NASIONAL
Pakar Hukum Soal Meme Prabowo-Jokowi Berciuman: Pasal Kesusilaan Keliru, Itu Kebebasan Berpendapat
“Itu adalah bagian dari kebebasan pendapat. Problemnya adalah tidak semuanya bisa menangkap metafora semacam ini sebagaimana pesan yang hendak disampaikan. Itu butuh kecerdasan,"

KBR, Jakarta- Seorang mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS dijerat Pasal Kesusilaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
SSS diduga mengunggah meme bergambar Presiden Prabowo Subianto dan Presiden RI ke-7, Joko Widodo tengah berciuman di media sosial “X”. Modifikasi foto yang diduga dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) tersebut viral.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, pengenaan pasal kesusilaan keliru dan tidak tepat sasaran.
Dia mengatakan meme tersebut adalah ekspresi kritik sosial dalam bentuk seni metaforis, bukan konten asusila sebagaimana dimaksud dalam pasal UU ITE.
“Itu adalah bagian dari kebebasan pendapat. Problemnya adalah tidak semuanya bisa menangkap metafora semacam ini sebagaimana pesan yang hendak disampaikan. Itu butuh kecerdasan. Jadi kalau kita lekatkan konteks di dalam metafora ciuman Prabowo dan Jokowi itu sebenarnya tidak ada soal-soal kesusilan di sana. Konteksnya adalah ada semacam keintiman antara Jokowi dan Prabowo yang tidak wajar. Kan itu pesan yang hendak disampaikan,” ujar Herdiansyah kepada KBR, Kamis (15/5/2025).
Herdiansyah menegaskan bahwa meme yang menunjukkan ‘ciuman’ antara dua tokoh nasional itu harus dipahami dalam konteks sindiran terhadap relasi kekuasaan yang dianggap terlalu intim dan tidak wajar, bukan sebagai pelanggaran moral atau norma kesusilaan.
“Kalau kita lihat, meme-meme semacam ini juga muncul di dunia internasional. Ada Trump dan Putin, Trump dan Xi Jinping, bahkan pemimpin Soviet dan Jerman Timur. Itu semua simbol kritik politik,” jelasnya.

Herdiansyah menyayangkan aparat penegak hukum yang menurutnya gagal memahami konteks kritik dalam ekspresi seni. Menurutnya, mahasiswa seni rupa seperti SSS justru sedang menggunakan cara kreatif untuk menyampaikan kegelisahan politiknya, yang dilindungi oleh konstitusi.
“Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa kritik terhadap pejabat, lembaga, atau profesi adalah sah dan dilindungi. Kalau kritik lewat meme saja bisa dipidana, itu preseden buruk bagi demokrasi,” tegasnya.
SSS diketahui merupakan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). SSS sempat ditahan dan kemudian dibebaskan pada 11 Mei 2025. Namun proses hukum terhadapnya masih berjalan.
Herdiansyah menilai pembebasan tersebut belum cukup. Ia mendesak agar seluruh tuduhan dicabut dan kasus dihentikan secara penuh.
“Kalau masih dipaksakan, ini bukan hanya kriminalisasi, tapi juga alarm bagi kita semua bahwa ruang berekspresi makin sempit. Ini ancaman serius terhadap masa depan demokrasi,” tegasnya.
Perangkat Hukum Bermasalah
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, menilai kasus ini mencerminkan lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap prinsip hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan berekspresi.
“Ini seperti lingkaran setan. Perangkat hukumnya bermasalah, aparatnya pun tidak memahami prinsip keadilan dalam penegakan hukum,” kata Nenden kepada KBR, Rabu (14/5/2025).
Menurutnya, penggunaan Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan dan Pasal 35 tentang manipulasi dokumen elektronik dalam UU ITE terhadap kasus meme tersebut merupakan bentuk penerapan hukum yang serampangan.
Nenden menyebut istilah “kesusilaan” dalam UU ITE sangat kabur dan seringkali disalahgunakan untuk membungkam ekspresi yang sah, termasuk dalam bentuk satire.
“Meme itu tidak menunjukkan ketelanjangan atau aktivitas seksual, jadi tidak tepat dikenakan Pasal 27 ayat 1. Apalagi Pasal 35, yang seharusnya dipakai untuk kasus manipulasi dokumen seperti KTP atau ijazah palsu,” jelasnya.
Kasus ini menjadi salah satu contoh kriminalisasi ekspresi digital yang terus berulang.
Sebelumnya, aktivis lingkungan Daniel Fritz Tangkilisan juga pernah dijerat UU ITE karena mengkritik proyek tambak melalui media sosial. Meskipun Daniel akhirnya dibebaskan oleh pengadilan, proses hukumnya menandakan pola represif yang sama.

