NASIONAL
Masukan AJI, PWI, dan AVISI Soal RUU Penyiaran: Jamin Kebebasan Pers hingga Lindungi Hak Cipta
Segala bentuk sengketa jurnalistik harus tetap berada di bawah kewenangan Dewan Pers, bukan KPI.

KBR, Jakarta- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap tegas terhadap wacana Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang digodok oleh DPR.
AJI menyampaikan tujuh poin masukan kritis dengan fokus pada penolakan pelibatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam pengawasan ruang digital.
AJI menegaskan rujukan utama dalam penyusunan Revisi UU Penyiaran mesti merujuk pada tiga regulasi yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 1 Tahun 2024, dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) AJI Indonesia, Bayu Wardana menekankan bahwa karakteristik siaran terestrial dan ruang digital sangat berbeda, sehingga tidak tepat jika diawasi oleh lembaga yang sama.
"Karena terestrial ini punya karakter sendiri bahwa ini sumber daya alam yang abadi, tapi terbatas. Jumlah kanal TV dan radio itu pasti ada maksimumnya, karena ada frekuensi yang terbatas dan diakses secara gratis (serentak) sehingga naturalnya itu diatur, pengaturan konten itu lebih ketat. Itu kenapa ada P3SPS, dan sebagainya," katanya Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Penyiaran dengan AJI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan AVISI (Asosiasi Video Streaming Indonesia) di Komisi I DPR RI, Senin (5/5/2025).
"Kalau kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masuk mengurusi ranah internet, kami terus terang tidak bisa membayangkan betapa sibuknya KPI. Sementara pengawasan di penyiaran itu masih compang-camping. Masih banyak error yang masih dipenuhi," lanjutnya.
Maka dari itu, Bayu mengusulkan pembentukan undang-undang khusus untuk ruang digital, misalnya Undang-Undang Digital yang dapat menjadi payung hukum untuk seluruh regulasi terkait internet seperti UU ITE dan lainnya. Namun, ia menyebut jika pengawasan internet tetap dipaksakan masuk ke dalam revisi UU penyiaran.
Bayu menyarankan agar kewenangan KPI dibatasi hanya untuk mengatur layanan Subscription Video on Demand (SVOD) seperti Netflix, untuk konten user-generated seperti YouTube dan TikTok, ia menilai perlu mekanisme moderasi tersendiri melalui platform, bukan oleh KPI.
Sentralisasi Siaran Jadi Salah Satu Faktor PHK Media
Poin penting lainnya, Bayu mendorong untuk mengembalikan sistem siaran jaringan. Ia menyoroti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis dan pekerja media, terutama di televisi seperti TV One, CNN Indonesia, hingga Kompas TV.
Fenomena ini, menurut Bayu, dipicu oleh sentralisasi siaran di Jakarta karena semua program diproduksi di pusat dan disiarkan ke seluruh daerah, maka arus iklan pun terkonsentrasi di ibu kota.
Bayu bilang, hal ini menyebabkan stasiun-stasiun yang membuka biro daerah menjadi kalah secara ekonomi dibanding yang hanya memancarkan ulang atau relay siaran pusat.
"Maka usulan kami agar sistem siaran jaringan itu dikembalikan lagi seperti amanat undang-undang penyiaran. Tidak ada lagi siaran nasional atau siaran nasional dibatasi, siaran lokal diperkuat, sehingga ekonomi akan tumbuh di daerah, iklan tidak lari ke pusat saja, tapi masuk ke daerah," ujarnya.
Sengketa Jurnalistik Diselesaikan Dewan Pers hingga Aturan AI
Bayu juga menegaskan segala bentuk sengketa jurnalistik harus tetap berada di bawah kewenangan Dewan Pers, bukan KPI. Menurutnya, selama ini dalam penyiaran jika terjadi sengketa pers, KPI meminta atau merujuk ke Dewan Pers.
Ia berharap dalam revisi UU penyiaran yang baru, kewenangan Dewan Pers ditegaskan untuk mencegah terulangnya usulan-usulan bermasalah, seperti pelarangan jurnalisme investigasi yang pernah muncul di masa lalu.
