Komnas Perempuan mencatat kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut seperti pemaksaan busana, pembakuan peran gender, aturan ketenagakerjaan, hingga pembatasan kehidupan beragama.
Penulis: Cornelia Wendelina
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Isu kesetaraan gender masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan di Indonesia. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada 2024 mencatat ada 305 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan sejak tahun 2000-sekarang.
Kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut seperti pemaksaan busana, pembakuan peran gender, aturan ketenagakerjaan, hingga pembatasan kehidupan beragama.
Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Amir menyebut perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kebijakan diskriminatif yang dibuat pemerintah. Akibatnya, pemenuhan hak perempuan sulit dipenuhi.
"Kekerasan terhadap perempuan, bagaimana hak-haknya untuk mendapat perlindungan, hingga pemulihan itu masih sulit diakses. Apalagi ketika perempuan mengalami kekerasan di wilayah yang terpencil," jelas Sundari dalam Ruang Publik KBR, Kamis (4/9/2025).
Kurangnya Keterlibatan Pemerintah
Menurut Sundari, perspektif kesetaraan gender masih belum dipahami pemerintah dan aparat penegak hukum. Ia menilai pemerintah belum sepenuhnya hadir dalam pemenuhan hak perempuan dan kelompok rentan lainnya.
"Pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir peraturan yang berperspektif gender, terlihat sekali dalam penyusunan kebijakan di hulu seperti RPJMN 2025-2029. Tidak muncul setara utuh tentang perempuan, sehingga sangat sulit untuk perempuan mengakses semua kebutuhannya," ungkap Sundari.
Padahal, kata Sundari, kebijakan diskriminatif paling berdampak terhadap perempuan.
"Yang perlu dilihat bahwa perempuan yang paling terdampak dari apapun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, apalagi itu yang diskriminatif," ujarnya.

Marak Aturan Daerah Tidak Berprespektif Gender
Mike Verawati Tangka Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyebut masih banyak perda ketertiban umum atau perda-perda lain yang sebenarnya tidak menyasar perempuan tapi isinya cukup untuk mengkriminalisasi perempuan.
Ia mencontohkan Peraturan daerah atau Perda jam malam di sejumlah daerah hingga Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
"Yang paling merugikan itu ya perda jam malam yang diatasnamakan ketertiban umum. Karena kan perempuan keluar malam bukan untuk melakukan hal-hal iseng, mereka bekerja atau sedang melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak perlu mendapatkan kesulitan," jelas Mike.
"Perda Tangerang Nomor 8 yang sudah sangat lama kita perjuangkan saja, sampai sekarang belum dibatalkan ya oleh pemerintah daerah. Dan ini menyusul peraturan-peraturan lainnya," tambahnya.

Bukan hanya peraturan daerah, Mike menyebut masih ada SK Gubernur hingga Surat Edaran diskriminatif yang harus diperhatikan. Ia menyayangkan, selama ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang bertanggung jawab atas perda, biasanya hanya membatalkan perda yang bersifat retribusi, seperti perda pajak pungli yang merugikan.
"Tetapi perda-perda diskriminatif belum dilihat sebagai sebuah keseriusan," tambah Mike.
Mendorong PP Turunan UU TPKS Hingga Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sejak 1984. Bahkan memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang sudah berlaku sejak Mei 2022. Namun, angka kebijakan diskriminatif terhadap perempuan masih tinggi.
Selain itu, Komnas Perempuan menyoroti aturan turunan dari UU TPKS yang belum disahkan. Ini mengakibatkan jaminan keadilan untuk korban tidak dapat terpenuhi dengan baik.
Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Amir merekomendasikan keterlibatan banyak pihak dalam Menyusun kebijakan yang dapat mengakomodir hak-hak perempuan.
"Untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan tidak bisa satu lembaga atau kementerian saja, harus bersama-sama. Beberapa lembaga terkait harus bersama-sama bersinergi, bagaimana ini supaya perempuan terlindungi. Kemudian kekerasan terhadap perempuan itu diberantas," jelasnya.
Sundari juga menilai sosialisasi kepada aparat penegak hukum bisa menjadi langkah dalam melibatkan dan menambah pengetahuan akan perspektif kesetaraan gender.
"Perspektif pengarusutamaan gender ini sudah 20 tahun lebih, tapi ternyata belum semua memahami, baik tataran aparatnya juga. Perlu ada sosialisasi yang menyeluruh di semua lapisan sehingga benar-benar dipahami oleh siapapun, di kalangan apapun untuk menerbitkan perda-perda yang tidak diskriminatif," tambah Sundari.

Ujian Political Will dari Pemerintah
Mike Verawati Tangka Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai perlu ada political will dari pemerintah sebagai bentuk keseriusan dalam janji kesetaraan gender. Salah satunya dengan menempatkan perempuan sebagai pembuat kebijakan.
"Kita juga perlu mendorong dalam cara pandang pembuat kebijakan. Kita juga dorong adanya keterwakilan perempuan ya. Angka 30% keterwakilan perempuan itu diharapkan bisa membantu proses-proses formulasi kebijakan. Itu supaya mereka [perempuan] punya keterwakilan," imbuhnya.
"Kalau kita ingin diskriminasinya menurun, mari kita juga serius untuk memproses aksi afirmatif ini. Di setiap ranah, bukan cuma di parlemen, tetapi segala bidang supaya diskriminasi berkurang," tegas Mike.
305 Kebijakan Diskriminatif Gender
Adapun kebijakan-kebijakan diskriminatif gender di Indonesia menurut Komnas Perempuan, meliputi:
- 101 kebijakan terkait ketertiban umum ada prostitusi dan pergelandangan
- 52 kebijakan terkait busana & kontrol tubuh perempuan, seperti aturan berjilbab atau standar berpakaian tertentu
- 32 kebijakan terkait larangan Ahmadiyah yang berdampak pada pembatasan kebebasan beragama perempuan Ahmadiyah
- 14 kebijakan di Aceh terkait pengaturan moralitas dan kehidupan privat yang membatasi perempuan Aceh
- 60 kebijakan yang mewajibkan baca-tulis Al-Quran sebagai syarat kelulusan sekolah atau syarat administrasi
- 20 kebijakan terkait ketahanan keluarga yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab urusan domestik
- 11 kebijakan terkait pengaturan kehidupan beragama yang menimbulkan diskriminasi dalam menjalankan kebebasan berkeyakinan.
- 1 kebijakan terkait administrasi kependudukan yang menghambat perempuan penghayat dan kepercayaan adat dalam memperoleh dokumen seperti KTP
- 1 kebijakan terkait tenaga kerja yang merugikan pekerja perempuan, khususnya pekerja migran & pekerja rumah tangga.
Obrolan lengkap episode ini juga bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media berikut:
Baca juga:
- Jelang Deadline 17+8 Tuntutan Rakyat
- Dampak Pidato Presiden yang Sebut Makar dan Terorisme dalam Aksi Demonstrasi