indeks
Info Simpang Siur Berujung Perusakan Rumah Doa di Padang

Perusakan rumah doa di Kota Padang menelan korban anak-anak, aksi main hakim sendiri terjadi lantaran ada isu simpang siur di masyarakat soal fungsi rumah doa sebagai gereja.

Penulis: S. Taufiq

Editor: Valda Kustarini

Google News
Info Simpang Siur Berujung Perusakan Rumah Doa di Padang
Polisi bersenjata berjaga di rumah doa lokasi pengusiran dan penyeragan kegiatan rumah doa GSKI Padang. (Foto: S.Taufik)

KBR, Padang - Satu bulan usai menyandang Kota Toleransi, Kota Padang menggemparkan publik dengan aksi intoleransi. Penghargaan yang diberikan oleh Setara Institute itu mencoreng wajah kota itu dengan kasus penyerangan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah. Main hakim sendiri terjadi di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Penyerangan rumah doa tersebut berujung dua anak perempuan menjadi korban kekerasan, serta belasan anak lainnya mengalami trauma yang mendalam.

Pendirian Rumah Doa dan Tidak Adanya Pelajaran Agama di Sekolah

Sebelum menggelar kegiatan di rumah doa, sejak enam tahun lalu Pendeta Fatiaro Dachi sudah rutin berkegiatan di Kelurahan Padang Sarai. Ia mendatangi sejumlah rumah siswa Kristen untuk memberikan pendidikan agama. Hal tersebut ia lakukan agar para siswa mendapat nilai mata pelajaran agama, sebab sekolah negeri tempat mereka menimba ilmu tidak ada mata pelajaran agama Kristen.

Agar kegiatan terpusat di satu tempat, Pendeta Dachi berinisiatif untuk membangun rumah doa, fungsinya sebagai Lembaga pembinaan dan pendidikan anak-anak dan juga memberikan akses ke mereka yang sulit menjangkau gereja. Ia kemudian melapor ke Ketua Rukun Tangga (RT) dan Rukun Warga (RW) setempat terkait pembangunan, bahkan surat izin dari Kementerian Agama juga sudah ia kantongi terkait aktivitas tersebut.

Namun, Dachi mengaku belum menyerahkan surat izin tersebut kepada RT dan RW, ia merasa sudah cukup menyampaikan secara lisan lantaran saat itu disambut baik oleh RT dan RW.

"Saya akui lupa memberikan surat itu, karena menurut saya sudah cukup menyampaikan secara lisan kepada RT dan RW. Selama ini mereka juga tahu kalau ini rumah doa," ujarnya.

Saat awal berkegiatan satu tahun lalu, Ketua RW pernah memanggil Dachi lantaran ada laporan masyarakat terkait aktivitas di rumah tersebut.

Saat itu, ia kembali menjelaskan bangunan itu bukan gereja melainkan hanya rumah doa bagi anak-anak untuk mendapatkan nilai agama di sekolah.

"Pak RW tanya apakah betul ini gereja, Pak Pendeta? Saya jawab tidak. Kalau gereja tentu saya harus memenuhi izin dan ketentuan SK dua menteri. Ini hanya rumah doa," jelas Dachi.

Kegiatan rumah doa kemudian berjalan dengan aman dan tidak ada gangguan. Ketua Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Wilayah Sumatra Barat, Daniel Marapuang menegaskan kegiatan rumah doa memang berada di bawah naungan gereja. Namun, berbeda dengan gereja proses pembelajaran di rumah doa tidak rutin setiap minggu melainkan hanya saat ada jadwal belajar.

"Rumah doa ini untuk mendidik anak-anak kita yang di sekolah tidak ada guru agama kristen. Pemerintah kemudian memfasilitasi gereja agar membuat lembaga pembinaan agama agar anak-anak kristen tetap mendapat pelajaran dan nilai untuk pelajaran agama di sekolah," ujar Daniel.

red
Pendeta Fatiaro Dachi Penanggung Jawab Rumah Doa GKSI Padang. (Foto: S. Taufik)


Ancaman Sebelum Penyerangan

Sejak Sabtu malam (26/7), Ketua Organisasi Paguyuban Orang Nias Lubuk Alung , Amade Soruru (56) mulai was-was dengan rumor tentang rencana penggerebekan rumah doa GKSI Anugerah. Rumah yang berada di ujung gang kecil itu terdiri dari dua rumah petak berdempetan dengan satu teras yang terhubung.

