indeks
Peran Adat Istiadat di Tengah Maraknya Perkawinan Anak

Perkawinan anak terus terjadi karena ada tekanan sosial dan budaya ...

Penulis: Shafira Aurel

Editor: Sindu

Google News
Peran Adat Istiadat di Tengah Maraknya Perkawinan Anak
Ilustrasi: Perkawinan Anak di Indonesia. Foto: perplexity.ai

KBR, Jakarta- Fenomena perkawinan anak masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia hingga kini. Adat istiadat kerap menjadi salah satu dalih kuat untuk melangsungkan pernikahan anak.

Teranyar, sebuah video pernikahan anak antara siswa SMK dan siswi SMP di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), ramai di media sosial dan diperbincangkan publik.

Dalam video terlihat, RS (17) dan YMS (15) tengah melakukan proses acara Nyokolan atau tradisi arak-arakan pengantin khas Lombok, diiringi tarian dan musik tradisional.

Pada video tersebut, pengantin perempuan berjalan di tengah arak-arakan dan berusaha melepaskan tangannya dari perempuan dewasa yang menjadi pendampingnya. Dia juga berteriak-teriak memanggil ibunya.

Video ini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pasalnya, kedua pengantin masih anak-anak. Peristiwa ini juga membuka kembali perdebatan soal benturan antara nilai budaya dan perlindungan anak.

Prihatin

Merespons itu, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan mengakui, perkawinan anak masih marak terjadi di sejumlah daerah.

Veronica meminta semua pihak tidak menormalisasi pernikahan anak, meski dibalut adat istiadat. Sebab menurutnya, pernikahan anak bisa menjadi pintu penderitaan bagi masa depan mereka.

"Kami sangat prihatin atas masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya Merarik, khususnya di NTB yang termasuk daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia," ujar Veronica kepada KBR, Senin, (26/5/2025).

"Kami meminta seluruh pihak untuk tidak menormalisasi praktik perkawinan anak. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk menghentikan praktik ini demi perlindungan dan masa depan anak-anak Indonesia," lanjutnya.

Veronica menilai, perkawinan anak terus terjadi karena ada tekanan sosial dan budaya, yang menganggap itu sebagai solusi kemiskinan atau demi menjaga kehormatan keluarga.

"Realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan bagi anak-anak kita. Mereka belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini," katanya.

red
Peluncuran Panduan Praktis Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah. Foto: Kemenpppa.go.id


Komitmen Kemen PPPA

Sementara itu, Deputi bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengakui sulitnya mencegah terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Sebab, kentalnya tradisi dan adat di suatu daerah menjadi faktor yang sulit dipisahkan, dan kerap bertentangan dengan undang-undang.

"Peristiwa ini sungguh memprihatinkan. Anak-anak seharusnya masih mendapatkan hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sehat," ucap Pribudiarta kepada KBR, Senin malam, (26/5).

"Tradisi Merarik Kodek atau kawin culik masih menjadi salah satu faktor yang mendukung praktik pernikahan anak di NTB. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi juga berkontribusi terhadap tingginya angka pernikahan dini di wilayah ini," lanjutnya.

Meski demikian, Pribudiarta mengatakan, Kemen PPPA memiliki beberapa kebijakan untuk mencegah perkawinan anak. Pertama, yakni melalui Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA) yang mencakup lima strategi utama.

Kebijakan ini bertujuan melindungi hak anak dan memastikan anak-anak dapat mencapai potensi penuh mereka tanpa dipaksa menikah di usia dini.

Kedua, Kemen PPPA juga mendorong penguatan peran UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), serta tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mencegah perkawinan anak.

"Ketiga, Kemen PPPA terus berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Mahkamah Agung (Badilag) untuk mengawal proses dispensasi kawin dan memastikan hakim memiliki pemahaman yang kuat tentang Konvensi Hak Anak," ujar Pribudiarta kepada KBR.

Keempat, Kemenpppa mendorong sekolah ramah anak dengan memperkuat Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan.

"TPPK berperan penting dalam mendeteksi, merespons, dan menyelesaikan jika terdapat siswa yang melakukan pernikahan usia anak," jelasnya.

Stop Perkawinan Anak

Di lain pihak, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat meminta, pencegahan perkawinan anak terus ditingkatkan. Menurutnya, ini penting agar Indonesia bisa melahirkan generasi penerus berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.

"Di negeri yang memiliki keragaman budaya ini, upaya untuk mencegah perkawinan anak harus terus ditingkatkan dengan dukungan semua pihak terkait," ucap Lestari kepada wartawan, Senin, (26/5/2025).

