indeks
Mengapa Pembatasan Informasi jadi Masalah Serius dalam Aksi Bubarkan DPR?

Saat itu, Rina merasa media arus utama tak cukup bisa diandalkan.

Penulis: Hoirunnisa

Editor: Malika, Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Mengapa Pembatasan Informasi jadi Masalah Serius dalam Aksi Bubarkan DPR?
Pejabat Polri memberi keterangan kepada media soal penanganan demonstrasi. Foto: KBR
Inti Berita

* Setidaknya 16 jurnalis jadi korban kekerasan selama meliput demonstrasi. AJI Indonesia juga melaporkan adanya intervensi dari pihak-pihak berpengaruh terhadap media.

* Intervensi terjadap media dan kerja-kerja jurnalistik memperburuk ekosistem informasi dan membuka ruang berkembangnya disinformasi.

* Pembatasan di ruang digital memperburuk situasi. Alih-alih meredam, langkah ini picu kecurigaan dan kecemasan publik. 

KBR, Jakarta- Worry,.. Mau tahu kondisi di area rumah orang tua, area kantor. Di TV juga enggak ada berita yang update... Mikirnya ada apa nih, kenapa kita seolah enggak boleh tahu update? Jadi, enggak tahu harus prepare apa, akan ada apa selanjutnya …”

Rina, salah satu warga yang bermukim di Jakarta Selatan ini cemas karena tidak mendapatkan cukup informasi tentang situasi yang tengah berlangsung ketika eskalasi aksi unjuk rasa bertajuk “Bubarkan DPR” meningkat dan meluas akhir Agustus lalu.

Saat itu, Rina merasa media arus utama tak cukup bisa diandalkan.

“Aku ngandelin medsos, mantengin live TikTok, scroll-scroll, ganti-ganti akun yang live. Jadi, waktu live TikTok di-banned, lo … kenapa ini?”  

Pascatewasnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan (21) akibat terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Pejompongan, Jakarta Selatan, Kamis malam, (28/8), Markas Komando Brimob Kwitang, Senen, Jakarta Pusat jadi sasaran demonstrasi hingga berhari-hari kemudian.

red
Salah satu fasilitas umum dibakar, Minggu, 31 Agustus 2025. Foto: KBR/Mlk
KBR


Massa yang marah juga membakar beberapa fasilitas umum, pos-pos polisi di beberapa titik hingga menjarah rumah sejumlah anggota DPR. Di saat yang sama, gelombang protes mulai mewarnai banyak kota lain di Indonesia.

Situasi mencekam bukan hanya dirasakan Rina, tetapi juga banyak warga Jakarta, dan kota-kota lain. Namun, dalam situasi krisis seperti itu, hak publik untuk mendapatkan informasi akurat, kredibel, dan dapat dipercaya, justru tak terpenuhi. Jurnalis yang bertugas meliput demonstrasi juga banyak yang mendapat kekerasan saat meliput di lapangan.


Kekerasan dan Intervensi terhadap Media

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan organisasi internasional Reporters Without Borders (RSF) mengecam kekerasan dan intervensi yang dialami jurnalis dan media selama meliput aksi protes akhir Agustus 2025. Kedua lembaga ini juga mendesak penyelidikan transparan dan independen yang memungkinkan semua pelaku diadili.

Sejak 25 Agustus 2025, setidaknya 16 jurnalis mengalami kekerasan dan diintimidasi saat meliput aksi unjuk rasa. Setidaknya dalam lima kasus, aparat penegak hukum bertanggung jawab langsung menyerang atau menghalangi jurnalis.

red
Massa dihujani gas air mata aparat saat aksi demo Bubarkan DPR di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Foto: LBH Jakarta
KBR


Di Jakarta, Bayu Pratama, jurnalis foto untuk ANTARA, diserang oleh polisi di luar Parlemen. Di Bali, Rovin Bou, reporter Bali Topik, ditangkap saat live-streaming di TikTok. Meski menunjukkan kartu persnya, dia dicekik, dipukuli dan ditahan sebentar oleh polisi.

Dalam insiden terpisah, Fabiola Dianira dan seorang jurnalis yang dikenal sebagai Mughni, yang bekerja untuk DetikBali dan Jurnas dicegah polisi untuk meliput aksi.

Dalam beberapa kejadian lain, pelakunya belum teridentifikasi. Ini termasuk serangan terhadap Rafi Adhi, dari situs berita online Disway, yang terluka akibat disiram air keras di luar Mabes Polri saat meliput protes. Di Jambi, delapan jurnalis dikepung oleh kerumunan di halaman kantor kejaksaan agung dan dihalangi untuk bekerja, sementara sebuah kendaraan Tribun Jambi dibakar.

Kekerasan terhadap jurnalis juga disaksikan jelas oleh publik pada Minggu dini hari (31/8), saat Jurnalis TV One Leo Chandra ditangkap, dipukul serta mengalami intimidasi saat siaran langsung melalui akun media sosialnya.

Peristiwa tersebut viral di media sosial dan menimbulkan keprihatinan luas dari publik. Dalam video yang beredar, Leo awalnya bersembunyi di markas pemadam kebakaran di Koja, Jakarta Utara, untuk menghindari aksi yang mulai ricuh. Ketua bidang Advokasi AJI Indonesia yang juga Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, membenarkan hal tersebut.

“Dari kronologi itu, dari video yang kita terima, kan, terlihat cukup jelas. Dia ditangkap, mengalami kekerasan. Nah, tentu kami juga memverifikasi ke redaksinya apakah posisinya dia di sana dalam rangka kerja melakukan kerja-kerja jurnalistik,” kata Erick saat dikonfirmasi KBR, Senin, (1/9/2025).

red
Tangkapan layar menjelang jurnalis TV One ditangkap saat live aksi demo. Foto: TikTok
KBR


Menurut Erick, TVOne sempat menyatakan, Leo sedang libur pada hari kejadian. Namun, meski menggunakan akun pribadi untuk siaran langsung di media sosial, Leo tetap melakukan kerja-kerja jurnalistik berupa peliputan dan dokumentasi kerusuhan aksi unjuk rasa. Leo dibebaskan pada Minggu pagi, dijemput tim redaksi TVOne. 

“Dia melakukan kerja jurnalistiknya, dedikasi dia sebagai jurnalis dengan memanfaatkan platform untuk live streamingnya. Artinya kita melihat tindakan (kekerasan) ini yang tidak bisa dibenarkan dan kita mendesak aparat kepolisian memproses transparan dan sampai tuntas semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” ujarnya.

Telepon dari Orang Berpengaruh

Selain kekerasan di lapangan, Erick juga mengungkap intervensi terhadap media. Media didesak menyajikan berita yang “sejuk” dan “damai” tentang aksi unjuk rasa. Beberapa pimpinan media televisi, juga menerima telepon agar tidak menayangkan siaran langsung.

“Sejumlah media ditelepon orang yang berpengaruh, ya, anggota dewan dan dari partai inilah penguasa atau propemerintah … untuk tidak menayangkan secara langsung aksi demonstrasi 25 dan 28 (Agustus). Yang kami terima itu, ada empat TV. Tetapi, yang lain belum tahu kita masih melakukan verifikasi,” jelas Erick.

Intervensi juga terjadi di ruang-ruang redaksi media online, “(Di media) Online juga terjadi, ada intervensi dan upaya pembungkaman, intervensi ke ruang-ruang redaksi media, media-media mainstream yang lain selain TV. Itu terjadi dan ada laporan yang diterima oleh AJI. Intervensinya dalam bentuk untuk tidak memberitakan kritikan keras ke pemerintah.”

Kondisi itu menurut Erick bukan hanya berbahaya dan mengancam kebebasan pers, tetapi juga mendorong publik mencari informasi melalui media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya.

red
Kondisi Kantor Polres Metro Jakarta Timur usai dibakar massa pada Sabtu dini hari, (30/8). Foto: KBR/Mlk
KBR


Kelompok Kerja Antidisinformasi Digital di Indonesia (Kondisi) menyebut, intervensi terhadap media dan kerja-kerja jurnalistik memperburuk ekosistem informasi dan membuka ruang berkembangnya disinformasi.

