NASIONAL
PPN 12 Persen, Perlambat Ekonomi dan Picu Pembangkangan Sipil
"Masyarakat yang ngerasa biaya-biaya semuanya makin mahal ya akhirnya lebih memilih beli seperlunya aja ke warung"

KBR, Jakarta– Sebagian masyarakat sipil terus mendesak pemerintah membatalkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen pada tahun 2025. Sebagai bentuk perlawanan, muncul gerakan yang mengimbau masyarakat melakukan langkah-langkah legal untuk menekan pemerintah.
Ini termasuk mengurangi konsumsi barang dan jasa yang dikenai PPN tinggi, membatasi transaksi digital, serta menghentikan penggunaan produk atau layanan dari BUMN.
Nisa Ul Ikhsani, warga Jakarta Timur, merupakan salah satu contoh masyarakat yang secara aktif memprotes kenaikan PPN 12 persen. Sebagai upaya untuk menolak kebijakan tersebut, Nisa mengubah kebiasaan belanjanya. Ia kini lebih sering berbelanja di warung-warung tradisional dan menghindari pembayaran non-tunai.
"Salah satu caranya tuh ya untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik. Semuanya kena efek dominonya gitu. Masyarakat yang ngerasa biaya-biaya semuanya makin mahal ya akhirnya lebih memilih beli seperlunya aja ke warung terdekat kayak gitu sih. Kayak termasuk gue, lagi ngehindarin banget buat belanja-belanja karena Emang kebutuhan di akhir tahun ini dan entah nanti setelah PPN naik 12 persen ini akan seperti apa. Udah kerasa banget kok kenaikannya," kata dia kepada KBR (23/12/24).
Sebagai pelaku UMKM, Nisa juga merasakan dampak kenaikan harga bahan baku sebelum kenaikan PPN. Ia khawatir kenaikan PPN akan semakin membebani para pedagang kecil seperti dirinya dan pada akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat.
Baca juga:
Nisa mendesak pemerintah untuk mengendalikan harga barang dan jasa yang semakin melambung. Selain itu, ia juga meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib UMKM yang terdampak oleh kebijakan ekonomi yang ada.
Salah satu komunitas yang turut menentang kenaikan PPN adalah Bareng Warga. Inisiator Bareng Warga, Risyad Azhary berharap langkah kolektif ini mampu menekan pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut.
Kata dia, dengan memaksimalkan layanan subsidi pemerintah, seperti transportasi publik dan listrik bersubsidi, masyarakat dapat mengoptimalkan hak mereka sekaligus menekan pendapatan negara dari sektor pajak.
Risyad mengatakan, tindakan kolektif ini diharapkan menjadi tekanan ekonomi yang cukup kuat untuk mendorong pemerintah mendengarkan aspirasi rakyat kecil dan menjaga kesejahteraan masyarakat luas.
Bareng Warga akan mengambil langkah hukum untuk melawan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Inisiator Bareng Warga, Risyad Azhary mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, berbagai aturan terkait kenaikan PPN.
"Selanjutnya mungkin dari tim hukum dan ekonomi ini sedang membuat draf untuk gugatan ke MK. Sedang dipersiapkan jika plannya akan dipaksakan ke 12 persen semuanya. Itu sedang digarap yang dimotori oleh YLBHI dan kawan LSM lain. Apalagi yang bisa dilakukan? ya itu mengurangi spending mau nggak mau itu cara kita biar bisa survive dan menggunakan transaksi via cash," ujar Risyad kepada KBR, Senin (23/12/2024).

Selain upaya hukum, Bareng Warga juga telah menyerahkan petisi daring yang telah diteken ratusan ribu publik melalui change.org ke pihak Istana. Saat ini, petisi menolak PPN 12 persen itu telah didukung lebih dari 170 ribu warga.
Inisiator Bareng Warga, Risyad Azhary menilai masih banyak masyarakat yang belum sadar efek berantai dari kenaikan PPN, akibat adanya upaya pemerintah menutupi barang dan jasa yang kena pajak 12 persen, sehingga membuat masyarakat bingung.
Pembangkangan Sipil
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan aksi protes masyarakat terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, seperti seruan frugal living dan pengurangan transaksi elektronik, berpotensi memperlambat perekonomian.
Ia juga memperingatkan kenaikan PPN ini bisa memicu pembangkangan sipil berupa keengganan masyarakat untuk melaporkan pajaknya.
"Memang, kalau kita lihat, mulai banyak masyarakat yang frugal living, berhemat, dan sebagainya, yang akhirnya membuat perekonomian kita melambat," ujar Nailul dalam wawancara dengan KBR, Senin (23/12/2024).
"Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga menurun atau melambat dibandingkan beberapa tahun terakhir," tambahnya.
Nailul menambahkan, selain memperlambat ekonomi, potensi pembangkangan sipil terhadap kewajiban pelaporan pajak, khususnya Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), juga semakin besar. Hal ini, menurutnya, terjadi karena kenaikan pajak tidak diiringi dengan peningkatan pelayanan pemerintah.
"Pajak semakin tinggi, tapi tidak ada perubahan dalam hal pelayanan pemerintah. Ini yang bisa memunculkan penolakan terhadap pelaporan pajak, terutama SPT tahunan," jelasnya.
Nailul juga menyoroti pentingnya peran masyarakat untuk terus menyuarakan penolakan terhadap kebijakan kenaikan PPN 12 persen agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakannya.
"Kita juga mendukung kalau misalkan ada pembangkangan sipil dengan tidak melapor SPT tahunan. Saya rasa itu cukup efektif untuk memberi pelajaran bagi pemerintah agar mendengarkan suara rakyat," katanya.
Menurut Nailul, masih ada peluang agar tarif PPN kembali diturunkan ke 11 persen pada tahun depan. Ia mendorong masyarakat untuk tetap konsisten menolak kebijakan yang dianggap merugikan banyak pihak ini.
"Jangan lelah untuk bersuara, jangan lelah untuk menolak kenaikan tarif PPN ini. Pemerintah harus sadar bahwa kebijakan yang diambil harus memiliki manfaat bagi orang banyak," pungkas Nailul.
Selengkapnya simak di podcast KBR Sore di KBRprime.id atau klik tautan berikut:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!