NASIONAL
Ketika Korban Kekerasan Seksual Mengadu ke Komika Ketimbang Lapor Polisi
Setelah komika Eky Priyagung mengunggah konten, beberapa orang yang mengadu mengalami kekerasan seksual semasa kecil.

KBR, Bandung - Komika Eky Priyagung membuat media sosial gempar lantaran mengungkap dugaan kekerasan seksual yang menimpa dirinya sewaktu anak-anak. Kepada KBR Media, dia menjelaskan kekerasan seksual itu terjadi pada 2009-2010, saat dirinya berusia 13-14 tahun.
Insiden itu melibatkan ustaz berinisial S yang merupakan pimpinan taman pendidikan AlQuran di Makassar, Sulawesi Selatan. Kejadian itu, kata Eky, membuat dirinya trauma ke masjid.
Pada 22 April 2025 atau sehari setelah dia mengunggah konten itu, muncul beberapa orang yang mengaku mengalami kejadian serupa semasa kecil. Melalui direct message, korban menceritakan pengalaman mereka menjadi korban dugaan kekerasan seksual di masjid yang sama.
"Di sini terungkap bahwa kasus ini juga memiliki pelaku lain yang korbannya juga perempuan. Ia mengaku tapi teman-temanya yang menjadi korban belum mengaku secara langsung," ujarnya.
Setelah unggahannya memantik banyak reaksi dan viral, Eky bilang ada pihak yang mengirim pesan ke Instagramnya meminta agar konten dihapus.
Dia lalu mengunggah Instastory untuk meminta tolong bagaimana cara mengungkap kasus pelecehan di masa lalu.
"Setelah itu direct message yang mengaku korban yang sama mulai membanjiri, baik korban secara langsung maupun diperantarai teman atau keluarga, terjadi sejak 2008 sampai baru baru ini," tuturnya.
Dari penuturan beberapa korban ke Eky, banyak di antara mereka yang tidak berani berbicara secara terbuka.
"Karena pelaku cukup disegani warga dan dipercayai sebagai citra ustaz yang baik karena semua saudaranya adalah pemuka agama. Ada bahkan yang bercerita selalu ada tumbal tahunan yang jadi korban, menyasar anak-anak yang bisa ditekan," jelasnya.
Membuat Wadah Komunikasi
Karena aduan terus bertambah, Eky membuat grup WhatsApp bernama “Murid Walid” pada 24 April. Grup beranggotakan korban dugaan kekerasan seksual dan perantara.
Walid adalah karakter pemimpin sekte dalam serial drama berbayar apikasi Vie yang populer di Malaysia dan Indonesia.
"Grup itu dijadikan sebagai tempat untuk mendata korban, kejadian tahun berapa dan siapa pelakunya. Belum semua korban masuk grup dan belum semua korban yang masuk grup percaya diri untuk mendata diri," ucapnya.
Dari grup itu, ada salah seorang korban mengunggah foto bukti terduga pelaku ustaz S meminta maaf usai dia berkirim pesan melalui WhatsApp.
Baca juga:
- Dokter PPDS Unpad Pemerkosa Keluarga Pasien Jadi Tersangka
- Ragam Faktor Kekerasan Seksual Kaum Terpelajar
Eky menyebut berdasarkan aduan yang diterima, jumlah korban bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang.
"Karena kasus ini bisa diprediksi sejak 2004 karena ada kesaksian warga lain, ini lebih dari 20 tahun. Korban bisa saja ratusan. Dan kita tidak pernah bisa mendata semua korban kalau kita tidak satu pemahaman. Ini bukan aib, ini kemaslahatan," ujarnya.
Dari korban yang mengadu kepadanya, dugaan kekerasan seksual terakhir terjadi di Agustus 2024. "Korban ada dua namun yang speak-up masih diwakili satu korban," tuturnya.
Sejauh ini kata dia, korban paling banyak berasal dari terduga pelaku ustaz S. Sedangkan pelaku lain berinisial A ada tiga korban, tetapi yang mengadu dari perantara korban ada sebelas orang, dan korban dari terduga pelaku G ada enam orang.
"S dia sebagai pimpinan TPA, A sebagai pengajar TPA, G sebagai jemaah, semuanya dalam satu masjid yang sama. Sejauh ini korban paling banyak dari S korban cowok semua," katanya.