Keesokan harinya, Minggu (27/7) sekitar pukul 15.00 WIB Amade sudah berada di rumah doa. Hari itu sekitar 30 anak mengikuti pendidikan keagamaan yang dipimpin oleh Pendeta Fatiaro Dachi beserta lima guru.

"Saya pikir ini cuman omon-omon bakal ada penyerangan, ternyata kejadian terjadi penyerangan," ujar Amade saat ditemui di lokasi kejadian, Senin (28/7/2025).

Amade menceritakan, sekitar pukul 16.00 WIB sejumlah massa berdatangan ke rumah doa, lalu terjadi keributan. Beberapa orang merangsek masuk ke teras yang dipagari papan kayu.

Berdasarkan video penyerangan yang beredar, massa merusak pagar kayu dan berkerumun di teras. Sejumlah orang kemudian memecahkan kaca jendela, merusak kursi plastik dan kipas angin yang ada di dalam ruangan.

"Anak-anak histeris dan ketakutan, para ibu-ibu juga ketakutan saat menyelamatkan anak-anaknya," kata Amade.

Hal senada juga disampaikan oleh Pendeta Dachi penanggung jawab rumah doa bahwa beredar rumor akan ada yang menyerang rumah doa tersebut. Namun ia tetap berprasangka jika itu sebatas rumor saja.

Saat proses pembelajaran baru dimulai pada Minggu sore, Ketua RT dan RW kemudian memanggil Pendeta Dachi untuk keluar dari rumah doa. Saat itu di luar sudah ada ramai oleh warga.

Dachi menyebutkan pihak RT dan RW meminta agar kegiatan di rumah doa sore itu dibubarkan. Namun ia menolak lantaran anak-anak sedang belajar agama.

Saat itu kata Dachi terdengar teriakan dari masa untuk membubarkan aktivitas rumah doa.

"Kalau tidak mau bubar, kami yang membubarkan," kata Dachi menirukan.

Tidak lama berselang keributan pecah, sejumlah orang masuk ke rumah doa dan melakukan perusakan. Anak-anak di dalam ruangan juga dihalau keluar dengan kekerasan.

red
Ketua Organisasi Orang Nias Lubuk Alung, Amade Soruru mengira penyerangan ke rumah doa hanya ancaman kosong. (Foto: S. Taufik)


Baca Juga:

Darurat Kebebasan Beragama: Pembubaran Ibadah Rumah Doa GKSI di Padang Masuk Tindakan Kriminal Intoleran


Dua Anak Jadi Korban Kekerasan

Akibat aksi tersebut dua anak perempuan mengalami luka serius. NM (13) mendapatkan luka memar di bagian punggung diduga bekas pukulan balok kayu. Selain itu, OV (9) mengalami bengkak di bagian kaki juga diduga akibat tendangan.

"Oknum ini harus diproses hukum karena korbannya anak-anak. Ada yang mengalami kekerasan ada yang trauma," kata Advokat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang serta Kuasa hukum korban Yutiasa Fakho.

Yutiasa menyayangkan tindakan anarkis itu sebab massa main hakim sendiri dengan merusak rumah doa. Padahal rumah doa tersebut telah lama berkegiatan di wilayah itu.

Padahal, ia menilai jika masyarakat keberatan dengan kegiatan tersebut, permasalahan izin atau administrasi terkait rumah ibadah bisa melapor ke pemerintah daerah.

"Bukan dengan main hakim sendiri dengan merusak rumah doa," katanya.

Ia menduga, aksi anarkis itu terjadi lantaran ada oknum yang memicu provokasi penyerangan di tengah masyarakat.

"Hubungan dengan warga selama ini baik-baik saja. Rumah doa juga sudah punya izin. Namun ada oknum yang memanfaatkan situasi ini," katanya.

Fukho mengaku belum bisa menjelaskan lebih banyak terkait kejadian tersebut karena belum memintai keterangan dari saksi lainnya. Termasuk terkait warga yang terprovokasi lantaran ada sebuah surat yang beredar yang mencantumkan rumah tersebut sebagai gereja.

"Saya belum dapat keterangan dari klien soal surat yang beredar itu, tapi kita serahkan kepada kepolisian untuk dikembangkan lebih lanjut. Intinya walaupun, misal ada yang kurang dalam administrasi bisa diproses ke lembaga terkait. Tidak main hakim sendiri," ujarnya.

red
Salah satu korban kekerasan anak dibawah umur dalam kasus perusakan rumah doa GKSI PAdang digendong oleh orang tuanya (Foto: S.Taufik)


Pemerintah Daerah: Miskomunikasi

Camat Koto Tangah Fizlan Setiawan menjelaskan, dugaan sementara dari aksi penyerangan dan perusakan tersebut karena beredar informasi bahwa rumah doa itu merupakan gereja.

