Revisi sejarah nasional diduga strategi memuluskan gelar pahlawan untuk Soeharto. Disinyalir untuk memaksakan tafsir tunggal dan mengingkari tragedi 1965
Penulis: Heru Haetami, Ninik Yuniati
Editor: Malika

KBR, Jakarta - Baja Suseno (41) menyambut Tim KBR di rumahnya di Tangerang, Banten dengan alunan merdu pianonya.
“Saya akan memainkan lagu berjudul 'Etude in C-sharp Mayor' karya Frederic Chopin," ucap Seno di rumahnya di Tangerang, Banten.
Lagu ini ternyata sering ia mainkan untuk mengenang mendiang kakek, yang sudah berpulang jauh sebelum ia lahir.
"Semoga arwahnya kekal di alam baka,"
Kakek Seno, Sutoyo Siswowitono, diduga dibunuh pada 1965, karena dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak ada yang tahu lokasi persis makamnya. Hanya bersandar pada keterangan saksi mata.
Kata Seno, pamannya pernah diberitahu seorang penggembala kambing yang mengaku tahu di mana Sutoyo dibunuh.
"Nang kene iki lho, swargi, ayahmu, Sutoyo Siswowitono diperjoyo. Di sini lah, tempatnya. almarhum Bapak Anda, Sutoyo Siswowitono disiksa sampai meninggal,” kata Seno menirukan cerita pamannya.
Jasadnya diyakini terbaring bersama ratusan korban lain di kuburan massal Sonolayu, Boyolali, Jawa Tengah. Pusara tak bernisan, tanpa nama, hanya gundukan tanah.
Sejak masih bocah Seno sering diajak berziarah, saban pulang kampung ke Boyolali. Suatu kali, saat perjalanan di mobil, Seno kecil, tiba-tiba berceletuk ke ibunya.
“Mbah Kakung (kakek) meninggalnya kenapa?,”
Pertanyaan anak 12 tahun ini tak berbalas jawaban. Ibunya tiba-tiba menangis sejadi-jadinya.
“Dia menangis yang sangat sedih sekali. Seperti bapaknya itu meninggal dengan cara yang tidak wajar. Agak aneh aja, biasanya orang meninggal, wajarlah karena sakit atau apa. Kalau ini, nangisnya sedih banget, nangis agak lama,"
Hari itu, Seno hanya terdiam, meski penasaran.
Saat beranjak dewasa, perlahan rasa ingin tahunya terjawab.
“Ada saksi mata yang melihatnya dia (kakeknya) dibunuh di kuburan massal Sonolayu. Karena saat itu pembunuhan dilakukan secara terbuka, terang-terangan. Ditonton masyarakat. Jadi banyak saksinya,"
“Saya kaget juga, keluarga saya mengalami sesuatu yang begitu kejam, ya sedih,”

Baca juga: Menyusuri Gua Pembasmian PKI di Gunung Kidul
Seno sehari-hari bekerja sebagai guru musik. Ia tinggal bersama ibu bapaknya, Endang Kustantinah dan Bedjo Untung.
Endang tampak mungil, di antara suami dan putra sulungnya yang berperawakan tinggi besar. Ia tak banyak bicara, tetapi selalu melempar senyim saat diajak berbincang.
Namun, begitu disinggung kejadian 1965, Endang langsung menggelengkan kepala, raut mukanya mendadak sendu.
"Aduh, saya kalau inget kejadiannya itu sedih, nggak bisa. (Atau main ke Boyolali?) ish, Boyolali lagi, saudara Saya sudah trauma," ujar Endang.
Seno, si sulung, baru tahu cerita sebenarnya saat remaja. Endang mengungkap kisahnya sedikit demi sedikit. Saking beratnya mengingat peristiwa kelam di minggu ketiga Oktober 1965, saat Endang berusia 7 tahun.
Itu momen terakhir ia melihat sang ayah, Sutoyo Siswowitono. Tangisnya selalu pecah disulut rasa bersalah. Ia anggap dirinyalah penyebab ayahnya ditangkap dan tak pernah kembali.
“Saat itu, bapaknya sudah lari, tetapi karena ibu saya nangis terus dan mencari ayahnya. Sengaja ada orang yang mancing dia untuk keluar dari persembunyiannya. 'Bapak Sutoyo, anakmu kui lho, nangis terus'. Dia nggak tega, akhirnya dia keluar dari persembunyiannya,”
Kala itu, Sutoyo dicari tentara karena dituduh kader PKI. Anggota dan simpatisan partai berlambang palu arit gencar diburu usai peristiwa Gerakan 30 September 1965. PKI dituding mendalangi.
