"Menggugat, melaporkan ke institusi tertentu dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM itu hak warga negara, yang diatur di undang-undang."
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengakui program unggulannya, Makan Bergizi Gratis (MBG), masih menyisakan sejumlah masalah. Salah satu yang paling mencuat belakangan ini adalah keracunan massal. Namun, menurut kepala negara, masalah itu hanya dialami sebagian kecil dari total penerima manfaat yang diklaim mencapai 30 juta orang.
“Bahwa ada kekurangan, iya. Ada keracunan makan, iya. Kami hitung, dari semua makanan yang keluar, penyimpangan atau kekurangan atau kesalahan itu, adalah 0,00017 persen. Ini tidak membuat bahwa kami puas dengan itu. Tetapi, namanya usaha manusia yang demikian besar yang belum pernah dilaksanakan, saya kira dalam sejarah dunia,” kata Prabowo saat berpidato di Munas VI PKS di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Meski ada kekurangan, Prabowo mengklaim MBG memberi banyak manfaat bagi masyarakat luas.
“Ada kekurangan, ada. Tetapi, manfaatnya sangat-sangat besar,” ujarnya.
Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), korban keracunan MBG hingga 27 September 2025 mencapai 8.649 orang. Di Kabupaten Bandung Barat, jumlah korban mencapai lebih dari seribu anak. Ribuan kasus itu membuat pemerintah daerah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) MBG.
Menurut Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana, sengkarut masalah di MBG disebabkan lemahnya pengawasan dari DPR.
“Sebagai perwakilan rakyat seharusnya bekerja gitu ya. Evaluasi total itu, evaluasi secara serius MBG, bahkan evaluasinya bukan hanya soal pelaksanaannya, tetapi juga bagaimana proses perencanaannya, kemudian proses pelaksanaan MBG sampai seluruh semuanya lah ya. Dan apakah ada korupsi, apakah ada macam-macam. Dan itu seharusnya dilakukan oleh DPR RI dulu ya, mekanisme pengawasan itu. Tidak justru DPR itu hanya kasih stempel pemerintah, diam saja, tidak bekerja begitu ya,” kata Arif kepada KBR, Kamis (25/9/2025).

Pengawasan yang lemah justru berpotensi membuat keracunan massal terus berulang. Arif bilang, DPR dan pemerintah bisa diminta pertanggungjawaban jika program ini membahayakan masyarakat.
“Bisa jadi dari pemerintah sendiri melakukan evaluasi, misalkan menyetop, sementara mengevaluasi, untuk melakukan evaluasi,” kata Arif.
Jika pengawasan dari parlemen dinilai tak maksimal, masyarakat bisa meminta pertangungjawaban negara melalui jalur hukum.
Jalur Pidana: Dugaan Korupsi dan Kelalaian
Kasus keracunan massal di program MBG bisa dilaporkan sebagai dugaan tindak pidana ke polisi. Korban keracunan atau masyarakat secara umum, bisa melaporkan pihak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga lalai menjaga keamanan makanan.
Laporan juga bisa ditujukan kepada pejabat yang diduga lalai, menyalahgunakan wewenang, atau korupsi dalam pengadaan barang dan jasa.
“Misalkan ada indikasi korupsi katakanlah ya, dalam penunjukan vendor dan lain sebagainya. Atau mungkin ada penyalahgunaan kewenangan oleh institusi tertentu dalam pelaksanaan proyek MBG. Ini juga bisa dilaporkan secara pidana, apalagi kalau itu melanggar undang-undang, misalkan tipikor, undang-undang di isu kesehatan,” kata Arif.
Menurut Arif, sebenarnya kepolisian sudah bisa bergerak mengusut kasus keracunan massal, meskipun tidak ada laporan.
“Ya ini delik umum, ada (dugaan) kelalaian. Harusnya ada penyelidikan oleh pihak polisi dan itu tugas mereka melakukan penegakan hukum. Siapa lagi kalau bukan polisi? Karena mandat penegakan hukum di dalam konstitusi dalam peraturan perundang-undangan itu kepolisian. Ya mungkin ada juga penyidik PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) di kementerian-kementerian tertentu. Tetapi muaranya kepolisian juga,” ujarnya.
Gugatan Perdata Melalui Class Action
Korban keracunan MBG juga bisa meminta ganti rugi melalui gugatan perdata atau class action. Gugatan ini mencakup kerugian materiil seperti biaya rumah sakit dan kerugian orang tua saat merawat anak, hingga kerugian immateriil seperti trauma dan tekanan psikologis.
Karena jumlah korban banyak, Arif menilai mekanisme class action lebih relevan. Gugatan ini bisa diajukan oleh perwakilan kelompok korban sehingga lebih efisien.
“Dan enggak harus dikumpulkan dalam waktu cepat. Tetapi kan class action itu artinya gugatan perwakilan kelompok. Untuk mempermudah gugatan, karena kalau yang korbannya banyak kan, kalau gugat satu-satu kan pengadilan penuh. Jadi bisa lewat perwakilan kelompok. Jadi ada kelompok yang mewakili misalnya klaster-klaster tertentu,” jelas Arif.