Selain itu, Bayu juga mendorong agar penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penyiaran diatur secara khusus dalam revisi UU ini. Ia mengusulkan agar peraturan ini merujuk pada pedoman penggunaan AI yang telah disusun Dewan Pers melalui Peraturan Nomor 01 Tahun 2025.
"Prinsipnya di pedoman ini adalah AI itu membantu, bukan menggantikan. Jadi kalau semua full AI, tetap harus ada manusia yang mengontrol. Karena kita tahu juga AI ini sebagian besar masih buatan orang negeri, maka ada bias-bias budaya juga, itu yang juga harus dikoreksi," jelasnya.
Sementara itu, Bayu menyoroti kurangnya perhatian terhadap lembaga penyiaran komunitas, baik dalam wacana publik maupun dukungan dari negara. Ia menyebut salah satu masalah utama adalah biaya sewa Mux (Multiplexer) digital yang disamakan dengan lembaga swasta.
Baca juga:
- Hapuskan Pasal Larangan Siaran Langsung saat Sidang di RKUHAP
Revisi UU Penyiaran Perhatikan Prinisp HAM
Bayu meminta agar prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi dijadikan konsideran utama dalam penyusunan revisi UU Penyiaran. Ia menolak keras adanya syarat seleksi anggota KPI yang memasukan orientasi seksual sebagai pertimbangan.
"Mau orientasi seksual apapun kalau tidak kompeten ya tidak kompeten gitu saja, tidak ada hubungannya dengan itu dan tentu ini sangat berlawanan dengan HAM. Termasuk juga kebebasan berekspresi seperti budaya-budaya lokal jangan dibatasi, tentu memang ada, itulah kenapa pentingnya TV lokal," pungkasnya.
Terakhir, Bayu meminta agar proses penyusunan revisi UU Penyiaran berlangsung secara transparan dan melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Aji menyambut baik forum RDP yang digelar, namun meminta agar proses selanjutnya juga membuka ruang dialog lanjutan antara pembuat undang-undang dan masyarakat sipil.
"Jadi itu yang disebut menurut MK ya, ini saya bukan menurut saya sendiri, tetapi menurut MK ya partisipasi bermakna itu seperti itu, ada dialog setelah ada usulan," tutup Bayu.
Revisi UU Penyiaran Mesti Bersifat Futuristik
Senada dengan AJI, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Pusat, Wina Armada Sukardi menyampaikan keprihatinan mendalam atas gelombang PHK yang melanda wartawan dan karyawan di berbagai lembaga penyiaran dan pers.
"Banyak sekali, ratusan yang kami ikut prihatin. Ini menunjukkan lembaga penyiaran dan lembaga pers dalam goncangan dan tidak dalam situasi yang baik-baik saja," ucapnya dalam RDPU Bersama Komisi I DPR RI, Senin (05/05/2025).
Wina kemudian menekankan pentingnya agar definisi penyiaran dalam revisi Undang-Undang ini bersifat futuristik dan adaptif terhadap kemajuan teknologi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Menurutnya undang-undang tersebut dianggap mampu mengantisipasi perkembangan dengan menyebut pers sebagai media cetak, elektronik, dan segala saluran yang tersedia.
"Barangkali Undang-Undang penyiaran tidak perlu malu untuk meniru Undang-Undang Pers ini. Karena nanti teknologinya terus maju. Kalau tidak akan terlalu, akan ada revisi-revisi dan akan selalu ada perdebatan-perdebatan," katanya.
Seiring dengan berkembangnya teknologi digital, Wina mencatat penggunaan spektrum frekuensi publik kini semakin menurun, karena masyarakat sudah bisa melakukan penyiaran melalui platform berbasis internet tanpa harus memakai frekuensi milik negara. Ia menuntut perubahan dalam peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang semula mengawasi penggunaan frekuensi agar dievaluasi ulang sesuai konteks baru.
Selain itu, Wina juga mengangkat isu efisiensi dalam lembaga penyiaran publik (LPP) seperti LPP RRI dan TVRI. Menurutnya, dengan anggaran besar ia mempertanyakan indikator keberhasilan LPP tersebut.
"Anggarannya Rp1 triliun. Tapi KPI-nya kayak indikator keberhasilannya apa? Sementara misalnya TV swasta dan radio. TV swasta itu mungkin 500 sudah kebanyakan sekarang sudah PHK," pungkasnya.
Bahkan, Ia menilai struktur kelembagaan seperti yang dimiliki oleh RRI dan TVRI yang mempekerjakan hingga 9.000 orang sudah tidak lagi relevan dan tidak menghasilkan kualitas yang kompetitif. Oleh karena itu, Ia mengusulkan agar dilakukan kolaborasi antara TVRI dan RRI demi efisiensi dan optimalisasi sumber daya.
Persoalan Hak Cipta
Sementara itu, Wina menganggap persoalan hak cipta di dalam penyiaran ini sangat penting. Ia mencatat adanya berbagai sengketa hukum terkait penggunaan konten seperti foto dan siaran berita, yang menurutnya menunjukan perbedaan mendasar antara filosofi dunia pers dengan dunia penyiaran.
"Karena ada beda antara filosofi pers dengan filosofi penyiaran. Kalau penyiaran itu memang dilindungi oleh undang-undang dan terikat kepada kontrak-kontrak komersial. Tetapi kalau berita, kami memandang itu adalah masalah kebebasan," ujarnya.
Wina menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran seharusnya tidak memperbanyak pembatasan atau sanksi yang bisa menghambat kebebasan pers. Sebaliknya, ia menyebut regulasi seharusnya mendorong sinkronisasi antara lembaga pengawas seperti KPI dan Dewan Pers.
Sebelumnya, Wina menyinggung adanya friksi antara KPI dengan Dewan Pers. KPI menganggap semua yang ada di layar kaca adalah ranah kami, sementara Dewan Pers menganggap semua soal pemberitaan adalah ranah kami, meskipun telah diatasi melalui nota kesepahaman (MoU).
Terakhir, Ia menegaskan pentingnya memberikan ruang seluas-luasnya bagi kreativitas dalam ekosistem penyiaran nasional.
"Karena di masa depan penyiaran tergantung kepada kreativitas, maka di dalam ekosistem penyiaran nasional harus diberikan ruang untuk kreativitas. Jadi jangan terlampau diberikan restriksi," tutupnya.
Baca juga:
- Gandeng Polri, Badan Perfilman Indonesia Blunder?
Akomodasi Aturan Siaran Digital
Berbeda dengan AJI dan PWI, Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) memberikan penjelasan komprehensif mengenai karakteristik layanan mereka yang berbeda dengan konten User generated content (UGC). Penjelasan ini sekaligus menjadi upaya untuk mendorong pemahaman yang lebih jelas terhadap ekosistem industri digital streaming, serta pentingnya regulasi dan perlindungan terhadap karya kreatif nasional.
"Jadi kontennya memang terkurasi, dilisensi. Jadi kalau boleh dipadukan, streaming itu semacam XX1. Kita itu kayak bioskop, tapi digital, pakai HP dan pakai TV di rumah," kata Ketua Umum Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI), Hermawan Sutanto dalam RDPU Bersama Komisi I DPR RI, Senin (05/05/2025).
Hermawan menjelaskan terdapat tiga poin utama yang menjadi pembela layanan streaming berlisensi dengan UGC.
Pertama, dikurasi dan dilisensi secara resmi. Kedua, layanan bersifat on demand, dimana pengguna dapat menonton kapan saja setelah melakukan pembayaran. Ketiga, karena sifatnya berbayar, maka pengguna layanan streaming sudah melewati proses identifikasi (KYC atau Know Your Customer) yang diwajibkan dalam sistem keuangan digital Indonesia.
Hermawan juga memaparkan statistik yang menunjukan selera penonton Indonesia masih sangat tinggi terhadap konten lokal.
"Jadi kalau di bioskop box office
terbanyak itu memang lokal, demikian juga di streaming 56% yang nonton itu juga sukanya nonton film atau series lokal," ucapnya.
Layanan Streaming Indonesia Tertinggi
Hermawan menyoroti data dari Media Partner Asia yang menunjukan tingginya permintaan layanan streaming di Indonesia dibandingkan negara-negara lain, baik dari sisi jumlah penonton maupun pertumbuhan nilai ekonomi digital.
Ia menyebutkan layanan streaming juga membantu konten lokal menjangkau pasar global, sekaligus berperan dalam promosi budaya Indonesia dan penggerak ekonomi kreatif nasional.
"Mengingat bahwa pembajakan terhadap konten-konten digital itu juga luar biasa. Kami di asosiasi setiap hari bekerja sama dengan pemerintah untuk bagaimana memberantas pembajakan ini, karena walaupun potensinya besar, walaupun penontonnya banyak, belum semuanya mau menonton secara resmi," katanya.
Hermawan juga menegaskan di industri streaming juga harus mematuhi seluruh regulasi pemerintah Republik Indonesia. Beberapa regulasi yang dipatuhi di antaranya adalah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP), serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 mengenai penyelenggaraan sistem elektronik.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap konten, Ia menjelaskan bahwa AVISI menerapkan empat pilar utama dalam moderasi, pertama klasifikasi usia sesuai standar bioskop nasional, kedua sistem proteksi tambahan untuk film dengan rating usia tertentu (termasuk penggunaan PIN dan kontrol profil), ketiga edukasi kepada masyarakat, dan terakhir kolaborasi dengan pemerintah.
RUU Penyiaran untuk Kepastian Hukum
Mengutip dari ANTARA, Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dirancang untuk adaptif terhadap perkembangan teknologi, tapi juga protektif terhadap ekosistem media nasional.
Saat ini, dia menilai bahwa lanskap penyiaran nasional telah berubah drastis karena platform digital seperti YouTube, TikTok, dan lainnya telah menjadi aktor dominan dalam mendistribusikan konten kepada publik.
"Namun, dominasi ini sering kali tidak diimbangi dengan tanggung jawab yang proporsional terhadap keberagaman konten dan keberlangsungan media nasional kita," kata Amelia saat rapat Panitia Kerja RUU Penyiaran di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.
Dalam perancangan RUU Penyiaran, Komisi I DPR RI pun menyerap aspirasi dari sejumlah lembaga profesi pers, mulai dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Menurut dia, dominasi platform digital jangan sampai merugikan daya saing media nasional, maka prinsip-prinsip atau saran dari PWI dan AJI dibutuhkan untuk dituangkan dalam RUU tersebut.Baca juga: Kemenko targetkan RUU Pemindahan Napi Antarnegara rampung dua bulan lagi
Selain itu, menurut dia, diperlukan sinkronisasi yang tepat antara Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang *Publisher Rights* dan RUU Penyiaran agar hak ekonomi media benar-benar terlindungi, baik dari sisi kepemilikan konten maupun distribusi dan monetisasinya.
Di sisi lain, menurut dia, klasifikasi dan batasan konten dalam "over the top" atau OTT video streaming dapat diadopsi dalam RUU Penyiaran untuk memperkuat perlindungan anak tanpa mengganggu model bisnis dan kreativitas industry.
Menurut dia, perlu ada bentuk regulasi ideal dalam RUU Penyiaran yang dapat menjamin perlindungan publik, sekaligus menjaga kepastian hukum bagi industri OTT Video Streaming yang sudah tunduk pada aturan PSE Komdigi dan regulasi digital lainnya.
"Platform OTT Video streaming, seperti yang diwakili oleh AVISI (Asosiasi Video Streaming Indonesia), telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan industri kreatif nasional dan diplomasi budaya, termasuk melalui penyebaran konten lokal ke audiens global," kata dia.
Baca juga:
- Komnas HAM Dorong Empat RUU Masuk Prolegnas, KUHAP Hingga Masyarakat Adat
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!