“Tidak berselang lama, tidak lebih dari satu jam, jam 7 malam itu sudah dikepung oleh massa yang beringas yang dimobilisasi oleh tentara Angkatan Darat dari luar kota, dan dua orang tentara bersenjata lengkap laras panjang. Mereka menggedor-gedor tembok rumah, kemudian merampok apa saja yang ada di rumah termasuk gitar, manik-manik, bahkan telur yang sedang dierami induknya juga ikut dijarah,”

Baca juga: Pengakuan Anak Tapol 65: Buka Identitas karena Ayah Akhirnya Diakui UGM
Sutoyo diculik, hilang tanpa jejak, meninggalkan istri, dan dua bocah perempuan, Endang dan adiknya.
Mereka mencari keberadaan Sutoyo hingga ke kamp penjara di Tangerang, tetapi nihil. Bahkan, sempat kena tipu tetangganya yang memberi petunjuk palsu.
“Cerita mbah putri (nenek) dari ibu. Ketika suaminya, mbah kakung (kakek) sudah dibunuh, itu masih saja dimintai uang, ditipu. Ditipu katanya ada di tahanan. Di sini minta uang, minta pakaian, sama orang-orang yang dengki dengan mereka. Sudah meninggal saja, masih diperas. Akhirnya keluarga ibu jatuh miskin. Sampai makan hanya dengan jagung rebus,"
Dari cerita ibu, Seno mendapat gambaran tentang kekejaman rezim Orde Baru terhadap orang-orang yang diduga PKI di masa itu.
“Ibu masih tahu sempat terjadinya arak-arakan massa yang dipenggal, dipotong telinganya, terus mulut itu digembok, bayangin mulut digembok, gimana rasanya itu ya?,"
Seiring waktu, Seno tahu keluarga besarnya adalah korban tragedi 1965, dari pihak ibu maupun ayah, Bedjo Untung.
Selain mendapat kesaksian dari keluarga, Seno juga menggali sendiri lewat buku-buku.
Salah satu buku yang membuka matanya adalah "Kesaksianku" karya Soebandrio, eks Menteri Luar Negeri era Soekarno.
“Itu benar-benar mengupas tuntas sepak terjang Soeharto sesungguhnya, siapa yang dalam pada peristiwa G30S itu,"
"Yang ada di sekolah, kan, kurikulumnya Orde Baru. Hanya tentang G30S PKI saja, tentang pembantaian yang terjadi setelahnya, nggak diceritakan,"
Seno kemudian aktif di Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 yang didirikan Bedjo Untung, ayahnya.
Di sana, Seno bertemu dengan banyak penyintas dan keluarga korban. Kesaksian-kesaksian mereka kian menguatkan: pembantaian massal itu nyata, meski negara tutup mata.

Kisah Tapol Bernomor 7009
Menjelang sore, Tim KBR diajak Bedjo Untung, ayah Seno, mengunjungi Lapas Pemuda Tangerang, tempatnya dulu dikurung selama enam tahun sebelum akhirnya bebas pada 1979.
Tak terhitung berapa kali Bedjo mengajak jurnalis, peneliti, mahasiswa, hingga aktivis, dari dalam dan luar negeri, berkeliling ke situs-situs kerja paksa di Tangerang.
Fakta-fakta tragedi 1965 harus terus dibuka, jangan sampai terhapus dari memori bangsa.
Bedjo dibawa ke kamp kerja paksa Tangerang pada 1973. Tapol dengan nomor 7009.
Bersama ribuan tapol lain, Bedjo diperbudak mengurus pertanian dan peternakan di areal seluas 100 hektare lebih. Banyak yang sudah beralih rupa, menjadi pusat perbelanjaan hingga taman kota.
“Ini sekarang menjadi Tangcity (Tangerang City), ini termasuk mal yang terkenal di Tangerang, ramai dikunjungi orang. Yang dulunya masih wilayah kandang kerbau. Nah, sebelah kanan, ini Areal 1 (kamp kerja paksa). Ini berubah jadi kantoran semua,”
Para tapol dipenjara tanpa proses pengadilan, diperlakukan tidak manusiawi, dan hidup dalam kondisi memprihatinkan. Berburu tikus, keong, hingga ular untuk dimakan, menjadi cara tapol bertahan hidup.
