Menteri PPPA: Insiden ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak atas pendidikan dan lingkungan yang aman.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Aksi intoleransi kembali mencoreng wajah kebhinekaan Indonesia. Rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang di Sumatra Barat diserang sekelompok warga pada Minggu, 27 Juli 2025, saat sedang berlangsung kegiatan doa dan pendidikan agama Kristen yang dihadiri sekitar 30 anak.
Dua anak mengalami luka, dan seluruh peserta mengalami trauma psikis yang mendalam. Berbagai kalangan mengecam insiden ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam melindungi hak dasar warganya.
Terdapat Korban Dibawah Umur
Yutiasa Fakho, kuasa hukum GKSI Anugerah Padang, menyampaikan bahwa laporan hukum telah dibuat dan proses penyidikan tengah berlangsung di Polresta Padang. Kata dia, sembilan orang telah diamankan, meskipun sebagian dilepas karena belum cukup bukti.
“Kami sudah buat dua laporan, pertama untuk pendeta Datchi, kedua untuk anak-anak yang jadi korban. Diduga pelaku lima orang yang cukup bukti, empat sudah dilepas. Proses hukum masih berjalan,” jelas Fakho dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (30/7/2025).
Fakho menggambarkan kondisi anak-anak sangat memprihatinkan. Sebab, mereka sempat mendapat perlakuan kasar dari para pelaku intoleran.
“Anak-anak mengalami pusing, penglihatan kabur, trauma berat. Salah satu anak masih sakit hingga hari ini. Kami sangat prihatin dan mendorong Dinas Sosial memberikan healing treatment,” ujarnya.
Ironi di Tengah Peningkatan Skor Toleransi
Peneliti Hukum dan Konstitusi dari SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah, menyebut insiden ini sebagai “catatan kritis” terhadap Kota Padang.
Pasalnya,“Kota Minang” baru saja mengalami peningkatan skor dalam Indeks Kota Toleran (IKT) dari peringkat ke-91 pada 2023 menjadi ke-72 pada 2024.
“Peristiwa ini rasanya menjadi catatan kritis juga bagi Kota Padang untuk berbenah. Ini mengindikasikan ada ekosistem toleransi yang belum sepenuhnya terbentuk di Kota Padang,” kata Insiyah dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (30/7/2025).
Ia menekankan bahwa pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam kasus ini saling berkelindan dengan hak atas rasa aman dan hak pendidikan, terutama karena korban adalah anak-anak, perempuan, dan kelompok minoritas.

Sorotan dari Parlemen: Proses Hukum Pelaku Perusakan dan Kekerasan
Anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga menegaskan pentingnya penegakan hukum, edukasi, perlindungan hak beragama, dan penguatan nilai kebhinekaan di Indonesia untuk mencegah terulangnya kasus perusakan rumah ibadah seperti yang terjadi di rumah doa GKSI di Kota Padang, Minggu (27/7).
"Kami mendukung proses hukum yang transparan dan adil agar kasus seperti ini tidak terulang di masa depan. Penegakan hukum harus menjadi fondasi utama dalam menangani tindakan intoleransi," kata Sabam dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (29/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Dia memberikan apresiasi kepada Polda Sumatra Barat yang telah bertindak cepat menangkap sembilan orang terduga pelaku perusakan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang di Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Minggu (27/7).
Menurut dia, Langkah tegas ini menunjukkan komitmen aparat penegak hukum dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi hak konstitusional warga negara untuk beribadah tanpa ancaman.
Tidak Ada Ruang Bagi Perilaku Intoleransi dan Kekerasan
Sabam yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Kerukunan Umat Pentakosta Indonesia (PERKUPI), menegaskan bahwa intoleransi dan kekerasan berbasis agama tidak boleh mendapat ruang di Indonesia.
"Kasus di Padang menjadi pengingat bahwa upaya sistematis diperlukan untuk mencegah diskriminasi. Negara kita dibangun di atas dasar Pancasila yang menjamin kebebasan beragama," kata legislator dari Dapil Sumut ini.
Menurut Sabam, setiap tindakan yang mengancam kerukunan umat beragama harus dilawan dengan tegas, baik melalui pendekatan hukum maupun edukasi masyarakat.
Sebagai anggota Komisi X yang membidangi pendidikan dan kebudayaan, Sabam menekankan pentingnya peran negara dalam memastikan hak-hak warga negara terlindungi, termasuk hak beribadah dan mendapatkan pendidikan agama yang layak.
"Rumah doa ini didirikan untuk memberikan pendidikan agama bagi anak-anak Kristen yang tidak mendapatkannya di sekolah. Negara harus hadir memastikan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, memiliki akses terhadap pendidikan agama sesuai keyakinannya," ujarnya.
Dorong Pemulihan Psikologis Korban Anak
Sabam juga mendorong langkah-langkah konkret, seperti pemulihan psikologis bagi korban, terutama anak-anak yang mengalami trauma, melalui program trauma healing bekerja sama dengan Dinas Sosial.
Kemudian peningkatan pengawasan oleh aparat keamanan terhadap potensi konflik antaragama di daerah rawan dan edukasi masyarakat melalui program moderasi beragama yang melibatkan tokoh lintas iman.
"Kami berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak bahwa keberagaman adalah anugerah yang harus dijaga bersama," tuturnya.

Menteri PPPA: Kejadian di Padang Langgar Hak Anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden perusakan rumah doa jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang yang mengakibatkan dua anak terluka.
"Kami sangat menyayangkan terjadinya insiden di Padang. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan, tanpa rasa takut atau ancaman. Insiden ini menyisakan trauma bagi anak-anak yang menjadi saksi terjadinya kekerasan," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Kamis (31/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, insiden ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak atas pendidikan dan lingkungan yang aman.
"Kekerasan dan tindakan intoleran seperti ini dapat menimbulkan luka psikologis yang mendalam dan berdampak panjang pada tumbuh kembang mereka. Anak-anak harus tumbuh dan belajar dalam suasana damai, bukan dalam ketakutan," ujar Arifah Fauzi.
Pentingnya Pendampingan dan Pemulihan Psikologis Korban
Pihaknya mengapresiasi langkah cepat Wali Kota Padang, Sumatra Barat yang telah menjamin akan mengawal proses pemulihan serta memberikan pendampingan psikologis korban.
Arifah menyampaikan pendampingan profesional sangat dibutuhkan untuk memastikan anak-anak dapat pulih dan kembali merasa aman.
"Kami mengapresiasi respons sigap dari Pemerintah Kota Padang yang menegaskan komitmennya untuk mengawal kegiatan pembinaan dan pendidikan agama di rumah doa itu agar dapat kembali berjalan aman dan menjamin pendampingan psikologis bagi anak-anak korban melalui dinas sosial,” jelasnya.
“Ini adalah contoh baik bagaimana pemerintah daerah harus hadir dan bertindak cepat dalam melindungi warganya, khususnya anak-anak," kata Menteri Arifatul Choiri Fauzi.

Menag Ingin Pastikan Kejadian Tak Berulang
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyatakan keprihatinannya atas insiden pembubaran kegiatan ibadah di rumah doa milik umat Kristen di Padang, Sumatra Barat.
Ia menegaskan pentingnya memastikan peristiwa serupa tidak terulang pada masa depan lewat berbagai langkah pencegahan.
"Saya akan mengutus tim kami ke Padang, saya berharap itulah peristiwa yang terakhir kejadian di Indonesia. Ini obsesi kami, kesalahpahaman dan sebagainya itu harus dihentikan," ujar Menag Nasaruddin Umar di Jakarta, Rabu (30/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Ia menyebut telah melakukan koordinasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Sumatra Barat (Sumbar) dan dalam waktu dekat akan mengirimkan tim untuk merespons langsung situasi di lapangan.
Imam Besar Masjid Istiqlal tersebut juga mengungkapkan kasus serupa yang sempat terjadi di Jawa Barat sebelumnya telah berhasil ditangani.
"Kami sudah berkomunikasi dengan Kanwil-nya, kami akan mengutus tim kami nanti ke sana untuk mencari solusi yang terbaik, saya mendengar itu sudah terkendalikan oleh kawan-kawan dan pihak aparat," kata Menag.
Kurikulum Cinta untuk Kikis Tindakan Intoleransi
Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, Kemenag memperkenalkan Kurikulum Cinta untuk diterapkan di lingkungan pendidikan. Gagasan ini bertujuan membangun budaya saling pengertian dan mengikis prasangka antar-kelompok masyarakat.
"Kementerian Agama punya falsafah sendiri, kalau seperti ini kejadiannya jangan-jangan nanti akan ada lagi. Maka itu kami selaku Menteri Agama mencari pendekatan lain dengan cara memperkenalkan Kurikulum Cinta," kata Menag Nasaruddin Umar.
Kurikulum cinta secara mendasar akan coba diimplementasikan untuk menghilangkan segala bentuk kecurigaan dan kesalahpahaman antara satu sama lain.