Misalnya, klaster bisa dibagi ke dalam kelompok anak yang mengalami mual ringan, kelompok yang dirawat di rumah sakit, hingga keluarga yang menanggung biaya besar.
“Class action itu jalan tengah, supaya kelompok besar bisa menuntut bersama-sama,” ujar Arif.
Baca juga: Dikabulkan, Permohonan Gugatan Class Action Kasus Gagal Ginjal Akut
Citizen Lawsuit: Hak Konstitusional Warga Negara
Masyarakat yang tidak menjadi korban juga bisa menempuh jalur hukum atas kejadian keracunan massal di program MBG. Mekanisme ini dikenal dengan citizen lawsuit.
Gugatan hukum ini diajukan warga negara terhadap pemerintah yang dianggap lalai dalam menjalankan kebijakan. Dasarnya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang perbuatan melawan hukum.
Gugatan warga negara tidak bertujuan meminta ganti rugi, melainkan mendesak pemerintah mengubah atau menghentikan kebijakan yang dinilai membahayakan publik.
“Dan tuntutannya bukan ganti kerugian, tetapi mendorong pemerintah, negara, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Bisa dalam bentuk mengubah kebijakan atau merevisi kebijakan, membatalkan kebijakan, menghentikan kebijakan, itu bisa dilakukan,” jelas Arief.
Arif mengatakan gugatan citizen lawsuit merupakan hak konstitusional warga negara.
“Cukup punya KTP Indonesia, sudah bisa mengajukan citizen lawsuit. Bisa sendiri atau bersama LBH (lembaga bantuan hukum), bisa ke pengadilan negeri,” jelas Arif.
Dengan cara ini, publik bisa menuntut pemerintah menghentikan sementara MBG, mengevaluasi vendor, hingga merevisi aturan pelaksanaan.
Arif menekankan, upaya laporan pidana atau perdata bisa berjalan meski terdapat perjanjian antara orang tua murid dan dapur umum atau SPPG.
Baca juga: Minta Bantuan Presiden hingga LPSK, Istri Diplomat Arya Daru: Suami Saya Tidak 'Neko-neko'
Di beberapa darah, muncul surat persetujuan dari orang tua supaya tidak menggugat pihak sekolah jika mengalami keracunan akibat MBG. Dari penelusuran KBR di salah satu sekolah di Jawa Barat, juga ada klausul perjanjian yang meminta pihak sekolah merahasiakan jika terjadi kasus keracunan.
Menurut Arif, surat atau perjanjian itu batal demi hukum karena dinilai bertentangan dengan undang-undang.
“Itu perjanjian yang melanggar hukum, perjanjian yang melanggar hukum menurut Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ya itu batal demi hukum, artinya tidak berlaku. Tidak boleh perjanjian itu menjanjikan sesuatu yang melanggar hukum, karena menggugat melaporkan ke institusi tertentu dalam konteks penegakan hukum dan perlindungan HAM itu hak warga negara, yang diatur di undang-undang, di peraturan perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar,” tegasnya.

Satu Kasus, Satu Nyawa
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak Presiden Prabowo menghentikan sementara atau moratorium program MBG. Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es.
Sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025 hingga 19 September lalu, CISDI mencatat sedikitnya ada 5.626 kasus keracunan makanan di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi. Data ini diperoleh dari pemantauan pemberitaan, serta sumber informasi dari pernyataan resmi perwakilan Dinas Kesehatan di berbagai daerah.
Namun, Diah menduga kasus sebenarnya jauh lebih banyak.
“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah dalam keterangan tertulis, Jumat (19/9/2025).
Menurut Diah, keracunan merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini. Seharusnya, anak-anak sekolah memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.
“Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak,” kata Diah.
Pemerintah tidak boleh menyepelekan jumlah korban keracunan.
“Satu kasus sama dengan satu korban dan sama dengan satu manusia. Satu nyawa manusia harus disembuhkan dan tidak bisa dikompromikan,” tegasnya.
Tolak Dihentikan, Bentuk Tim Investigasi
Badan Gizi Nasional (BGN) menolak desakan berbagai pihak untuk menghentikan sementara program MBG usai banyak kasus keracunan.
Kepala BGN Dadan Hindayana berdalih akan melakukan perbaikan sembari tetap menjalankan program itu.
“Kami sedang mengembangkan organisasi agar rantai jangkauan pemantauannya lebih pendek dengan mengembangkan organisasi. Kami sedang menyusun kantor pelayanan pemenuhan gizi hampir setiap kabupaten, kami juga akan buat kantor regional yang di setiap provinsi itu yang akan memperpendek rentang kendali,” ujar Dadan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/9/2025).
Soal kasus keracunan, Dadan memahami banyak pihak yang khawatir. Namun, menurut dia, kasus keracunan yang terjadi masih dalam batas wajar.
Ia menyebut total sajian makanan keracunan hanya 4.711 dari 1 miliar porsi yang sudah dimasak selama 9 bulan program berjalan.
