NASIONAL

DPR Susun RKUHAP, Disabilitas Merasa Tak Dianggap

PPDFI menyebut yang dilibatkan hanya dosen, profesor dan sebagainya yang memang tidak mengerti kebutuhan disabilitas.

AUTHOR / Siska Mutakin, Sindu

EDITOR / Sindu

Google News
DPR Susun RKUHAP, Disabilitas Merasa Tak Dianggap
Ilustrasi disabilitas. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI) kecewa karena merasa tak dilibatkan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPDFI, Mahmud Fasa menilai pemerintah dan DPR belum menunjukan kepedulian nyata terhadap kebutuhan hukum disabilitas, khususnya disabilitas intelektual.

Menurut Mahmud, meskipun secara usia sudah dewasa, disabilitas intelektual seringkali memiliki kemampuan berpikir dan bertindak seperti anak anak.

"Walaupun usianya 20 tahun, kan, bisa jadi kayak anak-anak, kan, sedangkan di dalam undang-undang, kan, anak-anak kan usianya 17 tahun ke bawah, ya. Kita inginnya kalau disabilitas mental itu walaupun usianya 25 tahun, kan, dia kayak anak-anak kelakuannya itu, loh. Jadi, kita minta pertimbangan untuk yang disabilitas intelektual itu dikelompokkan ke dalam anak-anak." kata Mahmud kepada KBR, Senin, (14/04/2025).

Mahmud mengungkapkan, mereka pernah mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung (MA) agar penyandang disabilitas intelektual bisa diperlakukan seperti anak-anak dalam proses hukum. Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan pertimbangan hukum diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

Mahmud juga menyoroti Pasal 137 ayat 1 di RKUHAP yang menyebut disabilitas berhak atas pelayanan dan sarana prasarana berdasarkan ragam disabilitas dalam setiap tingkat pemeriksaan.

Namun, hal itu selama proses hukum berlangsung masih belum layak, mulai dari akses fisik ke pengadilan, penyediaan penerjemah bahasa isyarat, hingga pendamping hukum yang memahami kebutuhan para penyandang disabilitas.

Tak Dilibatkan Juga dalam KUHP

Mahmud menegaskan, meski DPR mengklaim akan melindungi hak kelompok rentan termasuk disabilitas, tetapi nyatanya mereka tidak dilibatkan dalam tahapan regulasinya. Ia menyebut yang dilibatkan hanya dosen, profesor dan sebagainya yang memang tidak mengerti kebutuhan disabilitas.

Sebelumnya, kata dia, disabilitas juga tidak dilibatkan dalam perencanaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Alhasil, setelah undang-undang disahkan dan menimbulkan masalah dalam penerapannya, mereka baru bisa mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal itu tak perlu terjadi atau mungkin bisa dicegah jika mereka dilibatkan dari awal.

"Jadi, kami kan sudah punya prinsip bahwa jangan bicara kami tanpa kami, artinya yang ngerti kebutuhan kami itu hanya kami, bukan orang luar. Jadi, kalau pemerintah atau DPR mengatakan bahwa peduli dan perhatian kepada kelompok disabilitas, libatkan kelompok disabilitas dalam pembahasan undang-undangnya, baru kita nyatakan sebagai kepedulian," tegasnya.

red
Ilustrasi: Disabilitas memperingati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), Hari Hak Asasi Manusia dan Hari Disabilitas Internasional di pelataran Gedung DPRD DIY, Selasa, 10 Desember 2024. Foto: KBR/ Ken


Perlindungan Disabilitas di RKUHAP

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyoroti pentingnya peran DPR dalam memastikan perlindungan hak-hak kelompok rentan, seperti disabilitas di Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP.

Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menegaskan perlindungan tersebut tidak cukup hanya diatur secara normatif, tetapi harus disertai kejelasan mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban.

Menurutnya, ada tiga hal yang harus dimuat secara tegas dalam RUU KUHAP terkait perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Pertama, jaminan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi disabilitas dalam setiap tahapan proses peradilan.

"Karena selain sudah dijamin dalam konstitusi, sudah ada di Undang-Undang 8 2016 juga, sebenarnya saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah nomor 39 Tahun 2020 hanya yang dibutuhkan untuk perlindungan dalam konteks hukum acara pidana ini harus ada di undang-undang, dan KUHAP inilah tempatnya," kata Fajri kepada KBR, Kamis, 10 April 2025.

Fajri menilai ketentuan akomodasi yang layak dan aksesibilitas sebaiknya diatur langsung dalam KUHAP, bukan sekadar melalui peraturan pemerintah (PP). Tujuannya, agar jaminan hak lebih kuat dan jelas dalam hukum acara pidana.

Kedua, ia juga menyebut definisi saksi dalam KUHAP yang lama dinilai diskriminatif karena membatasi hanya pada mereka yang melihat, mendengar dan merasakan langsung. Padahal, putusan MK telah memperluas definisi saksi, dan sudah seharusnya diakomodasi dalam KUHAP, sehingga Indonesia ke depan memiliki satu dokumen yang bisa diajukan untuk hukum acara pidana.

"Dan yang ketiga adalah terkait penggunaan istilah. Di KUHAP itu masih ada yang menggunakan kata istilah cacat, lalu kemudian istilah-istilah lain yang sebenarnya diskriminatif. Nah, harusnya sudah digunakan kata disabilitas, misalkan disabilitas netral, disabilitas fisik," terangnya.

Fajri menegaskan, jika tiga ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka akan terus terjadi diskriminasi terhadap penyelenggaraan disabilitas dalam mengikuti proses hukum acara pidana.

