"Sesuai dengan tujuan kemanusiaan dan keadilan. Karena apa? Karena kita khawatir ya ada kira-kira duga-dugaan atau upaya conflict of interest di dalam pemerintah amnesti ini," ujar Isnur
Penulis: Astri Yuanasari, Heru Haetami, Resky Novianto
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai rencana pemberian amnesti untuk sekitar 44 ribu narapidana harus diawasi dengan seksama.
Ketua YLBHI Muhamad Isnur, mengatakan proses pemberian amnesti harus dilakukan dengan indikator yang jelas.
"Kemudian target tujuan yang kira-kira terukur gitu. Dan sesuai dengan tujuan kemanusiaan dan keadilan. Karena apa? Karena kita khawatir ya ada kira-kira duga-dugaan atau upaya conflict of interest di dalam pemerintah amnesti ini," ujar Isnur kepada KBR Media, Minggu, (15/12/2024).
Isnur menambahkan, seharusnya tidak hanya amnesti yang ditekankan dalam upaya pemberian atau penghukuman, tetapi juga menyelesaikan masalah di hulunya.
Misalnya, kata dia, pemerintah menghentikan upaya-upaya kriminalisasi atau pemidanaan terhadap orang yang menyampaikan ekspresi dan pendapatnya, penangkapan terhadap orang yang melakukan demonstrasi, serta menghentikan tindak kekerasan.
Selain itu, ujar Isnur, pemerintah segera merevisi dan/atau menghapus pasal-pasal yang selama ini menjadi pintu masuk untuk kriminalisasi.
"Beberapa pasal di undang-undang ITE, di KUHP misalnya juga ada pasal-pasal yang berbahaya. Itu semuanya harus direvisi segera, dihapus. Agar tidak ada peluang buat polisi melakukan penangkapan dan pemidanaan berkenaan undang-undang itu lagi."ucapnya.
Isnur juga mendorong adanya revisi Undang-Undang tentang Narkotika. Kata dia, aturan pemidanaan bagi pengguna narkotika hanya akan menambah jumlah tahanan.
"Harusnya, segera dibuat revisi atau perubahan dan penguatan bahwa pengguna tidak bisa dipidanakan. Harusnya direhabilitasi dan bangun segera pusat rehabilitasi secara maksimal di mana-mana. Dan hilangkan praktik-praktik upaya pemerasan atau upaya-upaya korupsi atau suap di sana." katanya.
Pernyataan ICJR
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyepakati segala langkah yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia, apalagi yang ditujukan untuk mengakhiri kriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi.
Deputi Direktur ICJR, Maidina Rahmawati menekankan proses pemberian amnesti tersebut harus dilakukan secara akuntabel dan transparan.
“Kami menyerukan proses ini harus dilakukan berbasis kebijakan yang bisa diakses publik untuk dinilai dan dikritisi. Teknis pemberian amnesti harus dirumuskan dalam Peraturan, minimal setara peraturan menteri untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR,”kata Maidina dalam keterangan tertulis ICJR yang diterima KBR Media, Minggu (15/12/2024).
“Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan Kesehatan,” imbuhnya.
ICJR, kata Maidina, juga mengkritisi rencana narapidana yang diamnesti untuk dijadikan tenaga swasembada pangan dan komponen cadangan. ICJR menyerukan bahwa rencana tersebut rentan bersifat eksploitatif.
“Jika narapidana tersebut diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan. Dan hal tersebut bahkan bisa dilakukan saat ini tanpa perlu mendasarkan hal tersebut dengan rencana amnesti,” tuturnya.
“Harusnya yang diperkuat soal ketersedian tenaga kerja adalah pembukaan lapangan kerja yang layak oleh pemerintah, dan pengarusutamaan penggunaan alternatif pemidanaan non penjara seperti pelatihan kerja yang sistemnya harus dibangun dengan komprehensif,” jelas ICJR.
Maidina juga menyoroti pemberian amnesti bagi narapidana pengguna narkotika, ICJR juga sudah menyuarakan hal tersebut sejak pemerintahan presiden sebelumnya bahwa pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi harus dikeluarkan dari pemenjaraan.
“Kami juga tidak menyepakati bahwa menghindarkan pemenjaraan bagi pengguna narkotika sama dengan memberlakukan rehabilitasi bagi mereka. Hal ini tidak tepat, karena tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi. Hanya 13% pengguna narkotika yang mengalami penggunaan bermasalah (UNODC, 2022),”ujar Maidina.