Negara Gagal Penuhi Hak Konstitusional
Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin, menilai insiden ini mencerminkan kegagalan negara dalam tiga hal mendasar.
“Negara gagal untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara, gagal memberikan hak pendidikan agama sesuai kepercayaan peserta didik, dan gagal melindungi warga negara untuk beribadah,” tegas Mukhlisin.
Mukhlisin menyebut bahwa kekerasan ini tidak hanya fisik, tetapi juga berbentuk kekerasan struktural dan kultural. Negara dianggap lalai menyediakan pendidikan agama sesuai agama yang dianut siswa, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
“Anak-anak dari kelompok minoritas sering kali mendapatkan intimidasi dan teror ketika menjalankan ibadah dan kepercayaan. Ironinya, kita bicara soal Indonesia Emas, tapi gagal menyediakan ruang aman untuk mereka,” imbuhnya.
Solusi: Pendidikan Inklusif dan Penegakan Hukum Tegas
Mukhlisin menegaskan bahwa diskriminasi hanya bisa diakhiri melalui dua pendekatan: struktural dan kultural.
“Pendidikan keagamaan harus berdasarkan prinsip inklusi dan keadilan. Pendidikan toleransi harus ditanamkan sejak dini, bukan hanya slogan,” jelasnya.
Ia juga mendesak pemerintah segera menyusun kebijakan pendidikan agama bagi kelompok minoritas, termasuk penempatan guru agama non-Islam di sekolah negeri.
“Ini adalah amanat UU Sisdiknas Pasal 4 ayat 1, pendidikan harus demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. Sayangnya, prinsip-prinsip ini sering hanya jadi jargon,” ujar Lisin.

Kecaman atas Dominasi Aktor Non-Negara dan Lemahnya Respon Pemerintah
Peneliti Hukum dan Konstitusi dari SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah menjelaskan sebagian besar pelanggaran KBB di Indonesia dilakukan oleh aktor non-negara. Berdasarkan data SETARA Institute, dari 402 pelanggaran sepanjang 2024, sebanyak 209 dilakukan oleh aktor non-negara dan 139 oleh aktor negara.
“Ini mengindikasikan ada PR besar di masyarakat. Dan pemerintah masih pasif menyikapi situasi ini. Kondisi KBB kita stagnan menuju regresi,” ujar Insiyah.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan tiga pilar ekosistem toleransi di tingkat daerah yaitu kepemimpinan politik, sosial, dan birokrasi. Respons awal dari wali kota dianggap positif, namun langkah konkret dan berkelanjutan masih dinanti.
Saran untuk Pemerintah dan Evaluasi Sistemik
Insiyah menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah memperkuat ruang-ruang perjumpaan antaridentitas serta meningkatkan literasi keberagaman di sekolah. Ia juga mengkritik lemahnya penegakan hukum terhadap kelompok intoleran.
“Minimnya ruang perjumpaan dan rendahnya literasi identitas adalah akar dari intoleransi. Pemerintah daerah harus aktif membangun ekosistem toleransi melalui program nyata, bukan hanya retorika,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Info Simpang Siur Berujung Perusakan Rumah Doa di Padang