Eky pun berharap agar pihak-pihak terkait dari kalangan pemerintah maupun penegak hukum untuk jemput bola mengusut kasus ini, termasuk memberi pendampingan kepada korban.
Jemput Bola
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan pemerintah dan kepolisian semestinya lebih proaktif.
"Kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kasus yang sangat memprihatinkan, bahkan Kementerian PPPA sendiri mencatat ada 28.831 kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2024, di antaranya kasus berkaitan dengan kekerasan seksual," kata Arif kepada KBR, Jumat (25/4/2025).
Kini sudah ada Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan. "Nah ini penting untuk disosialisasikan dan juga ditegakkan terus ada mekanisme komplain yang kemudian diatur," ucapnya.
Menurutnya, aturan itu harus disosialisasikan lebih masif supaya korban maupun keluarga korban bisa mengadu.
"Dalam kasus-kasus seperti ini acapkali korban atau keluarganya bingung ya atau dibilang aib bahkan ketakutan, mengalami trauma karena ini menyakitkan secara psikis sehingga butuh pendampingan," tuturnya.
Arif bilang sudah semestinya pemerintah dan polisi jemput bola, apalagi kasus ini sudah viral di media sosial.
"Saya pikir karena ini sudah dibuka ke publik oleh korban, harusnya aparat penegak hukum bisa jemput bola tanpa harus menunggu ada pengaduan dari korban, harapannya begitu. Akan lebih baik jika ada pengaduan dari korban sendiri, namun kita tahu korban kekerasan seksual secara psikologis memang berat untuk memiliki keberanian," tuturnya.

Rehabilitasi
Berdasarkan data SIMFONI-PPA, kasus kekerasan seksual pada tahun 2023 tercatat sebanyak 13.156 kasus. Jumlahnya meningkat menjadi 14.459 di tahun berikutnya. Sepanjang tahun ini, kasus kekerasan seksual yang tercatat mencapai 3.263 (hingga 29 April 2025).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dian Sasmita mengatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) dan polisi perlu merespons kasus ini.
"Ini kejahatan seksual, korbannya sudah ada lebih dari satu dan dilakukan sudah bertahun-tahun. Artinya pelaku kejahatan ini sudah mengakibatkan derita yang sangat luar biasa bagi korbannya baik perempuan maupun laki-laki," ucapnya kepada KBR, Jumat (25/4/2025).
KPAI meminta kepolisian mengacu kepada UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) daerah setempat, juga mesti bergerak.
"Melakukan respons proaktif menjangkau kepada para korban untuk memastikan setiap korban mendapat dukungan pendampingan dan rehabilitasi," katanya.
"Mau dia lapor atau tidak, itu harus mendapat dukungan rehabilitasi karena setiap kejahatan seksual mengakibatkan penderitaan dan penderitaan itu tidak hanya berdampak fisik dan psikis, emosional namun juga bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak dan masa depannya," imbuhnya.
Dia menegaskan kasus semacam ini tak bisa direspons sederhana, melainkan harus diusut serius.
KPAI mengingatkan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan di luar peradilan formal.
"Itu berdasarkan Pasal 23 UU TPKS, jadi pelaku harus mempertanggungjawabkan pidananya sesuai hukum yang ada dan kedudukan pelaku sebagai guru agama itu masuk dalam klasifikasi yang mendapatkan pemberatan pidana sepertiga," ujarnya.
KPAI bakal mendorong KemenPPPA lewat layanannya SAPA 129 untuk proaktif berkoordinasi dengan Eky agar bisa menjangkau langsung para korban.
"Kami juga akan berkoordinasi dengan para pihak terkait seperti UPTD PPA, kepolisian polda polres, semua pihak yang terlibat dalam penanganan kasus ini," tuturnya.
Kepolisian mengklaim tengah mengusut kasus dugaan kekerasan seksual di salah satu masjid di Makassar tersebut. Kapolrestabes Makassar Arya Perdana mengatakan sudah menghubungi Eky supaya membuat laporan.
Dia bilang harus ada korban yang melapor agar penyelidikan bisa berjalan. Dia juga mengimbau korban lain melapor ke polisi.
Baca juga:
- No Viral No Justice, Wujud Kegagalan Reformasi Polri
- Nasib NJ, Lapor Kekerasan Seksual ke Polisi, Malah jadi Korban
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!