Padahal kata Fizlan, tempat tersebut adalah rumah doa untuk anak-anak kristen mengikuti sekolah minggu, serta pendidikan keagamaan kristen yang tidak diperoleh di sekolah dasar.

"Jadi ini merupakan rumah doa, untuk anak-anak mengikuti pembelajaran agama. Dari kegiatan ini akan diberikan nilai oleh pendeta kepada sekolah sebagai nilai pelajaran agama," ujarnya.

Ia menyebut, warga serta RT kata Fizlan juga telah mengetahui tempat tersebut merupakan rumah doa bukan gereja.

"Apakah ini ada yang memprovokasi atau tidak, biarkan aparat kepolisian yang mendalami. Polisi juga sudah mengamankan beberapa orang terkait insiden ini," katanya.

Terpisah, Wali Kota Padang, Fadly Amran menyampaikan akan mengevaluasi cara komunikasi sejauh ini, agar insiden penyerangan tempat keagamaan tidak kembali terulang.

"Ini menjadi pelajaran penting bagi kita bersama. Kita tidak bisa pungkiri kasus yang sudah terjadi. Insiden ini melukai hati kita khususnya keluarga korban," kata Fadly.

Pemerintah Kota Padang akan menjamin aktivitas rumah doa GKSI untuk tetap berkegiatan kedepannya. Termasuk juga kata Fadly memberikan layanan trauma healing bagi anak-anak yang menjadi korban dari insiden tersebut.

Di sisi lain, Polda Sumbar telah meringkus sembilan orang dalam kasus penyerangan dan perusakan rumah doa tersebut. Mereka diduga sebagai pelaku yang melakukan perusakan dan kekerasan.

Wakapolda Sumbar Brigadir Jenderal Solihin mengatakan berdasarkan pengembangan kasus sementara beserta video perusakan rumah dao tersebut ada sembilan orang yang telah ditangkap untuk diperiksa lebih lanjut.

"Tentunya akan berkembang lagi. Sembilan orang ini sesuai dengan video yang ada. Berdasarkan bukti-bukti kami amankan semua,” katanya Senin (28/7).

Ia meminta masyarakat untuk tidak ikut terhasut dan terprovokasi pascakejadian ini. "Jangan gegabah, jangan mudah melakukan tindakan anarkis," ujarnya.

red
Kondisi salah satu ruangan rumah doa GKSI Padang yang dirusak oleh oknum. (Foto: S.Taufik)


Intoleransi Kembali Terjadi

Kasus penyerangan bukanlah yang pertama di Padang, kasus pengusiran kegiatan ibadah pernah terjadi Agustus 2023 lalu di Kelurahan Banuaran, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang. Saat itu sejumlah orang menghentikan jemaat Nasrani saat melakukan ibadah salah satu rumah kontrakan.

Kejadian tersebut juga viral di media sosial. Dalam video yang beredar, tampak sejumlah orang mengancam dan mendesak kegiatan ibadah untuk dihentikan. Bahkan seorang pria terlihat memegang sebuah golok di lokasi kejadian.

Jamaat mengaku telah meminta izin kepada pemilik rumah yang berdomisili di Pekanbaru bahwa akan mengadakan ibadah di sana. Mereka juga memberitahu ke ketua RT setempat terkait kegiatan tersebut, jemaat menyebut ibadah mereka juga sudah disetujui.

Advokat dari GKSI Yutiasa Fakho yang juga menjadi kuasa hukum korban jemaat nasrani di Lubuk Begalung menyesali insiden yang sama kembali terjadi. Hal ini juga yang mendasari ia untuk kembali menempuh jalur hukum agar ada efek jera kedepannya.

"Kita tempuh jalur hukum agar ada efek jera, sehingga tidak ada lagi terulang kasus pengusiran dan kekerasan seperti ini, agar tidak ada lagi oknum-oknum yang main hakim sendiri. Kita ini negara hukum," ujarnya.

Baca Juga:

Mengapa Gen Z Dijuluki Generasi Paling Toleran?

Rumah Doa
Kota Padang
intoleransi

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...