Karakter toleran generasi Z perlu dipupuk dengan merawat algoritma dan lingkar pertemanan yang inklusif
Penulis: Khalisha Putri, Wydia Angga
Editor: Ninik Yuniati

KBR, Jakarta - Batin Novia Intan terusik melihat berita kasus-kasus intoleransi di beberapa daerah. Waktunya pun berdekatan.
Setelah kasus pembubaran paksa retret pelajar Kristen di Sukabumi, Jawa Barat, muncul persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GSKI) di Padang, Sumatera Barat.
"Kadang aku komen di postingan, buat nunjukkin kalau hal-hal kayak gitu tuh nggak boleh dinormalisasi," kata Novia, yang merupakan bagian generasi Z ini.
Novia rajin bermedia sosial untuk melawan diskriminasi.
"Kadang aku bikin reaction video singkat atau sekadar repost ke story, biar teman-teman atau followers aku bisa lihat dan mulai peka sama isu-isu kayak gini. Soalnya sekecil apa pun respon kita, yang penting kita tetap berusaha buat peduli dan nggak cuek," tegas Novia.
Toleransi di ruang digital, kata Novia, bermula dari langkah sederhana.
“Mulai dari hal kecil, kayak nggak asal share info yang provokatif, dengerin dulu sebelum nyalahin, dan kalau beda pendapat ya tetap saling hormat,” ujarnya.
Media sosial memang pedang bermata dua. Generasi Z seperti Novi, cenderung punya pikiran terbuka dan toleran, karena kerap bersua beragam orang, bahkan lintas negara, dengan cara mudah dan cepat.
Meski di sisi lain, medsos jugalah yang berpotensi memicu konflik.

Peace! project: Para pemuda lintas iman belajar toleransi dan berkunjung ke Masjid Istiqlal tahun 2024. Sumber foto: Global Peace Foundation Indonesia
Marsel Efraim, juga Gen Z, menggunakan media sosial sebagai sarana mengkampanyekan toleransi.
“Aku pribadi jaga toleransi dengan cara jaga tone waktu diskusi di media sosial, dan sebisa mungkin belajar dulu sebelum komentar. Karena, kan, toleransi itu bukan cuma soal diam, tapi aktif memilih kata yang nggak nyakitin orang lain,” katanya.
Sasarannya adalah sesama generasi Z. Karenanya, video pendek merupakan pilihan tepat.
"Video pendek yang lucu tapi ngena, supaya bisa dijangkau anak-anak muda yang suka konten ringan dan entertaining. Kalau bisa kolaborasi sama komunitas lokal, pasti lebih oke lagi karena pengaruhnya bisa lebih luas," imbuhnya.
Ia getol di isu keberagaman, karena pernah mendapati perilaku intoleran di lingkungannya.
"Ada teman dengan agama yang berbeda terus dikomentar atau olok-olok. Kadang ada juga yang nyindir soal kebiasaan ibadahnya," imbuhnya.
Marsel tak diam. Ia mengajak berdialog untuk menumbuhkan empati dan membuka perspektif.
"Aku kasih sudut pandang lain, ‘coba deh bayangin kalau lo yang digituin’. Aku percaya obrolan santai tuh kadang lebih masuk. Misalnya ‘Eh, santai deh, kita temenan, mending kita hargain perbedaan, karena itu yang bikin kita unik’ ," ujar Marsel.
Marsel ingin memberi dampak lebih besar dengan menularkan nilai toleransi ke lingkungan luas.
"Aku pengin bikin workshop kecil yang enggak formal, lebih ke ngobrol-ngobrol santai tapi berisi, atau buat acara yang melibatkan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda supaya teman-teman bisa lebih ngerti alasan pentingnya toleransi," kata Marsel.
Toleran atau baperan?
Generasi Z dianggap generasi paling toleran. Ini berdasarkan survei lembaga layanan psikologi, Personal Growth pada 2023. Karenanya, gen Z banyak yang menjadi penggerak perubahan sosial.
Dua tahun sebelumnya, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Lembaga Demografi UI melakukan riset yang menunjukkan generasi Z lebih inklusif ketimbang seniornya, generasi milenial.
Namun, di sisi lain, gen Z juga dikungkung oleh stereotip sebagai generasi stroberi. Bermental lembek dan mudah terbawa perasaan (baper).
Ayu Nurul, selaku gen Z, menyayangkan stereotip ini karena mengeneralisasi.
“Aku justru setuju banget kalau dibilang gen z lebih toleran. Karena aku sendiri yang hampir 24 jam buka media sosial bisa temenan sama siapa aja, orang beda agama, beda suku, bahkan beda negara,” tegasnya.

Sumber: Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z Terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di Indonesia, INFID, 2021
Psikolog klinis dari Personal Growth, Talissa Carmelia bilang, kadar keberagaman generasi Z perlu dijaga. Caranya dengan memilih lingkar pertemanan yang tepat.
"Karena kalau kita salah masuk ke circle teman yang "negatif", judgemental, kita akan pelan-pelan menjadi intoleran,” jelas Talissa dalam Podcast Disko “Diskusi Psikologi”.
Strategi bermedia sosial juga mesti dirancang inklusif, agar algoritmanya lebih variatif.
“Kalau algoritma mulai ‘itu-itu aja’, coba cari konten atau orang yang berbeda. Ubah pola konsumsi kita,” pesannya.
Baca Juga:
- Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?
- Mengapa Gen Z Dijuluki Generasi Paling Toleran?
Mau tahu lebih lanjut soal cara gen z melawan intoleransi? Dengarkan obrolan lengkapnya di podcast Disko di link berikut: