BERITA

Menanti Kawasan Tanpa Rokok Berikutnya

Intervensi pengusaha menghambat pembuatan Perda soal Kawasan Tanpa Rokok.

AUTHOR / Sindu Darmawan

Menanti Kawasan Tanpa Rokok Berikutnya
KTR, kawasan tanpa rokok

KBR, Jakarta – Dunia memperingati tanggal 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Di Indonesia, sejumlah peringatan juga rutin dihelat setiap tanggal ini, semisal konferensi nasional pengendalian tembakau. Salah satu agenda acara itu adalah mendesak pemerintah daerah untuk segera memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Hingga kini dari 500 kabupaten/ kota di Indonesia, baru 120 kota yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).


Divisi Advokasi, Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbianto menyebut, salah satu kendala dalam pembuatan perda itu di daerah adalah karena adanya intervensi dari para pengusaha atau industri rokok dalam pembuatan perda itu.


“Beberapa kota, pernah didatangi oleh pengusaha industri rokok, bahkan menyurati biro hukum yang ada di daerah-daerah. Saya tidak perlu sebutkan namanya. Ujung-ujungnya mereka ingin campur tangan, meski bukan bagian dari stakeholder isu kesehatan masyarakat. Mereka punya kekuatan untuk mempengaruhi. Mereka ingin ikut di dalam penyusunan perda. Padahal mereka bagian dari masalah,” jelasnya di acara Daerah Bicara KBR. 


Sedikit


Ia mengakui, jumlah daerah yang memiliki perda tersebut sangat sedikit ketimbang jumlah total wilayah di Indonesia.


“Jika dirinci 120 kab/kota tadi sebetulnya tidak semuanya berbentuk perda, tapi ada juga yang bentuknya Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, bahkan ada yang cuma berupa surat edaran yang hanya berlaku internal dari birokrasi. Kalau dilihat dari mandat UU 36 Tahun 2009, sebenarnya mandatnya adalah Pemerintah Daerah harus menetapkan Kawasan Tanpa Rokok, karena hanya dengan itu yang mengatur soal sanksi, beda dengan edaran.”


Dari 120 daerah itu pun, hanya lima kota yang dinilai maksimal menerapkan kebijakan KTR. 


“Jumlah itu sangat minimalis. Sehingga kedepan setidaknya pemerintah harus mencanangkan kota-kota tertentu yang bisa dijadikan contoh bagi kota lain. Misal di Jawa Timur, Balikpapan atau Sumatera. Itu yang saat ini sedang kami coba usulkan kepada Kemenkes dan Kemendagri,” ujarnya.


Kembali ke Pemda


Kemendagri dan Kemenkes, kata Tubagus, sebenarnya sudah mengeluarkan surat edaran kepada daerah untuk segera menerapkan aturan itu. Namun, semua kembali lagi kepada kebijakan pemerintah daerah.


“Ini adalah sebuah ironi ketika sebuah kebijakan kesehatan itu di otonomi daerah kan, karena masing-masing pemda itu tentu punya prioritas berbeda-beda, tentang apakah pemda itu mau atau tidak melindungi warganya dari ancaman paparan asap rokok. Salah satu faktor subyektifnya adalah jika kepala daerahnya adalah perokok berat. Adanya perda itu bisa jadi membuat kepala daerah itu tidak bisa merokok di dalam kantor dan sebagainya.”


Secara pribadi, Tubagus mengapresiasi lima kota yang dikategorikan terbaik dalam menerapkan aturan KTR. Salah satu di antaranya adalah Bogor. Namun, menurutnya dari lima kota itu belum bisa dipastikan berhasil seratus persen dalam penerapan. 


“Tapi, yang paling tidak, yang bisa kita lihat adalah komitmen kepala daerah untuk menerapkan komitmen penegakkan KTR. Karena tidak ada itu keberhasilan 100 persen. 63 juta orang kita perokok. Ketika kita bicara soal Kota Bogor, Bogor penduduknya berapa, berapa perokoknya dan sebagainya, pelanggaran pasti tetap ada. Yang kita lihat adalah komitmen kepala daerah dalam penegakkan regulasinya. Semua kembali ke sana.”


Ketika isu soal Kawasan Tanpa Rokok ini diterapkan atau disuarakan, sektor bisnis dinilai menjadi sektor yang paling terakhir memiliki keberatan.


“Para pebisnis biasanya punya ketakutan, kalau saya terapkan aturan ini mereka akan kabur dan sebagainya. Tapi, dari beberapa survei tidak ditemukan itu. Dan saya kira beberapa hotel dan mall sudah menerapkan itu, seperti hotel Atlet Century dan mall Atrium Senen.”


Hambatan


Hambatan soal penerapan aturan KTR ini, kata Tubagus, kadang datang dari internal sendiri. Polemik yang mendalam adalah tentang adanya tempat khusus untuk merokok. Semisal di Medan. Di sana, Biro Hukum menilai wajib ada tempat khusus untuk merokok.


“Itu sebenarnya tidak perlu menjadi polemik kembali, karena ada putusan MK nomor 57 yang menyebutkan, bahwa tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok,” jelasnya. Sebab ada peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang pedoman pelaksana Kawasan Tanpa Rokok. Di putusan MK itu juga tidak disebutkan tempat merokok itu harus di luar atau di dalam gedung. “Tetapi dalam konteks UU Kesehatan, kalau toh ada tempat khusus merokok, maka tempat khusus itu tidak akan menghalangi tujuan dari UU Kesehatan itu sendiri.”


Bogor terbaik


Salah satu wilayah yang dinilai terbaik dalam penerapan KTR adalah Bogor. Walikota Bogor Bima Arya mengaku, awal menerapkan aturan KTR di lingkungan kantor instansi pemerintah Kota Bogor. 


“Kita fokuskan pertama di kantor instansi pemerintah. Kita paling tidak berusaha membuat suasana setidak kondusif mungkin untuk merokok. Selain itu, sign soal larangan merokok juga dipampang di tiap-tiap sudut,”jelas Bima Arya melalui sambungan telfon.


Kedua, kata dia, pihaknya sering melakukan sidak di internal pemerintah kota Bogor dan tempat-tempat umum lain, semisal hotel. Bima mengaku juga memberikan penghargaan dan sanksi bagi pelanggar KTR di wilayahnya. 


“Kita koordinasikan semua agar bisa dipantau tingkat kepatuhannya. Saya baru saja menandatangani beberapa penghargaan kepada wajib pajak, titik-titik yang dianggap secara komitmen untuk menerapkan komitmen ini berdasarkan kriteria dan penilaian khusus, yaitu tingkat angka kepatuhannya di titik-titik KTR itu sekitar 74 persen. Angka ini yang menempatkan Bogor menjadi kota yang cukup tinggi penilaiannya disbanding kota lain.”


Ia menargetkan, penilaian itu bisa meningkat menjadi 80 persen pada penilaian berikutnya.


“Jadi masih ada kelemahan di beberapa titik, semisal pasar tradisional dan hotel-hotel.Kita surati lagi hotel-hotel agar betul-betul menerapkan Perda KTR, termasuk dengan pasar-pasar tradisional,” ucapnya.


Politisi Partai Amanat Nasional ini mengakui, tak mudah untuk tetap konsisten menerapkan dan memberlakukan aturan ini di wilayahnya. Namun, ia meminta kepada LSM-LSM, pelajar serta mahasiswa untuk kerap mengingatkan dan mengkritik pemerintah Bogor jika pihaknya lemah dalam penerapan aturan itu.


“Kunci utamanya adalah kolaborasi, makanya kita libatkan teman-teman LSM, pelajar dan mahasiswa. Karena pemerintah kota ini kan kadang-kadang konsentrasi pecah terhadap hal lain. Nah, mereka-mereka ini kan memang setiap hari ini lah yang dipikirkan. Kita juga bahkan membentuk tim relawan khusus untuk terus mengkampanyekan ini, saya minta ke mahasiswa atau pelajar, kalau ada yang merokok di KTR langsung di foto aja kemudian segera diunggah ke twitter.”


Aturan soal iklan pun, kata dia, juga sudah tak lagi diperbolehkan terpasang di ruang-ruang publik.


“Di Bogor sudah tidak boleh. Tapi, memang kadang ada inkonsistensi pada masa lalu. Insya Allah iklan rokok ini akan kita bersihkan tanpa terkecuali. Karena, kadang-kadang ada modifikasi lain-lain itu kan. Saya sendiri bukan perokok, dan tak mau generasi muda kita dicekoki dengan racun rokok.”


Divisi Advokasi, Komnas Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbianto mengapresiasi kebijakan penerapan KTR yang diterapkan Kota Bogor.


“Kota Bogor layak diapresiasi, dan merupakan satu-satunya kota yang melarang display rokok di minimarket dan warung. Saya kira teman-teman Bogor sangat antisipatif,” ujarnya.


Desak ratifikasi


Namun, Tubagus menyesalkan, sikap pemerintah pusat yang hingga kini belum juga meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Menurutnya, ini momentum terbaik SBY jika mau memberikan sesuatu yang berharga di akhir masa jabatannya. Padahal, Indonesia sejak tahun 2000 termasuk negara yang menyusun draft FCTC, namun tak hadir dan belum menandatangani aturan itu sejak saat ini.


“Ini monument bagi SBY. Tidak ada alasan bagi SBY untuk tidak menganeksasi ini. Bukan hanya kami sebagai warga Indonesia, tapi dari sisi diplomasi luar negeri saya kira Indonesia akan diperbaiki. Karena, selama ini harkat dan martabat kita sebagai negara kalau di forum-forum kesehatan internasional, kita justru ada di belakang Timor Leste.”


Ia mengaku sanksi kepada kedua pasangan capres yang bakal maju pada pilpres 9 Juli mendatang. 


“Jika dilihat dari timses mereka, ada beberapa pihak yang cenderung mendukung industri. Untuk itu kita kembali berharap kepada kepala daerah, karena mereka dipilih langsung oleh masyarakat. Kalau kepala daerah tidak bisa melindungi warganya dari paparan rook, buat apa dia dipilih? Maka, jika ada daerah yang belum memiliki Perda KTR, dia belum bisa disebut sebagai kota layak. Aturan itu harus integrated bukan parsial.”


Untuk itu ia mendesak dan mengajak seluruh kalangan untuk ikut terlibat aktif mendorong daerah yang belum memiliki perda KTR untuk segera membentuk dan menandatangani aturan itu.


“Saya kita harus ada kolaborasi civil society dan media untuk mengkampanyekan ini. Bahwa ketika ada daerah atau kabupaten belum memiliki Perda KTR, maka dia tidak layak disebut kota sehat, begitu seterusnya.”


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!