Lestari mengatakan, langkah pencegahan perkawinan anak harus dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari edukasi dan sosialisasi tentang dampak negatif perkawinan dini, penguatan regulasi, pemberdayaan anak dan keluarga, serta penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan.

"Jadi, ini harus betul-betul saling bekerja sama. Jangan sampai kawin anak terus terjadi," imbuhnya.

Apa Alasan Perkawinan Anak Terjadi di Lombok?

Kedua keluarga mengklaim, pernikahan terjadi atas dasar persetujuan dan kesepakatan bersama.

"Iya, ini atas dasar kesepakatan. Daripada dibawa nikah lari. Saya sebagai orang tua berpikir kalau tidak saya nikahkan nanti mereka nekat nikah lari. Jadi, ya, saya nikahkan," ujar Muhdan ayah mempelai perempuan, dikutip dari TVOne, Senin, (26/5).

Muhdan juga menjelaskan acara Nyolokan sudah biasa dilakukan warga sekitar untuk melaksanakan pernikahan.

"Iya, itu adat kami, jadi tradisinya semacam itu untuk menikah. Di mana mempelai laki-laki yang mengunjungi pihak perempuan," imbuhnya.

red


Pemda Sempat Melarang

Kepala Dusun Petak Daye I, Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Syarifudin, meminta maaf atas kegaduhan yang muncul terkait viralnya video pernikahan anak di Lombok.

Dia mengaku, hal itu tak bisa dicegah lantaran termasuk tradisi dan warisan budaya turun temurun.

Dia mengaku, pemda bersama kepala desa telah berusaha memisahkan kedua pengantin. Pemisahan itu terjadi setelah pengantin pria melarikan pengantin perempuan, yang merupakan bagian dari tradisi Merariq. Namun, upaya pencegahan itu gagal dan pernikahan pun terjadi.

"Kita sudah berupaya semaksimal mungkin untuk memisahkan, tetapi keluarga perempuan tidak menerima karena sudah dibawa ke Sumbawa dua hari dua malam. Kita di Suku Sasak, lebih-lebih di bagian pedesaan, untuk perempuan yang dibawa ke luar, sanksinya memang harus nikah, karena ada tradisi memaling atau kawin culik," katanya.

Harus Diubah

Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi menyebut, tradisi pernikahan anak perlu diubah. Perubahan penting lantaran maraknya fenomena perkawinan anak dengan dalih tradisi atau adat di daerah tertentu.

"Ya, tradisi pernikahan dini harus diubah untuk kebaikan masa depan anak-anak. Pernikahan dini pada dasarnya diperbolehkan asal memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun tidak dianjurkan karena banyak hal negatif yang perlu dipertimbangkan dan UU yang berlaku di Indonesia," kata Gus Fahrur kepada wartawan, Selasa, (27/5/2025).

KPAI Desak Sanksi Tegas

Bagi Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI), perkawinan anak merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan. Karena itu, Komisioner KPAI, Ai Rahmayanti mendesak, ada sanksi tegas bagi pihak yang bertanggungjawab atas pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Ai menyebut , sanksi tegas ini menjadi penting agar memberikan efek jera bagi para pelaku.

"Jangan dibiarkan terus. Ini harus ada sanksi tegas kepada para pihak yang terlibat. Termasuk juga penghulu, loh. Karena hasil pengawasan kami yang memfasilitasi perkawinan anak ini adalah penghulu-penghulu desa ya," kata Ai melalui rilis yang diterima KBR, Senin, (26/5).

Ai Rahma menduga, pernikahan anak di Lombok melibatkan tokoh masyarakat atau imam desa yang bertugas sebagai penghulu. Pasalnya, ia menjelaskan, pernikahan di bawah umur tanpa dispensasi kawin biasanya dilakukan di bawah tangan atau secara siri.

Ai mengatakan, kesalahpahaman memaknai adat, menjadi faktor penyebab utama tingginya perkawinan anak di Lombok, NTB.

"Adat merariq atau tradisi kawin lari memang dipegang kuat oleh masyarakat Suku Sasak di NTB. Beberapa tokoh adat sebetulnya menyampaikan sanksi itu untuk orang tua, bukan untuk anak, karena yang memiliki tanggung jawab adalah orang tua," jelasnya.

"Namun, sebagian besar salah menafsirkan terkait nilai-nilai budaya bahwa yang disanksi ketika sudah ada tradisi Merariq, maka yang disanksi itu anaknya," imbuhnya.

Komisioner KPAI, Ai Rahmayanti juga mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meninjau ulang peraturan di setiap daerah yang mengatur tentang pencegahan pernikahan anak.

Orang Tua dan Penghulu Dilaporkan ke Polisi

Usai menuai polemik, Lembaga Perlindungan Anak atau LPA Mataram melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah. Pihak yang dilaporkan, yaitu orang tua dan penghulu.

