"Semua yang ditampilkan dan dinarasikan itu hanya ungkapan dari dalam institusi tersebut bukan mewakili masyarakat Indonesia ..."
Penulis: Siska Mutakin
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Sebagian warga menganggap narasi polisi adalah sosok pahlawan tidak realistis dan terlalu mengada-ngada. Muhammad ialah salah satu dari warga tersebut. Anggapan itu disampaikan Muhammad menanggapi video Divisi Humas Mabes Polri, yang diunggah di sejumlah platform media sosial, semisal X (Twitter), Minggu, 22 Juni 2025.
Dalam video berdurasi 1 menit 16 detik itu, polisi digambarkan sebagai pahlawan masa kini lengkap dengan efek sayap ala superhero. Video itu menunjukkan sosok polisi sedang membantu masyarakat. Diduga video dibuat pakai teknologi kecerdasan buatan (AI).
“Polisi adalah sosok pahlawan masa kini. Tanpa jubah, tanpa sorotan mereka berdiri di garda terdepan, melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan marabahaya,” bunyi keterangan video tersebut.
Tayangan itu sudah ditonton lebih dari enam juta kali sejak pertama kali diunggah. Banyak warganet mengkritisi unggahan tersebut karena menilai isi video tersebut tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Muhammad, salah satu warga Bogor, Jawa Barat menyebut isi konten itu hanya merepresentasikan kepentingan internal institusi tanpa menggambarkan kenyataan di lapangan.
"Terlalu ngawur, dan mengada-ngada. Semua yang ditampilkan dan dinarasikan itu hanya ungkapan dari dalam institusi tersebut bukan mewakili masyarakat Indonesia. Bahkan dalam footage video yang ditampilkan pun tidak melibatkan masyarakat sedikit pun, tetapi full menggunakan AI," katanya kepada KBR, Selasa, (01/07/2025).
Penilaian Ada di Masyarakat
Muhammad juga mengkritik hal lain dari Polri, semisal soal realita pelayanan publik dalam lingkungan kepolisian. Menurutnya, meski sering disebut hanya ulah segelintir personel, nyatanya ia bahkan masyarakat lain masih merasa menghadapi kesulitan saat berurusan dengan kepolisian.
"Banyak sekali oknum yang berperilaku tidak ramah dan tidak mengayomi masyarakat ketika melaporkan sesuatu ke polisi, butuh "pelicin" untuk memperlancar proses penanganan," ujarnya.
Menurut Muhammad, polisi tidak perlu mempromosikan citranya di masyarakat. Sebab kata dia, masyarakat dinilai lebih layak menilai langsung kinerja polisi berdasarkan pelayanan yang diberikan di lapangan.
Muhammad berpendapat, aparat kepolisian sebaiknya lebih memfokuskan diri pada tugas pokok dan fungsinya melayani serta mengayomi masyarakat tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, maupun budaya warga.
"Semakin bagus pelayanan terhadap masyarakat semakin banyak masyarakat yang menilai baik, sehingga secara tidak langsung masyarakat akan mempromosikan citra polisi yang baik dan benar kepada khalayak publik," tutupnya.
Perlu Evaluasi
Anggota Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas), Yusuf Warsyim turut menanggapi video yang diunggah Div. Humas Mabes Polri. Ia menilai, sejauh ini belum bisa disimpulkan bahwa konten tersebut merupakan sebuah kesalahan. Namun, pilihan kata atau diksi dalam narasi yang digunakan perlu dievaluasi.
Belakangan unggahan tersebut tidak lagi tersedia di laman X, tetapi masih belum diketahui pasti alasan penghapusan unggahan tersebut.
"Kalau ternyata dilakukan takedown (unggahan), ya, Alhamdulillah," ujar Yusuf kepada KBR, Rabu, (25/06/2025).
Yusuf juga menyatakan, akan mengecek internal ke Divisi Humas Polri untuk memastikan apakah benar konten itu dibuat dan dipublikasikan institusi kepolisian.
"Karena kalau itu benar content, ya, tak terhindar dari polemik tajam. Walaupun bisa juga barangkali ingin bermaksud mencita-citakan sebagai pahlawan atau ingin menunjukan bahwa ada anggota Polisi yang telah melakukan sebagaimana pahlawan. Hanya memang pilihan diksi yang menyatakan “polisi adalah sosok pahlawan” mengundang pertanyaan," ujar Yusuf lewat pesan singkat.

Polisi Bantah Buatan Anak Magang
Markas Besar Polri langsung menanggapi kritikan atas unggahan video mereka. Polri juga membantah video promosi tentang peran polisi yang beredar di media sosial merupakan buatan anak magang.
Video yang diunggah akun media sosial X @DivHumas_Polri, Ahad, 22 Juni 2025 itu viral karena dianggap menggunakan AI dan tak sesuai realita.
“Bukan (anak magang). Enggak ada,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho saat ditemui di hotel Gran Mahakam, Senin, 23 Juni 2025, dikutip dari Tempo.
Harus Sesuai Kerja Nyata
Analisis dari pengamat kepolisian, Bambang Rukminto menyebut, kampanye semacam itu justru bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi perbaikan nyata di tubuh kepolisian.
"Sebagai sebuah klaim itu sah-sah saja, sama seperti satire di masyarakat kecap pasti nomor 1," katanya kepada KBR, Jumat, (27/06/2025).
Bambang menilai, publik tidak akan serta merta menerima narasi yang dibangun melalui media promosi, tetapi akan membandingkannya dengan pengalaman nyata berinteraksi dengan aparat kepolisian sehari-hari.
"Jadi, tak salah bila model-modal kampanye seperti ini malah menjadi bahan untuk semakin mem-bully polisi, karena berbeda dengan realitas yang ada. Makanya daripada membuat model kampanye seperti itu yang malah menjadi blunder, lebih baik Polri memperbaiki kinerjanya untuk melayani masyarakat," ujarnya.
Ia menyarankan, Polri lebih fokus peningkatan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat ketimbang sekadar membangun citra lewat kampanye visual. Menurutnya, semangat serve and protect harus menjadi prinsip utama bagi setiap personel Polri.
"Bila tidak memiliki spirit itu, kampanye model advertorial sebesar apa pun biayanya akan menjadi sia-sia dan itu menunjukkan kegagalan Divhumas saat ini," ucap Bambang.
"Divhumas harus dievaluasi. Modus penggunaan buzzer di medsos juga tidak akan efektif, apalagi bila menggunakan provider dari luar negeri, misalnya munculnya nama-nama asing, Vietnam, Kamboja yang memberikan tanda jempol di unggahan Divhumas," tambahnya.
Tugas Polisi Bukan Aksi Heroik, tetapi Kewajiban
Bambang juga mempertanyakan narasi dalam video yang menggambarkan aktivitas polisi seperti mengatur lalu lintas, dan menjaga keamanan sebagai aksi heroik. Menurutnya, ada kesalahan mendasar dalam cara pandang kepolisian terhadap tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).
"Seolah-olah melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat itu adalah kebaikan mereka. Padahal, itu bukan kebaikan tetapi kewajiban Polri yang sudah diberi hak dan kewenangan oleh negara berupa penegakan hukum," ujarnya.
Ia menyayangkan, bila tugas-tugas dasar yang memang sudah menjadi tanggung jawab kepolisian justru dipromosikan sebagai tindakan luar biasa. Kata Bambang, masyarakat saat ini sudah cukup kritis dan tidak bisa begitu saja diyakinkan melalui narasi-narasi tidak realistis.
"Karena bertolak belakang dengan realitas dan persepsi masyarakat yang sudah merasa membayar pajak yang digunakan sebagai anggaran Polri," tegasnya.
Anggaran Besar
Bambang turut menyinggung anggaran institusi Polri yang mencapai 125 triliun di tahun ini. Menurutnya, anggaran sebesar tersebut semestinya difokuskan untuk memperbaiki pelayanan, meningkatkan kinerja melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai amanah yang diberikan negara.
"Kalau mindset-nya keliru, profesional di sini justru dipahami dengan bayar-bayar-bayar pada setiap layanan kepolisian, justru akan menjadi blunder. Karena rakyat melalui pajak pada negara sudah memberikan anggaran yang sangat besar," ucapnya.
Ia menegaskan, seharusnya reputasi kepolisian dibangun bukan lewat pencitraan, tetapi dari kerja nyata yang konsisten, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik.
"Partisipasi masyarakat itu organik. Kalau cara cara lama seperti mobilisasi buzzer, top down, pengerahan massa, seremonial saja, dampaknya hanya instan dan sesaat. Tidak akan lama bertahan, siap siap saja menuai hujatan lagi," tutupnya.
Sentimen Negatif di Medsos
Jauh sebelum unggahan video itu viral, Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyebut sentiman negatif Polri di media sosial masih tinggi. Tahun lalu, ada tujuh juta interaksi media sosial terkait Polri, baik di X, YouTube, Instagram, TikTok, dan Facebook.
Rinciannya, sentimen positif 37 persen, sentimen netral 18 persen, dan sentimen negatif ada 46 persen. Persisnya, 7.128.944 interaksi di media sosial, sekitar 46 persen atau 3.311.485 bernada negatif.
“Tentunya sentimen negatif ini menjadi bagian yang terus kita lakukan perbaikan, sehingga sentimen-sentimen tersebut tentunya bisa kita kurangi. Dan ini tentunya memang juga menjadi dinamika yang terjadi terkait dengan peristiwa-peristiwa yang ada di setiap bulannya,” kata Listyo saat berpidato di acara Rilis Akhir Tahun Polri di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 31 Desember 2024.
“Namun demikian, Polri terus berkomitmen untuk melakukan perbaikan terhadap sentimen-sentimen negatif yang ada di media sosial dengan langkah-langkah nyata di lapangan.
Listyo menambahkan, Polri akan terus menekankan seluruh personel Polri agar terus berbenah, melakukan tindakan dan respons yang cepat, tanpa harus menunggu viral.
“Namun demikian, baik viral maupun tidak viral tentunya menjadi kewajiban seluruh anggota kami untuk melaksanakan respons cepat dan melaporkan segera kepada masyarakat,” imbuhnya.

Data Kekerasan Polisi Tak Pernah Turun?
Pada Tahun lalu, merujuk catatan KontraS, sepanjang Juli 2023-Juni 2024 tercatat, ada 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Dari ratusan peristiwa itu 759 orang menjadi korban luka dan 38 orang tewas.
Selain kekerasan, dalam rentang waktu itu, KontraS juga mendokumentasikan 35 peristiwa extrajudicial killing (Pembunuhan di luar proses hukum) yang menewaskan 37 orang. Jumlah tersebut naik dibanding tahun sebelumnya, meskipun jumlah korban berkurang.
Sepanjang Juli 2023-Juni 2024 berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil pun masih berlangsung.
KontraS menemukan, 75 insiden pelanggaran terhadap kebebasan sipil yang meliputi tindakan pembubaran paksa sebanyak 36 kali, penangkapan sewenang-wenang 24 kali, dan intimidasi 20 kali.
Tahun ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, ada ratusan peristiwa kekerasan yang dilakukan anggota Polri. KontraS melakukan pemantauan terhadap peristiwa sepanjang Juli 2024–Juni 2025.
Hasil pemantauan itu tertuang dalam kertas kebijakan KontraS bertajuk “Hari Bhayangkara 2025: Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang”. Kertas kebijakan itu dirilis menjelang HUT Bhayangkara atau perayaan hari ulang tahun Polri ke-79, 1 Juli.
Wakil Koordinator bidang Eksternal KontraS Andrie Yunus mengatakan, menurut pantauan organisasi itu, angka kasus kekerasan setiap tahun tidak pernah turun.
“Tahun ini terdapat 602 peristiwa kekerasan yang pelakunya adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,” kata dia saat peluncuran kertas kebijakan di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Senin, 30 Juni 2025, dikutip dari situs KontraS.
Terbanyak di Sumatra Utara
Ratusan peristiwa itu tersebar dari Aceh hingga Papua. Provinsi yang menempati urutan pertama adalah Sumatra Utara dengan 127 peristiwa. Lalu, Jawa Timur 79 kasus, dan ketiga Jawa Barat dengan 50 kasus.
Disusul Lampung dengan 39 peristiwa kekerasan, dan Sulawesi Selatan duduk di peringkat kelima dengan 30 peristiwa kekerasan. Total korban dari 602 peristiwa kekerasan itu ada 1.085 orang.
“Dengan rincian 1.043 orang mengalami luka-luka, 42 orang korban meninggal dunia,” ucap Andrie.
Dari angka 1.043 korban orang luka-luka, menurut laporan KontraS, sebanyak 1.010 di antaranya merupakan korban kekerasan yang juga mengalami oleh penangkapan sewenang-wenang oleh Polri.
Jika dikategorikan berdasarkan jenis kekerasan, KontraS mencatat 411 orang merupakan korban penembakan, 81 orang korban penganiayaan, 72 korban penangkapan sewenang-wenang atau arbitrary arrest, dan 43 orang korban pembubaran paksa.
Kemudian, 38 orang menjadi korban penyiksaan, 24 orang korban intimidasi, sembilan orang korban kriminalisasi, tujuh orang korban kekerasan seksual, serta empat orang korban tindakan tidak manusiawi lainya.
KontraS juga mengelompokkan kasus kekerasan berdasarkan satuan kerja kewilayahan. Organisasi itu menemukan kekerasan dalam setahun terakhir paling banyak dilakukan oleh kepolisian resor atau polres, dengan total 389 kasus.

Tugas dan Fungsi Polri
Berdasarkan Pasal 2 UU 2/2002 Polri disebutkan berbagai fungsi kepolisian, yakni sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas dan wewenang kepolisian meliputi tiga hal, yakni:
1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. menegakkan hukum; dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menjalankan tiga tugas utama dan sejumlah tugas lain, wewenang yang dimiliki kepolisian, antara lain:
1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Baca juga: