NASIONAL

KRIS JKN, "Karpet Merah" untuk Asuransi Swasta?

Bagaimana dengan iuran peserta saat KRIS diterapkan 2025?

AUTHOR / Tim Ruang Publik

EDITOR / Ninik Yuniati

KRIS JKN, "Karpet Merah" untuk Asuransi Swasta?
Warga mengantre di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020). (Foto: Nova/Antara)

KBR, Jakarta - Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan dicurigai bertujuan memberikan "karpet merah" bagi asuransi swasta. Pasalnya, menurut Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno, peserta kelas 1 BPJS Kesehatan bakal dirugikan karena dipaksa menerima layanan yang sama dengan peserta kelas di bawahnya. Mereka inilah yang bakal menjadi pasar bagi asuransi swasta.

"KRIS akan membuka peluang yang lebih luas kepada asuransi kesehatan swasta untuk masuk, dengan cara menggarap kelompok-kelompok kelas 1 yang mereka tidak mau dirawat di kelas standar," kata Agus pada Ruang Publik KBR, Selasa (21/5/2024).

Dulu, peserta kelas 1 bisa menikmati layanan rawat inap dengan kapasitas 1-2 orang per kamar. Di era KRIS, kapasitasnya sama untuk tiap kelas yakni 4 orang per kamar. Dalam konteks asuransi sosial yang bersifat gotong royong, peserta kelas 1 nanti akhirnya hanya menjadi pihak yang memberikan subsidi bagi kelas di bawahnya.

"Apakah kelompok kelas 1 akan dengan sukarela tidak menuntut pelayanan lebih baik, sementara iurannya mereka akan lebih banyak?," tanya Agus.

Agus bilang, iuran kelas 1-3 sebaiknya tetap berjenjang, karena esensinya adalah kegotongroyongan. Namun, perlu beberapa penyesuaian agar dampak penerapan KRIS bisa diminimalkan. Di antaranya, kriteria KRIS mesti dinaikkan agar mendekati kebutuhan peserta kelas 1.

"Sekarang kan di tengah, yang kelas 3 naik, sementara yang kelas 1 turun. Jadi (KRIS) hampir di kelompok kelas 2," ujar dia.

Hal lain yang mesti disesuaikan adalah iuran kelas 3, karena layanan rawat inap yang mereka terima bakal mendekati kelas 2. Namun, jika iuran ditetapkan lebih mahal, peserta kelas 3 bisa jadi bakal keberatan.

"Ini akan menjadi tidak fair bagi pasien kelompok kelas 3, karena dengan sistem ini, mereka dipaksa untuk naik kelas dan menambah biaya atau iuran," jelas Agus.

Selain ke konsumen, KRIS juga bakal berdampak ke rumah sakit. Rumah sakit negeri wajib menyediakan 60 persen fasilitas rawat inap untuk KRIS, sedangkan rumah sakit swasta sebanyak 40 persen.

"Artinya bahwa dalam waktu 1 tahun, rumah sakit harus berinvestasi kembali untuk melakukan pembenahan infrastruktur, dalam konteks pemenuhan KRIS," imbuhnya.

Menurut Agus, YLKI tidak menolak maupun mendukung KRIS, tetapi memberikan catatan. KRIS dinilainya terlalu fokus pada infrastruktur, padahal itu baru sebagian dari keseluruhan layanan yang mesti dibenahi. Dalam pandangan YLKI, yang terpenting bagi konsumen adalah standarisasi layanan di seluruh wilayah sampai pelosok Tanah Air.

"Bagaimana dengan yang ada di daerah-daerah, terutama 3T, apakah mereka juga dapat pelayanan standar yang sama? Sementara di Jakarta, mendapat pelayanan baik, cepat, dan itupun masih ada beberapa permasalahan," ungkap Agus.

Aduan yang masuk ke YLKI, kata Agus, bukan seputar layanan rawat inap, tetapi ke urusan rawat jalan, antrean, dan tindakan medis. Keluhan itu ditemukan di semua kelas. Stigma lebih banyak terjadi antara peserta BPJS dan non-BPJS.

"Jadi bukan 'oh ini kelas 3 yang diperlakukan berbeda dengan BPJS kelas 1'," ujar dia.

Baca juga: KRIS BPJS, Anggota DPR: Jangan Bebani Peserta


Pada forum yang sama, Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, berpendapat, pembedaan perlakuan berdasarkan kelas BPJS Kesehatan masih terjadi di lapangan, terutama pada Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang iurannya dibayar negara. KRIS diyakininya bakal mampu menghapus stigma ini.

"KRIS akan mendorong kesetaraan layanan rawat inap bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Ini satu standar minimum pelayanan untuk rawat inap, sehingga tidak ada lagi perbedaan yang mencolok antara peserta," kata Maftuch.

Menurut Maftuch, KRIS jangan dilihat semata dari perspektif konsumen, tetapi ke paradigma asuransi sosial dan pelayanan publik. Seluruh peserta BPJS berhak atas layanan dengan standar yang sama.

"Kelas standar artinya tidak diarahkan untuk memenuhi keinginan tapi memenuhi kebutuhan. Seringkali pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat inap standar justru mengalami kondisi yang lebih buruk dari kondisi sebelumnya," ucap Maftuch.

Karenanya, bagi mereka yang ingin mendapatkan layanan lebih, memang mesti menambah dengan asuransi swasta.

"Peserta yang memang kaya raya dan mau mendapatkan layanan yang priviledge ya didorong untuk menggunakan asuransi swasta, konvensional," ujar dia.

Maftuch berujar, KRIS bisa menjadi momentum untuk perluasan dan pemerataan kualitas layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Untuk mencapai hal ini, pemerintah pusat harus menggandeng pemerintah daerah.

Ke depan yang harus dipikirkan sebelum penerapan KRIS selambatnya pada 30 Juni 2025 adalah soal penyesuaian iuran kelas 3.

"Kalau (iuran) kelas 3 kita naikkan untuk mencapai kelas standar itu, maka pemerintah harus kita dorong untuk berani menambah iuran peserta PBI," tutur Maftuch.

Besaran iuran peserta BPJS Kesehatan di era KRIS tengah digodok oleh pemerintah. Menurut Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri, iuran hingga soal manfaat KRIS harus sudah ditetapkan selambatnya 1 Juni 2025.

"Ada tambahan layanan kebutuhan dasar kesehatan. Ada 14 skrining yang menjadi hak baru bagi peserta JKN. Dan dampak dari hak skrining tadi akan ditemukan kasus-kasus lebih dini untuk 14 jenis penyakit kronis degeneratif yang berbiaya tinggi," ujar Asih.

Asih memastikan iuran BPJS warga miskin akan tetap ditanggung negara lewat skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Ia menjelaskan KRIS adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kemudian, ditindaklanjuti pada 2018 dengan Peraturan Presiden Nomor 82 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. 

Kala itu, target KRIS dipatok pada 2020, tetapi mundur karena pandemi. Akhirnya, setelah dua kali revisi, 30 Juni 2025 menjadi target yang ditetapkan untuk pemberlakuan KRIS, sebagaimana tercantum dalam Perpres 59/2024.

Asih mengeklaim sosialisasi dan dialog publik bakal terus dilakukan menjelang implementasi KRIS.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!