Keduanya dilaporkan karena dinilai melakukan perbuatan melawan hukum.

"24 Mei kemarin kita dari Lembaga Anak Kota Mataram secara resmi telah melaporkan kasus perkawinan anak yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah di Polres Lombok Tengah. Jadi, kejadian perkawinan ini dimulai sebenarnya sejak bulan April, ya. Jadi bulan April 2025 itu sebenarnya sudah terjadi upaya untuk melakukan perkawinan anak," ucap Ketua LPA Mataram Joko Jumadi, dikutip dari Metro TV, Senin, (26/5).

Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi menegaskan, pernikahan anak dapat dipidana dengan ancaman hukuman 9 tahun.

Larangan perkawinan anak diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Aturan Perkawinan Anak

Secara hukum, Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur batas minimal laki-laki dan perempuan menikah adalah usia 19 tahun.

Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan UU No. 16 Pasal 7 ayat (2) tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA No. 5 Tahun 2019 mengenai dispensasi perkawinan.

Ini adalah sebuah kelonggaran hukum di mana orang tua bisa mengajukan permohonan kawin bagi anaknya yang belum mencapai usia 19 tahun dengan alasan mendesak dan bukti kuat. Namun, tak dirinci lebih jauh mengenai makna “mendesak”. Definisi itu diduga jadi celah terjadinya perkawinan anak.

Data Dispensasi Pernikahan Anak

Merujuk jumlah perkara yang terdaftar di pengadilan agama selama 2020-2025, dispensasi atau pengecualian usia kawin tercatat mencapai 263.862 (8%).

Dispensasi masuk lima jenis perkara terbanyak yang terdaftar di pengadilan agama selama lima tahun terakhir. Terbanyak pertama adalah cerai gugat, 1.797.495 perkara.

Dalam lima tahun, Ditjen Badilag Mahmakah Agung menyebut, pengadilan agama di seluruh Indonesia telah menerima 3.118.803 perkara. Rata-rata perkara yang masuk tiap tahun 623.760.

red
Tren Angka Perkawinan Anak di Indonesia-perplexity.ai


Adat Jadi Dalih

Di beberapa daerah, sebagian besar perkawinan anak dilakukan untuk menjalankan atau merawat adat istiadat di daerah tersebut.

- Madura

Madura adalah salah satu daerah yang masih kental budaya dan tradisi pernikahan dini. Banyak dari warga di sana terpaksa menikah muda karena tuntutan budaya.

Di Madura, pernikahan anak dianggap sebagai anjuran agama dan didukung pengaruh pemuka pendapat, sehingga tradisi ini masih sangat kental.

- Tana Toraja

Budaya di Tana Toraja mengharuskan anak perempuan yang sudah menstruasi dan laki-laki yang sudah bekerja untuk menikah, karena dianggap sudah dewasa. Jika tidak, maka dianggap sebagai aib keluarga.

- Lombok (Suku Sasak)

Tradisi pernikahan anak atau "kawin culik" (pernikahan paksa) masih kuat di kalangan Suku Sasak.

- Mesuji (Lampung)

Di Mesuji, Lampung, budaya "balada gubalan" atau pernikahan dini masih kental dan melekat dalam masyarakat.

Data Perkawinan Anak di Indonesia

Berdasarkan data UNICEF 2023,i terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah di bawah 18 tahun.

Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan anak terbanyak di dunia, setelah India, Bangladesh, dan Cina.

Sementara, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Pemuda Indonesia 2024, tercatat 21,49% pemuda menikah di bawah usia 18 tahun.

Kemudian, 18,55% pemuda memiliki usia kawin pertama pada kelompok umur 16-18 tahun, dan 2,39% memiliki usia kawin pertama di bawah 16 tahun.

Provinsi Terbanyak

Secara daerah, BPS mencatat ada lima provinsi yang paling banyak memiliki kasus perkawinan anak.

1. Nusa Tenggara Barat (NTB), ada 16,23 persen kasus pernikahan anak pada 2022.

2. Kalimantan Tengah, pada 2022, terdapat 14,72 persen anak perempuan di bawah 18 tahun yang telah menikah.

3. Gorontalo, pada 2022, angka pernikahan anak di sana naik menjadi 13,65 persen.

4. Kalimantan Barat, pada 2022, angka pernikahan anak 12,84 persen.

5.Sulawesi Tengah, pada 202, angka pernikahan anak 12,65 persen.

Pemerintah Klaim Perkawinan Anak Turun

Tahun lalu, pemerintah mengklaim, berhasil melampaui target penurunan perkawinan anak yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 8,74 persen pada 2024.

Baca juga:

Pernikahan Anak
Perkawinan Anak

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...