NASIONAL

Menilik Dampak Penerapan BPJS Tanpa Kelas

Penerapan Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS belakangan ramai menjadi pembahasan publik, pasalnya penerapan kelas BPJS kini dihapuskan.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Agus Lukman

Menilik Dampak Penerapan BPJS Tanpa Kelas
Petugas melayani warga di Kantor BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2024). (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho)

KBR, Jakarta - Kementerian Kesehatan mulai menerapkan layanan Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS bagi peserta BPJS Kesehatan.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan untuk tahun ini, ditargetkan ada 2.400-an rumah sakit yang mendapat fasilitas KRIS. Hingga akhir April lalu, realisasinya baru sekitar seribu rumah sakit.

"Nanti di Juni 2025 itu akan kita realisasikan 3.057 Rumah Sakit. Dengan catatan juga dengan Kep Dirjen itu mengatakan rumah sakit pemerintah itu diharapkan minimal 60 persen itu harus KRIS sedangkan Rumah Sakit Swasta itu itu 40 persen," ujar Syahril dalam Konferensi Pers Terkait Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024, Rabu (15/5/2024).

Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Dirjen Kesehatan, ruang rawat inap maksimal berisi 4 tempat tidur dengan memenuhi 12 komponen fasilitas KRIS. Menurut Syahril, komponen itu menjamin semua peserta mendapatkan layanan yang sama termasuk layanan medis.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengubah sistem kelas di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS. KRIS akan mulai berlaku di semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS paling lambat 30 Juni 2025.

BPJS Kesehatan hingga kini belum menetapkan skema pembayaran KRIS. Juru bicara BPJS Kesehatan Rizky Anugrah menyatakan saat ini iuran masih mengacu aturan lama yakni Perpres Nomor 64 Tahun 2020.

"Untuk iuran ini masih mengacu kepada Perpres yang masih berlaku yaitu Perpres 64 tahun 2020. Jadi masih ada kelas dan juga iuran masih sama. Dan bagaimana iuran ke depan, tentunya ini akan dilakukan pembahasan lebih lanjut. Karena dalam Perpres 59 tersebut juga diamanatkan bahwa hasil dari evaluasi, tentunya akan berlandaskan ataupun mengacu untuk penetapan dari segi manfaat, kemudian dari segi tarif, dan juga dari segi nanti iuran," kata Rizky dalam Konferensi Pers Terkait Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024, Rabu, (15/5/2024).

Juru bicara BPJS Kesehatan Rizky Anugrah juga mengeklaim perubahan sistem kelas menjadi KRIS, tidak mengganggu pelayanan peserta BPJS.

Baca juga:


Namun, saat ini pemerintah belum menerbitkan peraturan turunannya. Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) meminta aturan turunan itu segera diterbitkan.


Sekretaris Jenderal ARSSI Pusat, Ichsan Hanafi mengatakan, salah satu aturan yang dibutuhkan yakni besaran biaya iuran peserta BPJS.

“Hanya saja memang bagi kami sebagai pelaksana di rumah sakit masih memerlukan aturan turunannya, karena kami masih bingung nih misalnya kelas standar empat tempat tidur kita mau dibayar berapa nih kalau standar tempat tidur. Karena selama ini ada yang dibayar di kelas 1, kelas 2, dibayar di kelas 3,” ucap Ichsan kepada KBR, Kamis (16/5/2024).

Sekretaris Jenderal ARSSI Pusat, Ichsan Hanafi mengaku, sebagian rumah sakit swasta terbebani untuk mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan ruang rawat inap sesuai regulasi. Apalagi rumah sakit swasta mesti mengeluarkan biaya pemenuhan sarana dan prasarana secara mandiri.

Sementara itu, Anggota Komisi Bidang Kesehatan DPR Rahmad Handoyo menyebut belum semua rumah sakit siap menerapkan aturan KRIS.

“Kemarin kita lihat uji coba ada yang sangat baik, ada yang belum siap, wajar ya saya kira karena baru uji coba. Sehingga ini masih ada waktu untuk kita perbaiki, untuk kita sempurnakan sampai benar-benar nanti berjalan siap,” ujar Rahmad kepada KBR, Kamis (16/5/2024).

Anggota Komisi bidang Kesehatan DPR dari Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo juga menyoroti mekanisme pembiayaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan.

Dia berharap, penerapan KRIS tidak membebani peserta BPJS, terutama bagi peserta non-Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Sementara itu, BPJS Watch menilai sistem satu kelas BPJS kesehatan berpotensi menimbulkan berbagai persoalan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan saat ini saja sistem kelas BPJS masih meninggalkan banyak PR.

“Kami melihat bahwa kalaupun penerapan KRIS ini itu banyak masalah yang akan muncul gitu potensi-potensinya. Satu, persoalan peserta JKN selama ini kan akses ke rumah sakit untuk ruang perawatan. Artinya kan akses kepada ruang perawatan ini akan bertambah lebih sulit. Yang memang kelas 1, kelas, kelas 2, kelas 3 diabdikan semuanya untuk peserta JKN kan masih terjadi diskriminasi. Apalagi nanti dengan berlakunya KRIS 1 Juli keseluruhan dan mengacu pada PP 47 itu kan persoalan akses ke rumah sakitnya akan sulit," kata Timboel kepada KBR (16/05/24).

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan masalah yang akan timbul misalnya iuran yang memberatkan sebagian masyarakat. Selain itu, seluruh rumah sakit perlu direnovasi untuk disesuaikan standarnya. Ia juga mengkhawatirkan jika sampai nanti pemberlakuan KRIS bakal memperburuk diskriminasi terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!