NASIONAL

Menanti Aturan Turunan UU TPKS

"Menurut Komnas Perempuan, penerapan Undang-Undang TPKS akan sedikit terhambat karena lambannya pembentukan aturan turunan."

Heru Haetami

UU TPKS
Petugas KAI membawa poster kampanye antipelecehan seksual di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (22/12/2022). (Foto: ANTARA/Sulthony Hasanuddin)

KBR, Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menargetkan aturan turunan dari Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa rampung di tahun 2023.

Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan di Kementerian PPPA Margareth Robin Korwa mengatakan, aturan turunan itu masih dibahas lintas kementerian lembaga.

"Kami berharap bahwa tahun ini 3 PP itu bisa selesai. Termasuk dengan 4 Perpres, dengan pemrakarsa masing-masing yang memang juga sudah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 23 Desember 2022 tentang program penyusunan peraturan presiden tahun 2023. Untuk itu pembahasan yang sudah dilakukan tahun lalu secara marathon, mulai dari Juni sampai dengan Desember, sebelum Hari Ibu. Dengan adanya dasar hukum ini melalui Keputusan Presiden nomor 25 dan 26 maka akan lebih mengembangkan proses pembahasannya karena sudah masuk di dalam Prolegnas dan Program Penyusunan (Progsun)," kata Margareth kepada KBR, Kamis (5/1/2023).

Margareth mengatakan, aturan turunan yang semula dimandatkan Undang-Undang TPKS sebanyak 10 aturan, nantinya akan dipadatkan menjadi tujuh aturan. Terdiri dari empat peraturan presiden dan tiga peraturan pemerintah. Aturan turunan itu diharapkan bisa mempertajam implementasi dari Undang-Undang TPKS.

Namun, Komnas Perempuan berharap aturan turunan bisa keluar lebih cepat. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan penerapan Undang-Undang TPKS akan sedikit terhambat karena lambannya pembentukan aturan turunan.

"Kami sih berharap bisa dilakukan di kuartal pertama 2023. Karena sejumlah peraturan pelaksana ini akan menguatkan sistem untuk memastikan pelayanan yang terpadu maupun proses hukum yang berkeadilan bagi korban kekerasan seksual. Rasanya kalau tengah tahun 2023, seharusnya realistis. Tapi tampaknya juga bisa dipercepat menjadi kuartal pertama 2023." kata Andy kepada KBR, (05/1/2023).

Baca juga:

Selama kurun Januari hingga November tahun lalu, setidaknya ada 3 ribuan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, angka itu kemungkinan masih akan bertambah.

"Kami saat ini masih menganalisis datanya. Di Maret 2023 ini kita akan mengkompilasi baik itu pengaduan langsung ke Komnas Perempuan sepanjang 2022 maupun lembaga-lembaga lainnya, yang kita sebut dengan dokumen catatan tahunan. Kalau kita lihat dari kecenderungan ya, ini pola laporan selama dua tahun terakhir, mayoritas kekerasan yang terjadi tampak di dalam rumah tangga. Tetapi kalau dilihat dari bentuk kekerasannya, kita perlu mencermati bahwa kekerasan seksual ini terus meningkat, baik dengan cara offline maupun online. Dan kalau kita mengacu pada dua tahun terakhir, seringkali kekerasan secara offline maupun online ini dilakukan justru oleh orang-orang terdekat dengan korban ataupun mantan pasangan, baik itu mantan suami atau mantan pacar," katanya.

Andy Yentriyani mengatakan, hadirnya Undang-Undang TPKS memperkenalkan dan meneguhkan sistem peradilan terpadu untuk perempuan dan anak, maupun laki-laki.

Sistem ini mensyaratkan sinergi proses hukum dan pemulihan korban kekerasan seksual, semenjak proses pelaporan hingga pasca-persidangan.

Komnas Perempuan mencatat ada beberapa elemen kunci dalam Undang-Undang TPKS. Mulai dari sanksi dan tindakan, hukum acara, hak atas korban, hingga pencegahan.

Libatkan masyarakat sipil

Dorongan agar pemerintah segera mengeluarkan aturan turunan UU TPKS juga diteriakan kelompok masyarakat sipil.

Koordinator Pelaksana Harian dari Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti mendorong agar aturan turunan UU TPKS dirancang dengan melibatkan masyarakat sipil. 

Selain itu, aturan turunan bisa memperhatikan perspektif keberpihakan terhadap korban dan memuat sistem pelayanan terpadu. Sistem layanan terpadu itu dibutuhkan untuk mengintegrasikan seluruh layanan mulai dari psikologis hingga layanan hukum.

"Yang paling utama adalah perspektif keberpihakan kepada korban kemudian perspektif gender dan lain sebagainya harus ini menjadi roh-roh utama dalam UU TPKS ini di peraturan turunannya itu semuanya harus punya perspektif itu," kata dia kepada KBR (5/1/2023).

Khotimun Sutanti menilai saat ini belum ada program yang secara spesifik direncanakan oleh kepolisian untuk memperkuat implementasi UU TPKS.

"Sebetulnya dari Kepolisian RI itu sempat bikin surat arahan untuk menggunakan UU TPKS. Namun sebetulnya itu perlu upaya yang lebih banyak dengan membangun sistemnya di internal kepolisian itu sendiri. Kemudian perspektif aparat hukum, juga ketersediaan polisi yang memang punya perspektif dan juga polisi perempuan karena polwan itu sangat sedikit di Indonesia. Itu kita belum melihat apa ya program yang secara spesifik sudah direncanakan oleh kepolisian untuk memperkuat perspektif Aparat Penegak Hukum (APH) dan lain sebagainya sampai ke bawah. Itu menurut kami masih jadi PR ya," katanya.

Selain percepatan pembentukan aturan turunan, LBH APIK juga mendorong pemerintah agar sosialisasi UU TPKS hingga ke daerah bisa terus dilakukan.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • UU TPKS
  • kekerasan seksual

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!