“Saya menggali tikus, dan mendapatkan cindil, anak tikus yang masih merah-merah itu langsung saya telan. Ada empat ekor. Saya kekurangan gizi, (jadi) makan aja, ini yang ada. Makan tikus, kadal, keong, dapat ular juga di situ,"
Bedjo juga mengalami bermacam kekerasan dan penyiksaan selama sembilan tahun menjadi tapol.
Yang paling membekas, saat ia disiksa di markas Tim Operasi Kalong di Jalan Gunung Sahari, Senen, Jakarta pada 1970.
“Waktu saya disetrum, kanan kiri itu dialirkan listrik ke ketiak, itu rasanya kayak orang dipukul bertubi-tubi, kuenceng, sehingga saya nggak kuat, keluar keringat dingin. Saya mengalami betapa dahsyatnya itu penyiksaan. Baju-baju dilepasin semua, saya bertahan sampai menggelepar,”
Markas Tim Kalong, kata Bedjo, dikenal sebagai kamp penyiksaan paling sadis. Bedjo yang saat itu berusia 22 tahun, dicecar soal keterlibatannya di G30 S.
Ia juga dipaksa mengidentifikasi sejumlah nama yang tengah diincar aparat.
“Di hari pertama (ditangkap) tiap malam itu ada jeritan. Jeritan orang-orang yang disiksa. Orang mengaduh. Terus suara-suara meja yang patah, gebrakk! Pagi-pagi saya lihat udah mereka digotong berlumuran darah. Ada yang diselomot disundut puntung rokok, ada yang dipukuli, itulah kondisi di Kalong,”
Bedjo ditahan bersama ratusan orang di ruangan sempit. Mereka dilarang berbicara, jika melawan, bakal dihajar. Saking pedihnya siksaan, ada yang sampai mengakhiri hidup di tahanan.
“Saya melihat sendiri ada tapol yang tidak tahan siksaan, mungkin dia stres, bunuh diri. Saya lihat ada dua orang. Terjun (ke) sumur, dia bunuh diri. Satu lagi, gantung diri,”

Bebas tetapi Semu
Selama dua tahun, Bedjo ditahan di sana, kemudian dipindah ke penjara Salemba hingga 1973. Enam tahun berikutnya, ia habiskan di kamp kerja paksa di Tangerang.
Pada 1979, Bedjo keluar dari tahanan, bersamaan dengan gelombang pembebasan massal yang dilakukan rezim Orde Baru. Tak sepenuhnya bebas. Para tapol tetap diawasi, wajib lapor, distigma, sulit dapat kerja, dan dibatasi hak-haknya.
Bedjo bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Ia kemudian menikah dengan Endang Kustantinah dan dikaruniai dua putra.
Pada 1999, Bedjo mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, untuk mengungkap kebenaran tragedi pembantaian massal 1965.
Lebih dari 25 tahun, Bedjo mendokumentasikan suara para korban dan melakukan riset tentang kuburan massal tapol 1965.
“Dan saya menemukan 356 orang lokasi kuburan massal. Ini untuk generasi muda, bahwa tahun 1965 itu bukan hoaks, bukan rumor, tetapi ada pembunuhan massal yang dilakukan oleh tentara,”
Di usianya yang senja, 77 tahun, Bedjo tak surut berjuang. Sudah lima presiden ia tantang untuk mengungkap kebenaran.
Negara tetap ingkar dengan fakta pembantaian massal 1965. Alih-alih mengakui, Negara malah selalu mencari celah mengutak-atik sejarah.
“Saya tidak banyak harap atas pemerintahan sekarang ini. Saya dari awal tidak bisa menerima dan tidak bakalan percaya kepada Prabowo karena Prabowo, dia seorang yang diduga pelaku kejahatan manusia, penculikan mahasiswa. Jadi pasti segala sesuatunya menutupi,”
Kontroversi Revisi Sejarah
Benar saja. Baru beberapa bulan dilantik, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menggulirkan proyek kontroversial: penulisan ulang sejarah Indonesia.
Seratusan penulis dan puluhan editor terlibat.
Targetnya fantastis. Januari 2025 dimulai, Agustus 2025, sejarah baru, dirilis.
