NASIONAL

Puluhan Napi Kabur di Aceh, ICJR Soroti Kepadatan Lapas

Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar lapas Indonesia sudah dalam kondisi yang akut ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai overcrowding,

AUTHOR / Siska Mutakin

EDITOR / Resky Novianto

Google News
lapas
Ilustrasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkap keprihatinannya atas kejadian kaburnya 50 narapidana dari Lapas Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.

Peneliti ICJR Bahaluddin Surya mengatakan kejadian ini terus berulang dan tidak ada langkah konkret dari pemerintah.

"Sehingga ICJR melihat bahwa masalah di lapas-lapas maupun rutan-rutan Indonesia ini sudah dalam situasi yang mengkhawatirkan. Masalah utama terkait kelebihan penghuni yang dialami sebagian besar lapas Indonesia sudah dalam kondisi yang akut ini akan menimbulkan krisis akibat kepadatan atau dikenal sebagai overcrowding," ucap Bahaluddin kepada KBR, Rabu (12/3/2025).

Bahaluddin menjelaskan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas lapas ini (overcrowding) mencapai 270 persen dan rasio petugas keamanan dan penghuni Lapas 3 berbanding 185 orang.

Dia menekankan overcrowding bukan hanya mempengaruhi aspek keamanan, tetapi juga meningkatkan potensi diskriminasi.

"Perlakuan terhaadap penghuni, termasuk ketidakmerataan dalam pemberian hak-hak dasar mereka, seperti hak atas makanan, kesehatan, dan perlakuan yang layak," tuturnya.

Baca juga:

- Puluhan Napi Kutacane Kabur jelang Buka Puasa

Bahaluddin menambahkan, dengan jumlah narapidana yang banyak tentu program pembinaan juga tidak akan berjalan efektif ketika petugas atau pihak-pihak yang akan memberikan pembinaan itu tidak sebanding dengan jumlah penghuni yang ada.

Dia menilai kebijakan amnesti yang diusulkan pemerintah sebagai solusi untuk mengatasi overcrowding dapat menjadi langkah jangka pendek yang baik. Namun, ia menekankan pentingnya kebijakan dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemberian amnesti.

Transparansi dan akuntabilitas tersebut tidak hanya sebatas mempublikasi jumlah terpidana yang berhak mendapatkan amnesti. Namun, perlu adanya kebijakan yang jelas terkait proses amnesti ini untuk memastikan pemberian yang adil bagi para terpidana, minimal diatur oleh Peraturan Menteri.

"Ini yang belum bisa terjawab dari data-data yang diberikan pemerintah sampai detik ini, ketika memang pertimbangannya adalah mengeluarkan narapidana yang memang tidak layak untuk dipenjara dan itu jumlahnya cukup besar," ujar Bahaluddin.

"Seperti pengguna narkotika gitu, itu mungkin akan efektif untuk kebijakan amnesti ini karena jumlahnya cukup besar," tambahnya.

Bahaluddin mendorong pemerintah agar mengefektifkan penggunaan pidana selain penjara, mengingat kritik terhadap pemenjaraan yang seringkali memutuskan ikatan pelaku tindak pidana dengan komunitasnya, sehingga menghambat reintegrasi narapidana ke masyarakat. 

"Hal ini selain membuat angka pemenjaraan semakin tinggi, juga menjadikan siklus kejahatan yang terus berulang, karena tak ada intervensi yang benar-benar menjamin adanya reintegrasi sosial," jelasnya.

Bahaluddin juga mendesak adanya reformasi kebijakan dalam Revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan mendekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi. 

"Revisi ini bertujuan agar pengguna dalam jumlah tertentu mendapatkan intervensi kesehatan oleh lembaga medis, bukan rehabilitasi berbasis hukuman," katanya.

Baca juga:

100 Hari Kerja Prabowo: YLBHI Beri Rapor Merah Sektor Hukum dan HAM

Bahaluddin mencatat kurangnya fasilitas dan sumber daya di lapas, serta jumlah petugas yang tidak memadai untk mengawasi penghuni yang begitu banyak. 

Itu sebab, dia mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lapas dan rutan untuk memastikan fasilitas yang da dapat mendukung pemasyarakatan yang lebih manusaiwi dan efektif

"Mengatasi overcrowding di lapas bukan sekadar mengatasi masalah kapasitas, tetapi juga memberikan reintegrasi dan dukungan yang memadai bagi para narapidana (warga binaan pemasyarakatan)," tegasnya.

Bahaluddin menuntut pemerintah untuk tidak hanya bergantung pada amnesti sebagai solusi jangka pendek, tetapi juga mengefektifkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan dan reformasi kebijakan pidana.

"Utamanya kebijakan narkotika guna mencegah semakin memburuknya situasi di lapas," pungkasnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!