Direktur Kondisi, Damar Juniarto mengatakan, pihaknya menemukan pola-pola disinformasi yang menguat sepanjang aksi Agustus 2025. Ada narasi yang menakut-nakuti publik, seperti isu sniper, kerusuhan SARA, hingga darurat militer. Ada pula narasi tandingan yang menormalisasi keadaan dengan slogan “Indonesia baik-baik saja” yang disebarkan influencer dan buzzer.

“Orang tidak mendapatkan informasi yang memadai. Di daerah misalnya, ketika terjadi imbauan untuk media-media tidak menyebarkan demonstrasi dan kekerasan yang menyertainya, membuat mereka tidak tahu apa yang sebetulnya ramai dibicarakan. Tidak tahu topiknya dan tidak tahu apa tuntutan dari masyarakat. Yang terjadi adalah taksir-taksir yang justru berkembang lewat media sosial di ruang digital,” ujar Damar kepada KBR, Selasa, (2/9/2025).

Media Sosial jadi Tumpuan

Di tengah gejolak politik-sosial yang memanas, pemenuhan hak publik atas informasi akurat, independen dan bisa dipercaya menjadi krusial. Namun, kondisi yang terjadi sebaliknya. Sehingga publik beralih ke media sosial. Apalagi aplikasi seperti TikTok misalnya, bisa menampilkan jalannya aksi unjuk rasa secara real time.

Para pengguna aplikasi ini memperlihatkan peristiwa aksi di berbagai lokasi melalui fitur live streaming. Seketika Live TikTok menjadi acuan sebagian masyarakat untuk mencari tahu perkembangan aksi demonstrasi akhir Agustus lalu. Tidak sedikit juga pengguna yang melakukan siaran langsung seraya meminta hadiah atau gift.

[tangkapan layar live tiktok saat demo, dihapus nama akunnya ya]

red
Live TikTok saat Demo tolak kenaikan tunjangan DPR dan kebijakan pemerintah. Foto: TikTok
KBR


Fenomena ini direspons Polda Metro dengan mengeluarkan imbauan pada 28 Agustus 2025 agar masyarakat tidak live di media sosial saat aksi demonstrasi. Alasannya, berpotensi memprovokasi.

Malam harinya, fitur ‘live’ Tiktok tak lagi bisa digunakan. Komdigi mengklaim, penonaktifan itu dilakukan sukarela oleh platform, menyikapi terus meluasnya demonstrasi yang disertai kerusuhan dan penjarahan.

Namun, publik menduga pembatasan sengaja dilakukan dengan intensi menutup-nutupi kekerasan aparat terhadap demonstran di lapangan. Tindakan represif aparat memang tengah disorot terkait upaya penanganan aksi unjuk rasa sejak 25 Agustus, termasuk penangkapan besar-besaran terhadap demonstran yang sebagian besar pelajar. Protes atas represivitas aparat mencapai puncaknya ketika pengemudi ojol Affan Kurniawan tewas terlindas rantis Brimob.

Analisis Monash Data & Democracy Research Hub yang berjudul ‘Jejak Emosi dan Polarisasi Sosial di Ruang Digital: Analisis Protes Publik Agustus 2025’ diketahui, kata Brimob dan police menempati posisi dua dan ketiga teratas paling banyak di-mention publik di dunia maya, masing-masing sebanyak 587.724 kata dan 584.576 kata.

Di posisi teratas adalah kata ‘Indonesia’ dengan 876.917 kata. Kata ini muncul lewat percakapan tentang peringatan Presiden ‘Indonesia’ Prabowo yang memberikan lampu hijau kepada polisi dan TNI untuk menertibkan warga, dan hal dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan.

red

Gelombang protes warganet soal dugaan sensor konten aksi demonstrasi di media sosial dilayangkan ke Kementerian Komunikasi dan Digital. Publik mengeluhkan unggahan terkait demo sulit diunggah, bahkan sebagian akun terkena shadowban atau pembatasan jangkauan.

Dua hari berselang, Sabtu (30/8), lewat unggahan stories di akun Instagram @meutyahafid, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengklarifikasi. Dia mengklaim, pemerintah tidak serta-merta menyensor konten demonstrasi. Namun, ada sejumlah konten yang dianggap berbahaya dan melanggar hukum sehingga perlu ditindak.