Proyek ini ditentang keras para aktivis dan korban pelanggaran HAM. Bedjo menduganya bagian dari skenario menggolkan gelar pahlawan bagi Soeharto.
“Sejarah yang akan dibuat oleh Fadli Zon memang sejarah yang ingin memutihkan, ingin mencuci muka, seolah Soeharto adalah orang baik tidak melakukan kejahatan. Justru 1965 adalah kejahatan Soeharto yang luar biasa,”
Gelombang kritik itu berbuah. Sejarah hasil penulisan ulang batal dirilis pada 17 Agustus 2025, di HUT ke-80 RI.
Namun, alih-alih batal, Fadli Zon ngotot sejarah baru itu tetap dirilis tahun ini, saat peringatan Hari Pahlawan 10 November. Fadi bahkan bilang, mestinya revisi sejarah sudah dilakukan sejak lama.
"Jadi kalau dibilang kok seperti terburu-buru menurut saya tidak. Karena memang sudah ahlinya masing-masing di bidangnya masing-masing ya. Jadi sebenarnya kalau kita terbitkan sekarang itu kita sudah sangat sangat-sangat terlambat sekali,” kata Fadli dalam kata sambutannya saat uji publik penulisan buku sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, 25 Juli 2025.
Baca juga: Eksil 1965, Sarmadji: Saya Tidak Ada Keinginan Pulang

Pada Agustus 2025 lalu, politikus Gerindra ini mengklaim revisi sejarah sudah rampung ditulis, tinggal proses pengeditan.
Dalam empat uji publik di beberapa kampus, peristiwa G30S PKI masih tercantum dalam draf sejarah baru. Pembantaian massal atau genosida terhadap anggota dan orang-orang yang dituding terkait dengan PKI tak disinggung.
Utang Negara
Menurut sejarawan Universitas Nasional, Andi Achdian, jika pembantaian massal tidak termuat dalam revisi sejarah, maka bakal dianggap tidak ada, tidak diakui.
“Dianggap tidak pernah terjadi. Itulah bahayanya dari versi resmi. Secara ofisial, Anda tidak eksis”
Andi bilang, pemerintah terus berkelit dari tanggung jawab atas Tragedi 1965.
“Karena kalau udah masuk pembahasan tentang genosida, kan, ada tanggung jawab negara, tentang kejahatan ini apa. Jadi kembali argumennya: tidak ada dokumen-dokumen resmi yang menunjukkkan bahwa ini sistematis, ini tindakan-tindakan yang sifatnya akan disebut sebagai genosida,”
Padahal, riset Andi pada 2000 terkait G30 S menunjukkan ada pola kekerasan sistematis yang digerakkan sehingga berujung pembunuhan massal. Tentara diduga aktor utamanya.
“Kita jelas tahu bahwa kekerasan dalam skala besarnya itu memang tidak spontan. Jadi, dia digerakkan. Coba saja lihat baca di laporan komnas HAM tentang bagaimana keterlibatan (TNI) Angkatan Darat dalam kekerasan itu,”
Harusnya, fakta-fakta ini masuk revisi sejarah.
“Problem '65 adalah sebuah kekerasan paling besar dalam sejarah Indonesia, 500 ribu-1 juta orang, meninggal, dibunuh dalam peristiwa itu. Dan sisanya puluhan juta, kan, dalam tahanan dan disingkirkan dsb, tanpa proses hukum,"
"Itu sebuah peristiwa yang paling tidak menjadi catatan gelap di dalam sejarah Indonesia dan sampai sekarang tetap menghantui kita semua, karena memang kita nggak pernah mau deal, atau kita nggak pernah menjadikan itu sebuah problem yang ingin kita selesaikan, seperti orang Jerman dengan Holocaust. Di kita, kan, nggak tuntas,”
Kata Andi, penulisan ulang sejarah oleh penguasa selalu kontroversial, karena cenderung manipulatif.