BGN juga membentuk tim investigasi kasus keracunan dalam program MBG. Wakil Kepala BGN Nanik Deyang menjadi ketua tim investigasi.
Nanik mengatakan tim tak hanya berasal dari unsur BGN, tetapi juga melibatkan kepolisian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), hingga dinas kesehatan di tiap daerah.
Baca juga: Tim Reformasi Polri Dibentuk Sebelum Komite Reformasi Polri, Apa Masalahnya?
“Jadi kami membentuk tim investigasi ini sebagai second opinion. Jadi sebelum hasil BPOM keluar, kami sudah bisa kira-kira apa yang menjadi penyebab anak-anak ini sakit. Apakah betul karena keracunan, atau karena alergi, atau karena lain-lain hal. Jadi kami bekerja mulai dari bagaimana proses memasaknya dan bahan bakunya,” kata Nanik dalam kesempatan sama.
Tim investigasi ini akan bekerja sama dengan BPOM mengusut kasus keracunan usai siswa menyantap MBG. Sementara BPOM, membutuhkan waktu kurang lebih 14 hari kerja untuk proses identifikasi pemeriksaan sampel makanan.
Meminta Maaf
Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (26/9/2025), Nanik menangis sambil meminta maaf atas insiden keracunan di program MBG.
“Lalu yang paling penting dari hati saya yang terdalam, saya mohon maaf atas nama BGN, atas nama seluruh SPPG di Indonesia. Saya mohon maaf, saya seorang ibu. Melihat gambar-gambar di video sedih hati saya. Mengapa? Kalau anak saya panas saja, saya sudah stres bukan main. Apalagi ini melihat anak-anak sampai digotong ke puskesmas, ke posko. Padahal niat kami, nawaitu kami, nawaitu presiden adalah ingin membantu anak-anak terpenuhi gizinya agar mereka menjadi generasi emas,” ujar Nanik.

Berdasarkan catatannya, hingga 26 September 2025 ada 45 dapur SPPG yang tidak menjalankan standar operasional prosedur (SOP) hingga berujung keracunan massal.
“Dari 45 dapur itu, 40 dapur kami nyatakan ditutup untuk batas waktu yang tidak ditentukan sampai semua penyelidikan, baik investigasi maupun perbaikan-perbaikan sarana dan fasilitas selesai dilakukan,” ujar Nanik.
Sepekan sebelumnya, permohonan maaf juga disampaikan pihak Istana.
“Kami atas namanya pemerintah dan mewakili Badan Gizi Nasional (BGN) memohon maaf karena telah terjadi kembali beberapa kasus di beberapa daerah,” kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).
Baca juga: Cukai Rokok Batal Naik 2026, Komnas PT: Anak dan Remaja Menjadi Tumbal
Biaya Korban Ditanggung
BGN memastikan biaya perawatan korban keracunan MBG ditanggung pemerintah. Nanik bilang, penanganan KLB seperti yang terjadi di MBG, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Kami sampaikan bahwa penerima manfaat Program MBG yang terdampak akibat insiden keamanan pangan dan dirawat di rumah sakit tidak mengeluarkan biaya apapun. Keseluruhan biaya perawatan akan ditanggung oleh pemerintah,” kata Nanik dalam keterangan tertulis Senin (29/9/2025).
Nanik mengatakan penanganan gangguan kesehatan dalam program MBG menjadi fokus utama BGN.
“Kami berharap hal ini bisa meringankan beban semua penerima manfaat terdampak, bahwa pemerintah akan selalu hadir dan bertanggung jawab pada kesehatan anak-anak kita,” tutur Nanik.
SPPG Wajib Punya Sertifikat
Usai marak kasus keracunan, pemerintah mewajibkan SPPG memiliki sertifikat laik higienis dan sanitasi (SLHS). Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan sertifikat itu menjadi syarat bagi SPPG beroperasi.
“Sertifikat laik higienis dan sanitasi itu syarat. Tetapi setelah kejadian, sekarang mendapat perhatian khusus. Harus atau wajib hukumnya, setiap SPPG harus punya SLHS,” kata dia usai rapat koordinasi di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Minggu (28/9/2025).
Zulkifli menekankan, semua dapur umum harus menjaga kebersihan alat dan bahan makan. Prosedur itu harus dipenuhi untuk mencegah kasus keracunan berulang.
“Bagi pemerintah, keselamatan anak adalah prioritas utama. Kami menegaskan insiden bukan sekadar angka, tetapi menyangkut keselamatan generasi penerus,” kata dia.
Untuk sementara waktu, SPPG yang dinilai bermasalah akan ditutup. BGN, kata dia, akan menginvestigasi dan mengevaluasi secara menyeluruh.
“Salah satu evaluasi yang utama adalah mengenai kedisiplinan, kualitas, kemampuan juru masak di seluruh SPPG,” ujarnya.
Zulkifli mendorong semua puskesmas aktif memantau SPPG secara rutin dan berkala. Langkah ini menurut dia, dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa makanan yang disiapkan aman dan bergizi.
Baca juga: BGN Emoh Hentikan MBG, Petaka Keracunan Makin Meluas?