“Di luar konten yang informatif, ada beberapa konten yang memanfaatkan demonstrasi dengan menyisipkan judi lewat gift, provokasi, ajakan kekerasan, bahkan ajakan membunuh dan membakar,” tulis Meutya.

red
Salah satu poster yang ditempel di tembok Polda Metro Jaya, Minggu, 31 Agustus 2025. Foto: KBR/Mlk
KBR


Pembatasan Informasi Berbahaya dalam Situasi Krisis

Pegiat media sosial Tommy Wibowo menilai, pembatasan fitur live streaming di TikTok dan platform digital lain justru memperburuk situasi, alih-alih menenangkan publik.

“Di masa genti

ng seperti ini kan kita sangat bergantung pada informasi yang real time. Kalau langkah-langkah yang diambil mengarah ke pembungkaman media dan hak-hak publik dalam mendapatkan informasi, hal ini justru bisa menjadi potensi aksi massa,” ujar Tommy kepada KBR, Selasa, (2/9/2025).

Menurut Tommy, membatasi live streaming justru memicu kecurigaan baru terhadap negara. Sebab, masyarakat akan menganggap ada sesuatu yang ditutup-tutupi, khususnya soal kekerasan aparat di lapangan. Padahal kata dia, yang dibutuhkan justru transparansi, bukan sensor.

“Kalau mau meredam amarah rakyat, dengarkan. Fokus pada tuntutan, kerjakan dengan baik. Jangan malah membatasi ruang publik. Itu hanya memperbesar rasa ketidakpercayaan,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyebut generasi muda, khususnya Gen Z sudah jauh lebih cerdas dan kritis dalam menyikapi upaya pembungkaman informasi. .

“Seberapa besar upaya membatasi hak-hak publik, di situlah kami akan mencari solusi untuk terus bersuara. Live streaming bukan ancaman, justru ancaman negara yang bisa terekspos di sosial media,” jelasnya.

Negara, kata Tommy, seharusnya hadir menjamin hak warga atas informasi, bukan justru membatasi.

red
Banner dukacita untuk Affan Kurniawan di sejumlah fasilitas umum di Halte Polda Metro Jaya, Minggu, 31 Agustus 2025. Foto: KBR/Mlk
KBR


Sulit Verifikasi

Pembatasan fitur live streaming di platform digital juga menjadi sorotan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet). Menurut Direktur Eksekutif SafeNet, Nenden Sekar Arum, live streaming selama ini menjadi alat penting bagi publik dan jurnalis warga untuk menyampaikan situasi lapangan tanpa sensor.

“Nah, ketika fitur ini dibatasi, maka publik juga kehilangan akses terhadap situasi real-time terkait informasi yang ada di lapangan. Dan sehingga menjadi sulit untuk melihat atau memverifikasi lagi informasi-informasi apa yang sedang terjadi di situasi tertentu tanpa sensor. Karena, kan, kalau memang video itu diambil dan kemudian dipublikasikan atau disebarkan kembali masih sangat mungkin adanya upaya-upaya penyuntingan,” jelas Nenden kepada KBR, Selasa, (2/9/2025).

Menurut Nenden, pembatasan TikTok Live jelas masuk kategori pembatasan kebebasan berekspresi. Langkah itu tidak memenuhi standar HAM internasional yang mensyaratkan legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas (three-part test).

Bukan hanya pembatasan lewat hilangnya fitur live pada Tiktok, Safenet juga menemukan upaya pembungkaman kekebasan berekspresi di ruang digital dengan penyebaran data pribadi.

“Ada beberapa lonjakan serangan digital kepada teman-teman yang melakukan aksi di lapangan. Misalnya upaya penyebaran data pribadi kemudian serangan digital lain hingga ada juga kampanye-kampanye atau misalnya konten yang mulai diarahkan berbasis sentimen rasial. Jadi, ini juga sesuatu yang memang kita temukan dalam periode selama demonstrasi 25 sampai 30 Agustus,” jelasnya.

Nenden menegaskan, pemerintah seharusnya menjamin keterbukaan informasi, bukan membatasi. Ia mengingatkan pentingnya transparansi, perlindungan kebebasan pers, dan akses setara ke ruang digital.

Baca juga: 

Demo
Demo Bubarkan DPR
Pembatasan Informasi
Live TikTok

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...