“Hanya 1 dari 9 pengguna narkotika mengalami permasalahan dalam penggunaannya yang membutuhkan rehabilitasi (UNODC, 2018). Jika pengguna narkotika dikeluarkan dari pemenjaraan namun seluruhnya diwajibkan rehabilitasi, maka hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke lembaga rehabilitasi,” jelasnya.
Maidina menjelaskan, untuk hal tersebut, ICJR menilai perubahan kebijakan yang harus didorong adalah Revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Yaitu dengan dekriminalisasi pengguna narkotika.
“Artinya adalah respon non penghukuman dan pidana bagi penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi. Pengguna narkotika dalam jumlah tertentu harus merupakan domain intervensi lembaga kesehatan bukan aparat penegak hukum,” ucapnya.
Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotika harus dilegitimasi dengan pengesahan revisi UU Narkotika yang memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika.
Selain itu, Maidina menambahkan, dengan adanya rencana amnesti untuk narapidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden dalam UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru juga harus dihapuskan.
“Spesifik untuk narapidana yang dikeluarkan dikarenakan sakit, maka pertimbangan tentang tindak pidananya harus dilakukan. Amnesti tidak serta merta dapat diberlakukan, karena lewat amnesti akibat hukum pidana menjadi dihapuskan,” terang Maidina.
“Jika narapidana yang melakukan tindak pidana umum tertentu yang memang adalah perbuatan pidana dengan korban teridentifikasi, maka yang lebih tepat diberlakukan terhadap narapidana tersebut adalah Grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana lewat amnesti,” tambahnya.
Selain itu, penguatan persiapan implementasi KUHP Baru yang meperkenalkan pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda sebagai alternatif non penjara harus dilakukan secara komprehensif.
Penilaian Pakar Hukum
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, terminologi amnesti seharusnya diterapkan kepada mereka yang melakukan tindak pidana secara politis, atau memiliki ideologi yang bertentangan dengan pemerintah.
Fickar menyebut, jika memang akan menggunakan terminologi "amnesti", maka yang harus diutamakan adalah mereka yang hukumannya ringan.
"Karena itu kemudian ketika digunakan alasan lain umpamanya efisiensi ya soal pengurangan tahanan di lembaga masyarakat dan sebagainya, maka ini harus diberi penjelasan. Penjelasan yang pertama adalah terhadap siapa saja yang akan diberikan amnesti ini ya. Karena pertimbangannya tidak ideologis ya, maka tentu saja amnesti ini harus diberikan pada mereka-mereka yang hukumannya ringan," kata Fickar kepada KBR Media, Minggu (15/12/2024).
Fickar menambahkan, persyaratan siapa saja yang bisa mendapatkan amnesti harus dilakukan secara transparan dan terbuka kepada masyarakat.
Meski begitu, dia menyebut, dalam keadaan normal, seharusnya pemerintah menggunakan pengampunan hukuman berupa grasi, bukan amnesti.
"Seharusnya kalau tidak ada alasan yang spesifik, yang mendasar ya maka saya kira lembaga grasi ini bisa digunakan. Artinya orang-orang yang akan di bebaskan secara formal harus mengajukan permohonan pembebasan, permohonan minta ampun dan minta grasi ke presiden. kemudian presiden secara berkelompok atau secara massal, bisa memutuskan siapa saja yang akan diberikan grasi,"jelasnya.
Baca juga:
- Prabowo akan Beri Amnesti Narapidana Penghinaan Presiden Hingga Kasus Papua
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, Presiden Prabowo Subianto akan memberikan amnesti atau pengampunan kepada sejumlah narapidana (napi), mulai dari pengguna narkotika hingga kasus terkait Papua.
"Presiden akan memberikan amnesti terhadap beberapa napi yang saat ini sementara kami lakukan asesmen bersama dengan Kementerian Imipas (Imigrasi dan Pemasyarakatan)," ujar Supratman saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Terdapat 4 kategori narapidana yang akan mendapatkan amnesti. Pertama, narapidana perkara tindak pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) tentang penghinaan kepada kepala negara; kedua, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa HIV/AIDS; ketiga narapidana kasus makar tidak bersenjata di Papua; keempat, pengguna narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.