, susah kan anak muda penginnya pakai QRIS. Terus ku saranin untuk bikin QRIS atau nerima pembayaran Dana, awal tahun ini warungnya lebih ramai pembeli,” cerita Nanda.
QRIS Sebagai Inklusi Keuangan
Kehadiran QRIS memang bertujuan untuk membuat transaksi jadi mudah dan efisien, selain itu ada catatan digital yang bisa diakses oleh konsumen maupun penjual. Lebih dari itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan QRIS diciptakan dengan tujuan meningkatkan inklusi keuangan dan kesejahteraan masyarakat.
“Itu standar yang di-develop oleh industri dengan pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh BI dan menjadi kesepakatan sesuai kepentingan nasional,” jelas Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (23/4).
Perry juga menyebut sistem QRIS menggunakan menggunakan standar global European Master Visa yang ditambahkan pemograman kode atau coding bahasa Indonesia.
“QR Indonesia standard adalah standar versi Indonesia yang kita adopsi dari standar global,” kata Perry.
Saat ini, BI mencatat volume transaksi QRIS sudah mencapai 2,6 miliar dengan nominal transaksi Rp 262,1 triliun, dan pengguna yang berasal dari pedagang atau merchant saat ini sudah mencapai 38,1 juta.
Mengutip data Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030, dalam empat tahun, penggunaan QRIS diklaim telah mengakselerasi tingkat inklusi keuangan RI, dari 59,7 persen pada 2019 menjadi 88,7 persen pada 2024.
Baca Juga:
Amerika Protes Sertifikasi Halal, Indonesia Didesak Melawan

Kerja Sama QRIS Lintas Negara
QRIS tidak hanya berlaku dalam sistem pembayaran domestik, tetapi juga antar negara yang dikenal dengan QRIS Cross-Border. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang sudah bekerja sama antara lain Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sistem pembayarannya diintegrasikan dengan transaksi mata uang lokal (local currency transaction/LCT) supaya pembayaran lintas negara lebih cepat dan mudah.
Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam kesempatan yang sama dengan Perry, menyebutkan BI terus berupaya meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak negara.
“Dalam waktu dekat, kita akan segera dengan Jepang, India, Korea Selatan, dan juga nanti mungkin Tiongkok dan Saudi Arabia,” papar Filianingsih.
QRIS Bukan Bentuk Proteksionisme
Menanggapi kritik AS terhadap penggunaan QRIS, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Nauli Desdiani memandang pengembangan QRIS dan GPN bukanlah bentuk proteksionisme, melainkan upaya memperkuat kedaulatan keuangan digital.
“QRIS dirancang untuk mendukung inklusi keuangan dan efisiensi sistem pembayaran domestik, bukan untuk mendiskriminasi layanan asing,” kata Nauli.
Nauli menyoroti kritik AS ini merupakan kekhawatiran berkurangnya dominasi global. Sistem pembayaran QR code di masing-masing negara berkembang yang kini mulai saling terintegrasi bisa jadi membuat penggunaan mata uang asing seperti dolar AS tidak lagi relevan.
“Apabila negara-negara berkembang atau yang lain semakin masif menggunakan transaksi QR code dalam mata uang lokal, ini akan menyebabkan AS kehilangan sebagian leverage-nya terhadap geopolitik dan perekonomian global,” sebut Nauli.
Menurutnya, Amerika Serikat bisa turut ambil bagian dalam kerja sama mengadopsi QRIS, asal negara itu siap.
“Ke depannya, kerja sama dengan Amerika itu akan sangat mungkin dan ini tergantung dari kesiapan teknis dan regulasi dengan AS gimana, AS siap atau tidak,” ucap Nauli.
QRIS Harus Semakin Diperkuat
QRIS dapat memperkuat kedaulatan sistem pembayaran nasional dengan mengurangi ketergantungan pada platform asing.
Nauli mendorong Indonesia agar terus mengembangkan QRIS sambil tetap terbuka terhadap kerja sama internasional yang menguntungkan.
“Infrastruktur keuangan kita lebih kuat lagi terutama datanya, sehingga pemerintah bisa mengatur kebijakan moneter dan fiskal yang lebih efektif dan kita tidak terlalu bergantung pada infrastruktur keuangan asing yang dapat membawa risiko geopolitik dan ekonomi yang tidak stabil ke depannya,” pungkas Nauli.
Baca Juga:
Trump Kesal, Jual Beli Barang Bajakan di Mangga Dua
Perang Dagang AS-Cina Ancam Ekonomi Indonesia, Ini Kata Ekonom
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!