NASIONAL

Menyoroti Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi masih terjadi, meski pada November 2021 Kemendikbudristek sudah mengeluarkan peraturan menteri untuk mencegahnya.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

kekerasan seksual
Ilustrasi. (Foto: ANTARA/Didik Suhartono)

KBR, Jakarta - Pada Juli lalu, kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Banten memecat seorang mahasiswa yang menjadi pelaku kekerasan seksual. 

Kasus itu kini bergulir ke pengadilan, dimana tersangka pelaku diancam hukuman enam tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah.

Kekerasan seksual juga terjadi di Universitas Andalas Padang Sumatera Barat. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual dengan korban 12 mahasiswa.

Sekretaris Universitas Andalas, Henmaidi mengatakan berdasarkan pemeriksaan Satuan Tugas Pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS kampus, pelaku mengakui perbuatannya.

"Kedua terlapor telah mengakui perbuatannya, oleh karena itu satgas telah mengirimkan surat kepada rektor Universitas Andalas untuk melakukan penonaktifan kepada para pelaku," kata Henmaidi dikutip dari Youtube Official iNews, Rabu (1/3/2023).

Kampus Universitas Andalas lantas memecat dua pelaku itu.

Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi masih terjadi, meski pada November 2021 atau dua tahun lalu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah menerbitkan peraturan menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengatakan aturan itu dibuat karena maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

“Kita menanyakan dosen-dosen kita apakah kekerasan seksual pernah terjadi di kampus Anda dan 77 persen merespons ‘iya, kekerasan seksual pernah terjadi di kampus kita’ dan 63 persen dari kasus-kasus tersebut tidak dilaporkan kasusnya jadi kita ini dalam fenomena gunung es yang kalau kita garuk-garuk sedikit saja, fenomena kekerasan seksual ini sudah ada di semua kampus dan itulah alasannya kita harus mengambil posisi sebagai pemerintah mesti melindungi,” kata Nadiem dalam acara “Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual” dipantau dari Youtube Kemendikbud RI, Jumat (21/11/2021).

Baca juga:


Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi itu mewajibkan pimpinan kampus untuk membentuk Satgas PPKS.

Tenaga Ahli Staf Khusus Mendikbud Ristek, Paula Selpianti Litha Pasau mengatakan salah satu tugas Satgas PPKS adalah menidaklanjuti kekerasan seksual berdasarkan laporan.

“Lalu wewenang dari seorang satgas tentunya melakukan berbagai tindakan baik dengan pihak internal maupun eksternal kampus untuk memastikan penanganan yang baik lalu kode etik tentu menjaga kerahasiaan lalu batasan-batasannya itu harus sesuai dengan peraturan atau regulasi yang berlaku dan hak dari satgas sendiri adalah dia harus mendapatkan juga kalau membantu menangani kasus berat biasanya satgas juga mengalami trauma, jadi berhak juga seorang satgas mendapat pemulihan dan perlindungan,” ucap Paula dalam acara “Studium Generale KU 4078” dipantau lewat Youtube Institut Teknologi Bandung, Rabu (25/1/2023).

Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, sebanyak 27 persen kasus kekerasan seksual yang terjadi dari 2015 hingga 2020 ada di lingkungan perguruan tinggi.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto memandang kekerasan seksual tidak lagi sekadar kejahatan kesusilaan. Sulis menyebut kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan. Ia mengatakan dalam sejumlah kasus, kekerasan seksual bisa berujung kematian serta menimbulkan trauma mendalam pada korban.

“Banyak korban kekerasan seksual yang kehilangan nyawa, peristiwa-peristiwa Mei 98’, 65’, pokoknya konflik sosial, konflik bersenjata bahkan di dunia ya itu juga pasti tidak hanya melakukan kejahatan seksual tapi menghilangkan nyawa korban, juga bisa cacat dan trauma seumur hidup yang tak bisa disembuhkan,” jelas Sulis dalam “Studium Generale KU 4078” dipantau lewat Youtube Institut Teknologi Bandung, Rabu (30/8/2023).

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto menambahkan kekerasal seksual juga sulit terungkap karena kerap kali korban takut melapor. Hal ini dipengaruhi relasi kuasa dimana pelaku biasanya orang yang lebih berkuasa dibanding korban.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!