Nenden menilai revisi UU ITE dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu belum cukup melindungi kebebasan berekspresi. Pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE masih menjadi celah untuk membungkam suara kritis warga.
“Selama pasal-pasal karet itu belum dicabut total, represi akan tetap terjadi. Yang dibutuhkan adalah reformasi hukum menyeluruh, bukan tambal sulam,” tegasnya.
SAFEnet mendesak agar negara tidak hanya memperbaiki undang-undang, tetapi juga membangun kapasitas aparat penegak hukum agar memahami konteks dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
SSS Masih Berstatus Tersangka
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, membenarkan bahwa mahasiswi berinisial SSS telah ditangkap dan tengah diproses oleh penyidik Bareskrim Polri.
Tersangka SSS disebut melanggar UU ITE Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) terkait penyiaran informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 terkait manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Terkait jeratan pasal-pasal tersebut, SSS terancam hukuman penjara hingga 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp12 miliar.
Namun, pada Minggu (11/5/2025), Bareskrim Polri resmi menangguhkan penahanan SSS atas dasar kemanusiaan dan permohonan dari pihak keluarga, kuasa hukum, dan kampus ITB. Penangguhan dilakukan agar yang bersangkutan dapat melanjutkan perkuliahan.
Tanggapan Istana
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengatakan bahwa aparat seharusnya lebih mengedepankan pembinaan ketimbang penghukuman dalam kasus ini.
Hasan menyebut Presiden Prabowo tidak akan melakukan pelaporan, dan menganggap tindakan mahasiswi tersebut sebagai bagian dari semangat muda yang berlebihan.
“Kalau anak muda, ya mungkin semangatnya berlebihan. Lebih baik dibina, bukan dihukum. Apalagi ini dalam konteks demokrasi,” kata Hasan kepada wartawan dikutip dari ANTARA, Sabtu (10/5/2025).

Hasan menyebut bahwa sang mahasiswi masih sangat muda dan mungkin terlalu bersemangat dalam menyampaikan kritik. Menurutnya, dalam konteks demokrasi, ekspresi kritik seharusnya disikapi dengan pemahaman dan pembinaan agar bisa diperbaiki, bukan dengan hukuman.
Namun, jika ada aspek hukum yang dilanggar, hal itu menjadi wewenang penegak hukum.
"Kecuali ada soal hukumnya. Kalau soal hukumnya kita serahkan saja itu kepada penegak hukum. Tapi kalau karena pendapat, karena ekspresi, itu sebaiknya diberi pemahaman dan pembinaan saja, bukan dihukum," ucap dia.
Hasan menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak melaporkan terkait hal tersebut. Presiden, kata dia, justru terus mendorong persatuan dan merangkul seluruh pihak agar bangsa dapat bergerak maju.
Namun, Hasan tetap menyayangkan adanya ekspresi yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi mengandung penghinaan atau kebencian.
"Kalau menyayangkan tentu, karena ruang ekspresi itu kan harus diisi dengan hal-hal yang bertanggung jawab. Bukan dengan hal-hal yang menjurus kepada mungkin penghinaan atau kebencian,” tutur Hasan.
“Tapi tetap saja, kalau Bapak Presiden sampai hari ini kan tidak pernah melaporkan. Tidak pernah melaporkan pemberitaan, tidak pernah melaporkan ekspresi-ekspresi yang menyudutkan beliau," pungkasnya.
Baca juga:
- Polisi Didesak Hentikan Kasus Mahasiswi ITB Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Berciuman, Alasannya?
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!