“Saya sejak awal selalu bilang, lebih baik pemerintah atau negara nggak usah nulis. Biarkan itu sebuah proses demokrasi, di mana kalau kita berbeda pendapat, ya beda pendapat yang setara di antara sejarawan,"
"Kalau yang sponsored by the state, kejadiannya selalu kontroversial. Karena kecenderungan untuk membersihkan diri, cuci sejarah menjadi niscaya dalam prosesnya,”
Andi curiga ini upaya memuluskan gelar pahlawan bagi Soeharto
“Buku ini menjadi semacam pembenaran atas kepahlawanan Soeharto. Coba lihat ininya di Depsos (Kementerian Sosial), ada kajiannya dulu, yang menjadikan bahwa nanti layak diangkat sebagai pahlawan nasional. Jadi nanti bisa aja, 'oh ini lho, sejarah nasional udah ngomong gini', dan akan lebih valid,"
Bersama para sejarawan dan tokoh di Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Andi mendesak proyek revisi sejarah dibatalkan seluruhnya.
Negara fokuslah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan. Bukan malah sibuk memoles sejarah.
“Kita nggak perlu menunggu negara menulis sejarah untuk kasus itu diadili. Sudah pasti, sejak awal, kasus itu memang harus diadili. Dan sejarawan mengukuhkan cerita itu, menjaga supaya tidak hilang,"
"Yang namanya investigasi tentang kasus pelanggaran HAM, Komnas HAM sudah melakukan penelitian terhadap pelanggaran HAM-nya, problemnya adalah dibiarkan,”

Bonnie Triyana, anggota DPR Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan, bakal menolak proyek revisi sejarah oleh pemerintah, jika isinya pengingkaran kebenaran.
Ia sangsi dengan kualitas proyek tersebut, karena prosesnya kilat dan tidak transparan. Bonnie juga dikenal sebagai sejarawan terkemuka dan penulis buku. Menurutnya, pengerjaan proyek semacam ini butuh minimal 2 tahun.
Di dalamnya mestinya memuat temuan-temuan baru yang bisa menjadi pembelajaran bagi bangsa.
"Bukan hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk penyelenggara negara itu sendiri. Karena kita seringkali bilang generasi muda harus belajar sejarah, masyarakat harus belajar sejarah, tetapi reproduksi atas kesalahan dari masa lalu tetap berjalan. Artinya kita gagal dong belajar sejarah,”
Bonnie memahami suara penolakan masyarakat sipil terhadap proyek ini. Mereka khawatir tafsir tunggal penguasa seperti di era Orde Baru, bakal terulang.
“Dia akan menjadi buku babon, buku sejarah nasional. Kemudian dia diajarkan, dia akan membentuk memori kolektif melalui mekanisme pengajaran pendidikan. Dengan begitu terbentuk di isi kepala orang kebenaran itu satu, ini yang paling benar. Khususnya untuk peristiwa-peristiwa yang sangat sensitif berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan. Ini yang kita hindari,”
Bonnie menekankan jangan sampai revisi sejarah justru mengaburkan upaya penuntasan utang-utang kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kita nggak ingin peristiwa-peristiwa tertentu, apalagi misalkan peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai bentuk pengakuan negara atas 12 kasus ini, itu justru tidak ada kisahnya,”
Merawat Memori
Dentingan piano Baja Suseno akan terus mengalun, merawat ingatan akan sang kakek, Sutoyo Siswowitono, korban pembunuhan massal 1965. Musik itu juga persembahan sunyi bagi ribuan korban lain yang tak kunjung diakui negara.
“Yang saya harapkan Negara mengakui, bertanggung jawab, dan minta maaf. Untuk masalah kompensasi itu masalah nanti, yang penting minta maaf dulu. Minta maaf saja nggak mau apalagi kompensasi. Sudah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, tidak mau minta maaf lagi, malah ngaku-ngaku sebagai korban. Apa nggak gila itu?,”
Proyek revisi sejarah oleh penguasa yang ugal-ugalan tak bikin Seno ciut. Ia tak pernah takut menyandang status anak-cucu eks Tapol PKI.
“Kita nggak bersalah kok. Justru yang ketakutan mereka, para pelaku dan penjahat itu. Sebisa mungkin kejahatannya ditutupi dengan terus-menerus menebarkan berita bohong. Rakyat ditipu, dikibulin, dibohongin dengan cerita-cerita ngarang, ngawur,”
Namun, resah tetap menghantui batinnya. Bagaimana jika sejarah baru versi penguasa benar-benar dipaksakan?
“Korban sangat dirugikan, nama baiknya akan terus tercemar dan khawatir akan kejadian itu akan bisa terulang lagi. Terus itu selalu di persekusi teror, intimidasi," pungkas Seno.
Penulis: Heru Haetami, Ninik Yuniati
Editor: Malika