NASIONAL

No Viral No Justice, Wujud Kegagalan Reformasi Polri

Waktu 25 tahun reformasi sudah cukup untuk melakukan langkah dan evaluasi di kepolisian. Faktanya semakin menjauh dari harapan reformasi.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Wahyu Setiawan

Google News
No Viral No Justice, Wujud Kegagalan Reformasi Polri
Kapolri Listyo Sigit Prabowo memberikan keterangan pers terkait penetapan tersangka tragedi Kanjuruhan di Mapolresta Malang, Kamis (6/10/2022). ANTARA/Fajar Ali

KBR, Jakarta - Kepolisian Indonesia (Polri) dikritik lamban dalam menangani sejumlah kasus. Selain itu, polisi dituding baru gerak cepat setelah kasus itu ramai diperbincangkan atau viral.

Kritik tersebut datang dari Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Golkar, yang juga bekas anggota Polri, Rikwanto. Ia mencontohkan kasus penganiayaan anak pengusaha toko roti terhadap karyawannya yang ditangani Polres Jakarta Timur.

"Kenapa kasus yang dalam tanda petik sesederhana itu seperti lukanya ada, saksinya ada, barang buktinya ada kemudian TKP-nya juga ada, lengkap dan sebagainya termasuk videonya juga ada kok sampai dua bulan. Saya tadi melihat penyelidikannya hampir satu bulan terus penangkapannya hampir satu bulan juga, itu pun setelah viral," kritik
Rikwanto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR RI, Selasa (17/12/2024).

Sorotan juga datang dari Anggota Komisi Hukum DPR lainnya, Rudy Lallo. Kata dia, polisi cenderung mengabaikan laporan kasus, terutama dari kalangan marjinal. Menurutnya, hal itu sangat merugikan citra dan menurunkan kepercayaan publik terhadap Polri.

"Kalau laporan masyarakat ini dari kaum marjinal, ini kita prihatin pimpinan. Kalau dia mentang-mentang miskin, orang kecil, kaum pekerja kemudian laporannya di abaikan. Sering kali begitu. Sehingga ini mencoreng kepercayaan terhadap Polri," ujar Lallo.

Rudy Lallo lantas menyinggung jargon Polri yakni Presisi, yang ternyata tak sesuai dengan praktik di lapangan. Dia menilai reformasi kepolisian oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo tak mendapat dukungan penuh dari bawahannya.

Kasus dugaan penganiayaan anak pengusaha roti di Jakarta Timur, terhadap karyawan terjadi Oktober lalu. Namun, kasus itu baru diproses polisi setelah viral di media sosial.

Korban berinisial D mengaku kesulitan mencari keadilan. Laporannya ditolak Kepolisian Rawamangun dan Kepolisian Cakung.

"Abis kejadian itu langsung ngelapor ke Polsek Cakung eh Rawamangun dulu. Tapi itu memang nggak bisa menangani. Akhirnya dirujuk ke Cakung juga tidak bisa menangani. Mungkin TKP-nya, akhirnya saya disuruh ke Polres Jatinegara, Jakarta Timur," ujar D pada RDP di Komisi III DPR RI, Selasa (17/12/2024).

Korban mengaku ditipu pengacara yang mengaku dari LBH, namun ternyata orang suruhan keluarga pelaku. Pengacara itu menghilang setelah menerima uang dari korban.

Kepolisian kini telah menangkap anak pengusaha toko roti di Jakarta Timur, berinisial GSH. Penangkapan baru dilakukan pertengahan Desember. Padahal, peristiwa kekerasan terjadi hampir dua bulan lalu.

Kapolres Jakarta Timur Nicolas Ary Lilipaly berdalih, gelar perkara dugaan penganiayaan sudah dilakukan sejak November 2024. Namun, butuh waktu untuk mengumpulkan dua alat bukti untuk menahan pelaku.

Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim, persepsi publik yang menilai Polri seringkali lamban menangani aduan masyarakat, muncul lantaran kurangnya transparansi dalam proses penanganan laporan.

"Tidak adanya atau belum adanya informasi kepada pelapor. Bagaimana prosesnya yang sedang berjalan sampai mana. Biasanya kalau pelapor itu diberikan informasi yang disebut SP2HP surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan secara berkala diminta ataupun tidak diminta, itu akan memberikan informasi bagaimana prosesnya. Nah itu apabila tidak, ya wajar kalau masyarakat yang melapor itu mengesankan lamban. Akibatnya tidak punya kepercayaan yang kemudian diviralkan," kata dia kepada KBR (18/12/24).

Yusuf menambahkan, kurangnya informasi mengenai perkembangan kasus membuat masyarakat merasa tidak yakin laporan mereka ditangani serius. Akibatnya, banyak yang memilih menyebarkan informasi melalui media sosial agar kasusnya mendapat perhatian.

Karena itu, dibutuhkan kemauan politik atau political will dari Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Polri yang profesional.

Menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, anggapan "no viral no justice" yang marak di masyarakat adalah cermin kegagalan reformasi Polri.

"Waktu 25 tahun reformasi sudah cukup untuk melakukan langkah dan evaluasi di kepolisian. Faktanya semakin menjauh dari harapan reformasi. Harus ada political will seperti dari presiden. Sehingga reformasi kelembagaan dll, itu benar-benar terbenahkan. Kontrol dan pengawasan itu dilakukan oleh internal dan eksternal. tetapi faktanya, sejauh ini pengawasan sangat tidak efektif, terlihat masih banyaknya laporan dari masyarakat. pengawasan eksternal kita belum memiliki kewenangan seperti Kompolnas yang tidak diberikan wewenang yang kuat. Cenderungnya malah jadi juru bicara kepolisian," kata Bambang kepada KBR, Rabu (18/12/2024).

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!