NASIONAL

Kontroversi Rencana Kenaikan PPN 12 Persen

Kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025.

AUTHOR / Astri Yuana Sari

Kontroversi Rencana Kenaikan PPN 12 Persen
Ilustrasi - petugas pajak melayani warga yang mengikuti program pengampunan pajak tax amnesty di Kantor Ditjen Pajak Jakarta. (Foto: ANTARA/Atika Fauziyah)

KBR, Jakarta- Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Semula tarif PPN ialah 11 persen. Kenaikan ini sesuai amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kenaikan dilakukan untuk keberlanjutan program Presiden Joko Widodo.

"Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan. Bahwa pilihannya adalah keberlanjutan. Tentu kalau keberlanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk dalam kebijakan PPN," kata Airlangga dalam media briefing, Jumat, (8/3/2024).

PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa, namun penerapannya tidak dipukul rata. Ada beberapa jenis barang dan jasa yang tidak akan terdampak kenaikan tarif PPN tahun depan, karena memang dikecualikan. 

Beberapa barang yang tidak dikenai PPN antara lain barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkam rakyat banyak, atau sembako. Antara lain beras, kedelai, jagung, sagu, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. 

Airlangga menjelaskan, kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025.

"Detailnya ini satu bulan ke depan. Jadi tentu satu bulan ke depan itu sudah ada keputusan dari KPU tanggal 20 Maret. Sehingga dengan demikian, program APBN 2025 kan pelaksananya adalah pemerintah yang akan datang. Jadi pemerintah yang akan datang akan mendapatkan kepastian sesudah pengumuman KPU. Dan tentu program yang perlu masuk dalam APBN adalah program yang akan dijalankan pemerintah mendatang," imbuhnya.

Beban Modal Kerja

Sebagian kalangan pengusaha mengatakan, kenaikan PPN akan menambah beban modal kerja, sehingga akan berdampak pada daya beli produk yang dipasarkan di dalam negeri. Padahal menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19.

"Masih relatif belum bisa kembali seperti sebelum COVID ya, menuju ke sana iya, tapi masih belum kembali seperti sebelum tahun 2019. Jadi ada beberapa beban, karena kenaikan upah juga kan belum bisa mengimbangi kenaikan harga. Upah ini kan tiap tahun memang naik, tetapi akibatnya juga itu akan menjadi beban juga di biaya produksi, untuk khususnya di industri manufaktur," kata Benny dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu, (13/3/2024). 

Potensi Menurunkan Daya Beli Masyarakat

Sebagian lain mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan PPN 12 persen. Semisal Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI Agus Sujatno. Alasannya kata dia, kenaikan tersebut berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Kenaikan juga bakal berdampak dan merugikan kelompok ekonomi menengah ke bawah.

"Ini bulan Maret sampai dengan Oktober itu masih ada waktu untuk kemudian merevisi ataupun mengkaji ulang keputusan yang ada di dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021. Karena itu kan diturunkan dalam peraturan pemerintah. Masih ada ruang untuk itu dan tampaknya kalau kita melihat dinamika ekonomi masyarakat saat ini, kenaikan PPN 12 persen di 2025 memang perlu dikaji ulang atau direvisi," kata Agus kepada KBR, Kamis (14/3/2024).

Menurut Pengurus Harian YLKI Agus Sujatno, perubahan tarif PPN akan berdampak pada kenaikan produk dan jasa di hilir. Meski begitu, dia meyakini kenaikan PPN tidak akan berpengaruh terhadap komoditas sembako atau bahan pangan pokok. 

Tertekan

Hal sama juga dikatakan ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Kata Bhima, kenaikan PPN akan membuat masyarakat menengah tertekan.

"Berkaitan dengan penyesuaian tarif PPN 12 persen ini adalah kebijakan yang kontradiktif, karena masyarakat sekarang sedang menghadapi kenaikan harga pangan terutama beras, kemudian juga suku bunga masih tinggi, kesempatan kerja masih sangat susah. Kalau ditambah adanya penyesuaian tarif 12 persen PPN, maka implikasinya tentu akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, karena kelompok menengah yang membayar PPN ini semakin tertekan." Kata Bhima Yudhistira kepada KBR, Rabu, (13/3/2024).

Bhima mengatakan, kenaikan PPN akan berdampak ke banyak sektor, seperti barang elektronik, otomotif, suku cadang kendaraan bermotor, hingga pakaian jadi. 

Kata dia, jika masyarakat tidak siap dengan kenaikan harga barang, maka pelaku usaha akan menyesuaikan produksi, Kalau itu terjadi, maka akan ada ancaman PHK di berbagai sektor.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!