Menurutnya, penyelenggaraan disabilitas memiliki hak mengikuti proses peradilan pidana yang baik, sehingga penyediaan akomodasi yang layak, kemudian nilai kesaksian yang setara dengan saksi lain itu harus dipastikan oleh undang-undang, sehingga kemudian hak yang sama akan diterima.

red
Tangkapan layar konferensi pers Komisi Hukum DPR tentang KUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025. Sumber: YouTube DPR RI


Klaim DPR

Sebelumnya, draf Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang disampaikan DPR akan mengatur sejumlah hal baru, antara lain soal perlindungan hak kelompok rentan.

Ketua Komisi Hukum DPR, Habiburokhman mengklaim, KUHAP baru akan semakin peka terhadap perlindungan kelompok rentan, serta mereduksi penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum. Aturan ini akan diatur di Bab VI mulai Pasal 134-Pasal 139.

"Kami membuat pengaturan di KUHAP baru ini soal hak-hak kelompok rentan, perempuan, difabel, kemudian orang lanjut usia. Ini kan akan ada kendala-kendala ketika menghadapi proses hukum, maka harus ada perhatian yang khusus, dan dilindungi hak-haknya," katanya saat konferensi pers di DPR, Kamis, 20 Maret 2025.

Dalam konferensi pers tersebut, DPR juga menunjukkan kode batang (QR Code) yang telah dicetak di atas kertas ke para jurnalis dan ke publik yang ingin mengunduh naskah RKUHAP.

Anggota Komisi Hukum DPR, Hinca Panjaitan mengklaim, penyampaian secara terbuka itu bagian dari memaknai partisipasi bermakna dalam pembahasan rancangan undang-undang.

"Karena itu, selain hari ini untuk kami sampaikan drafnya, semua publik bisa mengakses, kami atau paling tidak saya kembali ke dapil saya akan bertanya kepada masyarakat siapa pun dia tentang pengalamannya, yang pernah dialaminya," katanya di acara yang sama.

"Sehingga dengan demikian kita punya banyak lesson learn, pelajaran masa lalu yang kita coba dengarkan dan adopsi untuk melengkapi pikiran-pikiran yang sudah disiapkan oleh DPR RI, KUHAP ini sebagai usul inisiatif dari DPR, nanti baru pemerintah masuk baru kami bersama-sama," imbuhnya.

Kata dia, Komisi Hukum DPR akan kembali ke dapil masing-masing untuk menyerap dan mendengarkan aspirasi.

"Baik dari lingkungan kampus, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan masyarakat luas, terutama juga kelompok-kelompok aktivis dan pejuang-pejuang di masyarakat sipil untuk kita dengarkan masukannya, untuk kita lengkapi KUHAP kita ini," kata Hinca.

"Karena itu saya mengimbau, kami mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia, mari tumpahkan pikiranmu, kasih ide dan pikiranmu, agar KUHAP yang kita bahas bersama ini bisa memenuhi rasa keadilan kita semua," pungkasnya.

44 Tahun

Rancangan KUHAP yang kini disusun akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Beleid itu mengatur tata cara penegakan hukum pidana, mulai dari proses penyelesaian kasus pidana hingga penegakan hak untuk tersangka dan terdakwa.

DPR sudah memutuskan RUU KUHAP jadi rancangan undang-undang usul inisiatif parlemen. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, pada 18 Februari 2025.

Rancangan KUHAP masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi Hukum DPR. Komisi Hukum DPR mendesak RUU KUHAP mendesak segera dibahas. Alasannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.

RKUHAP ini akan menggantikan KUHAP lama yang sudah berusia 44 tahun. Revisi ditargetkan rampung Oktober tahun ini.

red
Ilustrasi: Spanduk tolak pengesahan RKUHP di Jakarta, Senin, 5 Desember 2022. Foto: Aliansi Nasional Reformasi KUHP


Beda KUHAP dan KUHP

KUHAP adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keduanya berperan penting dalam mengatur proses peradilan pidana dan tindak pidana, dan tak bisa dipisahkan.

Mengutip klikhukum.id, KUHP ialah aturan-aturan yang mengatur tentang perbuatan apa saja yang dianggap melanggar hukum, dan layak disanksi pidana. KUHP meliputi berbagai jenis tindak pidana mulai ringan hingga kejahatan berat. Di dalam KUHP juga dijelaskan jenis hukuman yang dapat dijatuhkan, semisal pidana penjara, denda, atau hukuman mati.

KUHP juga mengatur tingkat kesalahan, mulai dari kesengajaan hingga kelalaian. Aturan tingkat kesalahan ini penting lantaran hukuman yang diputuskan kerap kali bergantung niat pelaku dalam melakukan perbuatan pidana.

KUHAP

Sedangkan KUHAP adalah hukum pidana formil yang mengatur tata cara penegakan hukum dalam proses peradilan pidana. Mulai dar penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan sampai putusan, hingga upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

KUHAP berperan penting untuk menjamin keadilan, transparansi, dan perlindungan hak-hak semua pihak yang terlibat proses hukum. KUHAP berfungsi sebagai pelindung hak-hak semua pihak yang terlibat proses hukum, termasuk hak tersangka, terdakwa, serta hak perlindungan korban.

KUHAP mengatur hak-hak korban kejahatan, seperti hak untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus dan hak untuk perlakuan yang manusiawi selama proses hukum. Di sisi lain, KUHAP menjamin hak terdakwa dan tersangka untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang, serta hak untuk mendapatkan pembelaan.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!